'Sakit ....'Sungguh sesak ....'Wina kesakitan sampai kesulitan bernapas.Namun, Emil tidak berniat melepaskannya pergi begitu saja.Emil memerintahkan dua pengawal untuk menekan Wina di wastafel dan memandang mereka dengan senyuman bejat."Satu-satunya penyesalanku adalah aku nggak pernah menidurimu. Tapi bisa melihat secara langsung cukup mengasyikkan juga, 'kan?"Wina merasa kata-kata itu lebih menyakitkan daripada rasa sakit di tubuhnya.Dia bahkan tidak peduli dengan luka di punggungnya dan sekuat tenaga menoleh ke belakang melihat Emil."Pak Emil, aku sungguh nggak tahu siapa pria bertopeng itu. Aku nggak tahu apa maksudmu aku bekerja sama denganmu Pak Wira."Wina tidak akan mengatakan dia kenal Tuan Malam itu. Karena dia tahu bahwa begitu dia mengatakannya, Emil pasti akan menyuruh dua pengawal itu menodainya.Wina tahu Emil menggunakan cara ini untuk memaksanya memberi tahu siapa Tuan Malam. Selama dia tidak memberi tahu, dia masih memiliki peluang untuk kabur.Emil selalu tah
Rian menatap Emil dengan sorot mata yang penuh amarah."Emil, berani-beraninya kamu menyentuh wanitaku! Itu berarti kamu cari mati!"Sambil menggendong Wina, Rian berjalan ke arah Emil dan menendang kursi rodanya.Tangan dan kaki Emil masih belum sembuh total, jadi tidak ada kekuatan. Setelah ditendang seperti itu, dia langsung jatuh tergeletak di lantai dan tidak bisa bergerak.Namun, Emil sama sekali tidak peduli. Dia menoleh, menatap Wina sambil tertawa sinis dan berkata."Wina, kamu sungguh hebat. Bahkan Rian bertekuk lutut padamu. Pantas saja kamu nggak ingin melakukannya denganku."Perkataan itu membuat Rian sangat muak.Seolah-olah seseorang telah mencemari harta karun yang ada di tangannya, membuatnya tiba-tiba menjadi paranoid dan menakutkan.Rian tiba-tiba seperti orang gila, dia menginjak mulut Emil dengan sepatu kulitnya yang berat.Dia mengerahkan seluruh kekuatannya, seolah ingin menghancurkan mulut Emil.Kekejaman yang keluar dari matanya akhirnya membuat Emil merasa tak
"Nggak ada," ujar Wina sambil menggeleng.Dibandingkan dengan luka kepala Rian, Wina merasa luka di punggungnya tidak seberapa."Kamu terluka parah, ayo ke rumah sakit dulu."Melihat tangannya berlumuran darah, Wina teringat kembali pada kecelakaan mobil lima tahun lalu.Hal ini membuat Wina semakin merasa bersalah. 'Dia dua kali terluka parah karena berusaha menyelamatkanku. Kenapa Rian ingin melindungiku seperti ini?'"Ya."Rian mengangguk, menuruti perkataan Wina. Ketika Rian yang menggendong Wina melintasi ruang perjamuan, beberapa pengawal melihat mereka dan segera menghampiri mereka.Melihat Rian terluka parah, mereka menyalahkan diri sendiri dan minta maaf karena tidak melindungi Rian dengan baik.Rian tidak memedulikan hal tersebut, dia hanya memerintah mereka untuk membawa Emil ke kantor polisi, lalu keluar menuju lobi hotel.Pakaian Wina sudah hancur berantakan, tetapi untungnya dia tutupi oleh mantel Rian yang besar.Namun, Wina masih merasa sedikit tidak nyaman karena takut
Ketika mendengar perkataan Wina itu, sorot mata Jihan semakin dingin.Wina tidak berani menatap Jihan yang seperti itu, jadi segera menoleh dan berkata pada Rian, "Ayo pergi."Ketika Rian mendengar ini, ekspresinya melembut.Dia berpikir tidak peduli apa hubungan mereka, Wina memilihnya saat ini adalah hasil terbaik.Rian menyingkirkan perasaan kacaunya dan memeluk Wina dengan erat. Dia melewati Jihan tanpa mengatakan sepatah kata pun.Jihan menoleh dan menatap Wina, matanya yang suram itu seolah menembus tubuh Wina.Wina dengan cepat menunduk, mencoba menghindari tatapan itu, tetapi Jihan tiba-tiba meraih lengannya.Jihan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik Wina keluar dari pelukan Rian.Karena ditarik begitu keras, Wina pun terjatuh ke lantai.Area luka di punggungnya bergesekan dengan lantai. Terasa sangat sakit.Wina mengabaikan rasa sakit itu dan segera mengambil kembali mantel yang terlepas dari tubuhnya.Sayangnya, sebelum tangannya menyentuh ujung mantel, mantel itu d
