"Kenapa bisa begini?"Ekspresi Jihan perlahan-lahan menjadi semakin dingin."Rian yang memukulmu?"Wina dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan dia, tapi Emil ...."Jihan langsung mengernyit dan berseru, "Apa yang terjadi?"Wina tidak punya pilihan selain menceritakan semua yang terjadi di hotel.Saat Wina bercerita, kerutan di kening Jihan sedikit mengendur.Namun, ketika mendengar bahwa Wina hampir dinodai oleh pengawal yang dibawa oleh Emil, kerutan di kening yang baru menghilang itu kembali lagi.Tanpa pikir panjang, Jihan mengeluarkan ponselnya dan menelepon lagi, "Wira, segera urus Emil!"Wira Zorat, wakil CEO, yang menerima telepon dari Jihan, dengan cepat dan penuh hormat menjawab, "Baik."Wina memandang Jihan yang sedang menelepon, sedikit terkejut karena Jihan akan membantunya menangani Emil.'Dia membantuku karena tahu ada orang yang hampir menyentuh 'mainannya' atau karena memang peduli padaku?'Tiba-tiba, Wina teringat Emil menyebut nama Wira dan bertanya
"Bisa tolong jangan memberitahunya?""Bisa."Lilia mengangguk dan lanjut berkata, "Tapi kamu harus beri tahu aku apa hubungan kalian."Lilia pertama kali melihat Jihan begitu perhatian dengan seorang wanita. Hal ini membuatnya sedikit penasaran.Wina menjawab dengan tenang, "Aku dulu adalah pengganti wanita pujaannya, tapi sekarang ... nggak ada hubungan dengannya lagi."Lilia tersenyum dan bertanya, "Wanita pujaan yang kamu maksud itu Winata?"Wina hanya mengangguk, sedangkan Lilia tersenyum penuh arti.Lilia terakhir hanya menyuruh Wina beristirahat dan keluar dari kamar rawat.Setelah Lilia pergi, Wina tidak dapat menahan rasa kantuknya lagi, jadi menutup matanya dan tertidur lelap.Tidak tahu berapa lama Wina tertidur. Namun, saat dia bangun, dia melihat Jihan duduk di sebelahnya.Jihan mengenakan sweter turtleneck hitam, di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat cerah dan parasnya sangat menawan.Kemuliaan yang terpancar dari sekujur tubuhnya membuat orang tidak berani menghujatn
Setelah Wina mengatakan itu, raut wajah Jihan tiba-tiba menjadi dingin."Kubilang aku akan menyembuhkanmu, jadi jangan menolak."Dengan wajah dingin, Jihan menarik selimut untuk menutupi Wina, lalu duduk di samping sambil lanjut membaca laporan pemeriksaan Wina.Bulu mata yang tebal dan panjang terkulai ke bawah, menutupi matanya yang besar dan hitam itu, sehingga sulit untuk melihat emosi apa yang tersembunyi di mata itu.Akan tetapi, ada sedikit kegelisahan di antara alis yang saling mendekat itu. Begitu dangkal sehingga sukar untuk menyadarinya.Jihan selalu pandai mengendalikan emosinya, Wina tidak bisa memahaminya, jadi dia tidak repot-repot berspekulasi dan hanya berbaring miring.Mereka jarang berduaan dengan tenang seperti ini. Lima tahu bersama, Jihan tidak pernah menemaninya seperti ini.Wina terkadang bertanya-tanya di mana posisinya di hati Jihan.'Jika aku hanya pengganti, kenapa dia selalu datang mencariku setelah berpisah?''Terutama kali ini, dia benar-benar merebutku d
"Pak Jihan, kamu ...."Wina ingin bertanya mengapa Jihan membawa dia ke rumahnya?Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.Dia menunduk, tidak berani menatap pria di depannya.Namun, Jihan memandangnya dengan ringan, seolah bisa membaca pikirannya."Setelah beristirahat beberapa hari, aku akan mengantarmu pulang."Jihan tidak mengatakan alasannya, hanya memberinya sebuah pernyataan.Ketika mendengar bahwa Jihan akan mengantarnya pulang, Wina tidak begitu gugup lagi. Mengenai alasan ....Wina merasa Jihan merasa bersalah sudah mencekiknya hampir mati, jadi ingin merawatnya di rumah.Meski alasan ini tidak begitu masuk akal, Wina tidak berani memikirkannya lebih jauh.Setelah membantu Wina berbaring miring di tempat tidur, Jihan memanggil pelayan rumah."Paman Rudi, siapkan makanan yang mudah dicerna," perintah Jihan."Baik."Rudi segera menanggapi dengan hormat, lalu pergi keluar.Begitu Rugi pergi, Jihan memanggil dua pelayan wanita dan meminta mereka menyiapkan bebera