Mendengar kata-kata Wina, tangan Jihan yang berhenti di leher Wina tiba-tiba mencekiknya.Jihan mencekik leher Wina dengan satu tangan dan mengangkatnya dari tanah.Cekikan itu membuat Wina kesulitan bernapas dan jantung Wina mulai terasa sesak dan nyeri.Wina menderita gagal jantung memerlukan oksigen yang cukup, atau dia akan mati.Wina sebelumnya sudah kesulitan bernapas karena rasa sakit di punggungnya itu. Sekarang, ditambah dicekik oleh Jihan.Wina yang mulai merasakan sesak napas, memegang bagian jantungnya dan mati-matian membuka mulutnya untuk menyedot udara masuk.Namun, Jihan tidak memberinya kesempatan, cengkeramannya semakin kuat.Wina mencoba menarik pakaian Jihan dengan tangan yang gemetaran itu, tetapi dia sudah tidak punya kekuatan.Wina hanya bisa menatap Jihan dengan air mata berlinang, berharap Jihan akan berbelas kasih dan melepaskannya.Ketika melihat wajah Wina pucat tidak normal, seperti akan mati, Jihan segera melepaskan tangannya dan Wina pun terjatuh ke lanta
Wina yang masih ada sedikit kesadaran, menggunakan seluruh kekuatannya untuk menoleh ke arah Jihan yang mengemudi dengan cepat."Kamu ... kejarlah tunanganmu ... nggak perlu peduli ... padaku ...."Hanya mengatakan itu saja sudah membuat Wina hampir kehilangan nyawanya.Wina bersandar di kursi, mencoba menghirup udara dari mulutnya, tetapi rasa sesaknya tetap tidak bisa mereda.Jihan mengernyit, meliriknya sejenak, tetapi tidak membalas ucapannya. Dia menaikkan kecepatan mobilnya dan melaju ke rumah sakit.Begitu tiba, Jihan menggendongnya dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit. Sambil menatap Jihan, Wina mengulurkan tangan yang lemah itu untuk menarik kemeja putih Jihan."Aku ... nggak ingin ke ... rumah sakit ...."Saat tangan Wina menyentuh kulitnya, Jihan merasakan tangan Wina begitu dingin, seperti orang yang akan meninggal. Hal ini membuat Jihan semakin panik."Dengarkan aku, ya. Ada oksigen di rumah sakit."Setelah menenangkan Wina, Jihan memeluk erat Wina di dalam pelukannya d
"Kenapa bisa begini?"Ekspresi Jihan perlahan-lahan menjadi semakin dingin."Rian yang memukulmu?"Wina dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan dia, tapi Emil ...."Jihan langsung mengernyit dan berseru, "Apa yang terjadi?"Wina tidak punya pilihan selain menceritakan semua yang terjadi di hotel.Saat Wina bercerita, kerutan di kening Jihan sedikit mengendur.Namun, ketika mendengar bahwa Wina hampir dinodai oleh pengawal yang dibawa oleh Emil, kerutan di kening yang baru menghilang itu kembali lagi.Tanpa pikir panjang, Jihan mengeluarkan ponselnya dan menelepon lagi, "Wira, segera urus Emil!"Wira Zorat, wakil CEO, yang menerima telepon dari Jihan, dengan cepat dan penuh hormat menjawab, "Baik."Wina memandang Jihan yang sedang menelepon, sedikit terkejut karena Jihan akan membantunya menangani Emil.'Dia membantuku karena tahu ada orang yang hampir menyentuh 'mainannya' atau karena memang peduli padaku?'Tiba-tiba, Wina teringat Emil menyebut nama Wira dan bertanya
"Bisa tolong jangan memberitahunya?""Bisa."Lilia mengangguk dan lanjut berkata, "Tapi kamu harus beri tahu aku apa hubungan kalian."Lilia pertama kali melihat Jihan begitu perhatian dengan seorang wanita. Hal ini membuatnya sedikit penasaran.Wina menjawab dengan tenang, "Aku dulu adalah pengganti wanita pujaannya, tapi sekarang ... nggak ada hubungan dengannya lagi."Lilia tersenyum dan bertanya, "Wanita pujaan yang kamu maksud itu Winata?"Wina hanya mengangguk, sedangkan Lilia tersenyum penuh arti.Lilia terakhir hanya menyuruh Wina beristirahat dan keluar dari kamar rawat.Setelah Lilia pergi, Wina tidak dapat menahan rasa kantuknya lagi, jadi menutup matanya dan tertidur lelap.Tidak tahu berapa lama Wina tertidur. Namun, saat dia bangun, dia melihat Jihan duduk di sebelahnya.Jihan mengenakan sweter turtleneck hitam, di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat cerah dan parasnya sangat menawan.Kemuliaan yang terpancar dari sekujur tubuhnya membuat orang tidak berani menghujatn