Saat Lilia tiba, Jihan sudah meninggalkan kamar Wina.Wina merasa tidak enak hati ketika Lilia mengoleskan obat dan memberikan infus.Lilia menatapnya dan tersenyum penuh arti."Nona Wina sangat beruntung."Mungkin yang dimaksud Lilia adalah Jihan memperlakukan Wina secara berbeda.Namun, perbedaan kecil ini mungkin hanya karena rasa kasihan.Bagaimanapun, mereka telah bersama selama lima tahun. Ketika Jihan tiba-tiba mengetahui bahwa dia mengidap penyakit jantung, tidak peduli betapa dinginnya seseorang, mereka akan menunjukkan sedikit perhatian.Lilia tidak tahu apa yang dipikirkan Wina. Setelah menempelkan selotip di jarum di punggung tangan Wina, dia mengeluarkan beberapa kotak obat dan menyerahkan pada Wina."Nona Wina sungguh beruntung. Aku kebetulan membeli sejumlah obat untuk penyakit gagal jantung stadium terakhir dari luar negeri.""Meskipun obat-obat ini nggak bisa menghentikan kematian, setidaknya akan membantumu menghilangkan rasa sakit."Saat Wina melihat beberapa kotak o
Kamar pintu Wina tidak tertutup, jadi pembicaraan kedua orang itu terdengar oleh Wina dan membuat telinganya seperti tertusuk.Wina dihadapkan dengan kenyataan yang pahit. Dia akhirnya dengan jelas menyadari keberadaan dirinya bagi Jihan itu apa.Sebenarnya, selama lima tahun itu, Wina sudah tahu bagi Jihan dirinya hanyalah alat untuk melampiaskan hasrat.Namun, belum pernah ada momen seperti ini, yang membuatnya menyerah sepenuhnya.Wina mengangkat tangan kanannya ke atas, mempercepat tetesan infus itu. Dia berpikir bahwa semakin cepat tetesannya, semakin cepat penyakitnya sembuh.Setelah Lilia pergi, Jihan melihat ke arah kamar Wina berbaring itu dan mendapati bahwa pintunya tidak tertutup. Seketika, raut wajah Jihan menjadi muram.Jihan seperti kehilangan kendali, bangkit dari sofa dan menuju ke kamar. Begitu masuk, dia melihat Wina sedang mengatur kecepatan infus.Tidak ada perubahan emosi yang terlihat di wajah Wina. Dia masih seperti sebelumnya, patuh dan berperilaku baik.Meliha
Daris melirik Jihan, dia dapat melihat Jihan bertekad untuk menang karena sorot mata Jihan memperlihatkan keposesifannya.Daris awalnya ingin membujuk Jihan untuk mengembalikan Nona Wina ke Rian, tetapi setelah melihat ekspresi itu, Daris yang bisa membaca situasi pun tutup mulut.Dia tahu Jihan pada akhirnya tidak bisa melupakan Nona Wina, makanya bersaing dengan Rian.Hanya saja, Jihan tidak memperlihatkan perasaan itu, jadi sulit bagi Daris untuk mengatakannya.Setelah mengiakan perintah Jihan, Daris pergi mencari cara untuk memblokir semua berita.Meskipun orang-orang di vila ini adalah orang kepercayaan Jihan, mereka tidak bisa melawan tipu muslihat nyonya di rumah besar itu.Daris merasa bahwa saat ini dia harus mengatasi semua pengganggu Jihan daripada membujuknya untuk melepaskan Wina.Wina tidak tahu apa yang terjadi di ruang kerja. Saat melihat Rudi datang dengan tasnya, dia segera memaksakan diri untuk duduk."Nona Wina, ini tasmu," ujar Rudi.Setelah mengambil tasnya, Wina
"Kak Sara ...."Sara tertegun ketika mendengar panggilan itu.Dia selalu merasa pria di depannya ini adalah Ivan, bukan Rian.Ketika mendengar panggilan seperti sebelumnya lagi dari mulut Ivan, Sara tentu saja kaget.Namun, Sara tidak meresponsnya. Dia hanya menatap mata Ivan dengan dingin.Waktu itu, dia pernah menemani Wina ke Kota Ostia untuk mencarinya, tetapi diusir oleh pengawal.Setelah kembali ke Kota Aster karena permintaan Wina, Sara mendapati rumahnya digeledah oleh Keluarga Gerad.Saat itu, seisi rumah sangat kacau. Perabotan yang susah payah dibelinya setelah menabung, semuanya hancur.Yang paling membuat Sara kecewa adalah Ivan ingin membunuh Wina.Sara tidak bisa melupakan semua itu, bahkan setelah mengetahui Wina dan Ivan bertemu lagi, dia tetap merasa kesal."Maaf ...."Rian seperti mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan itu.Permintaan maaf yang telat lima tahun lamanya, yang membuat Rian berpisah dengan mereka."Kamu seharusnya minta maaf pada Wina."Sat
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je