Setelah galau-galauan kemarin karena putus sama Mario, akhirnya Lintang kembali bangkit, dia harus lebih bersemangat lagi, hidup bukan hanya tentang cinta, ada kehidupan yang harus diperjuangkan untuk mencapai masa depan yang lebih baik lagi.
Deringan telepon membuat Lintang menghentikan langkahnya yang hendak masuk ke lobi kantor.
"Halo, Bu," sapa Lintang saat menerima panggilan masuk dari ibunya di seberang sana.
"Lintang, kapan kamu ke Lombok sama pasangan kamu? Bapak udah nanyain terus, katanya kalian harus cepat menikah, umur kamu juga udah pas membina rumah tangga."
Ucapan Arini membuat Lintang membeku, dia bingung harus menjawab apa, dia hanya terdiam.
"Lin, kalau kamu mau, Bapak bisa jodohkan kamu sama anak kepala desa di sini, ingat Adi? Yang teman masa kecil kamu itu."
Lintang rasa umur dua puluh tiga tahun masih cukup muda untuk menjalin rumah tangga.
"Bu, Lintang bisa cari jodoh sendiri. Ibu dan Bapak tenang aja, suatu saat nanti Lintang akan ke Lombok sama calonnya Lintang."
Terdengar embusan napas di seberang sana. "Kapan, Lin? Kamu udah 23 tahun, sudah lulus kuliah, sudah bekerja, jadi untuk apa dilambat-lambatin," Arini menjeda ucapannya, "teman-teman kamu udah pada nikah, setiap Ibu datang ke kondangan pasti ditanya; Lintang kapan nikah?"
Salah satu hal yang buat Lintang malas tinggal di desa, terlalu ingin tahu urusan orang lain. Lihat yang salah sedikit pasti dikomentari, lihat ini dan itu pasti dijulidin. Serasa kehidupan kita itu sesuatu yang harus mereka nilai.
"Bu, Lintang mau kerja dulu, ya, nanti disambung lagi."
Lintang langsung mematikan sambungan teleponnya, anggap saja Lintang tidak sopan karena mematikan secar sepihak, tapi dia tidak suka kalau ibunya membicarakan perjodohan.
***
Ilham yang baru sampai kantor langsung melihat ekspresi Cakra yang sedang tersenyum di kubikelnya, seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, atau anak SD yang mendapat nilai bagus di sekolahnya.
Ilham pun menghampirinya. "Cak!"
Cakra kembali ke alam sadar, dan menatap Ilham. "Apa?"
"Lo kenapa senyum-senyum sendiri?"
Cakra kembali menampilkan senyuman lebarnya. "I'm falling in love."
Ilham meletakkan telapak tangannya ke kening Cakra. "Lo sakit?"
Ilham pikir, sekarang Cakra sudah gila karena ditinggal nikah mantan.
"Ham, sekarang gue tahu. Obat move on paling mujarab adalah menemukan penggantinya."
Ilham semakin tidak mengerti tentang Cakra yang tiba-tiba patah hati, tiba-tiba jatuh hati, dan dia tidak mau tahu dengan siapa Cakra jatuh hati.
"Ham, lo nggak pengin tahu gue jatuh hati sama siapa?"
Ilham mengendikkan bahu, lalu berjalan ke kubikelnya sendiri. "Bodo amat!" ujar Ilham dengan suara tinggi.
"Ham, hati gue kembali bergetar setelah gue nyipok orang." Cakra pun membalas ucapan Ilham dengan suara yang lumayan tinggi membuat beberapa orang di dalam ruangan itu menatap ke arah Cakra.
Cakra langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan mengalihkan perhatian ke komputer yang ada di hadapannya. Rasa malu menyerang setelah ucapan yang dia lontarkan beberapa saat itu.
Pasti abis ini image cool gue, berubah jadi image mesum.
"Fix, si Cakra jadi bucin sekarang," gumam Ilham seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah pulang kantor, Cakra langsung ke indekosnya Lintang, modusnya untuk melihat kondisi kaki Lintang, padahal sebenarnya dia kangen dengan perempuan itu.
Lintang menghampiri Cakra yang duduk di sofa, setelah dipanggil oleh Tasya.
"Ada apa, Cak?" tanya Lintang saat duduk di salah satu sofa.
"Cuma mau mastiin kaki kamu."
"Oh, udah lumayan mendingan, tapi belum normal banget jalannya."
"Atau kamu mau ke dokter?"
Lintang langsung menggeleng. "Masa manja banget, gini doang ke dokter."
Sebenarnya Lintang itu anti dengan rumah sakit. Waktu kecil pernah sakit demam, dan dia dirawat di rumah sakit, pas jarum infus masuk ke kulitnya dia nangis, sejak saat itu Lintang tidak mau sakit lagi, sebisa mungkin dia jaga kesehatan agar tidak ada jarum-jarum lagi yang menusuk kulitnya.
"Lin, kita makan, yuk. Kebetulan abis dari kantor aku langsung ke sini, belum makan."
Lintang berpikir sejenak. "Makan sekitar sini aja, ya. Tapi kamu suka makanan kaki lima nggak?"
"Boleh dicoba, kayaknya not bad."
"Oke."
Mereka pun langsung ke warung kaki lima yang ada di sekitar indekos tersebut. Lintang menunjuk salah satu warung yang menjadi langganannya, menyediakan berbagai jenis menu yang menurut Lintang enak dan juga murah meriah.
Keduanya duduk di bangku panjang, setelah memesan dua porsi nasi goreng, dan dua gelas es jeruk.
"Tumben nggak air putih?" tanya Lintang.
"Biar samaan sama kamu."
"Bucin."
Cakra tertawa pelan. "Aslinya mah enggak, beda aja gitu sama kamu."
"Tingkat bucin paling tinggi adalah aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan."
"Kamu pernah kayak gitu?"
Lintang mengangguk. "Pernah, waktu awal-awal jadian sama Mario."
Mengingat nama Mario membuat Lintang kembali murung, dia berusaha mengenyahkan bayangan laki-laki itu.
"Lintang, jangan ingat dia lagi," gumam Lintang ke dirinya sendiri.
Cakra mengernyit heran. "Kenapa?"
"Bukan apa-apa."
"Putus?"
Lintang hanya terdiam, dia mengalihkan fokus ke ponselnya yang ada di atas meja.
Cakra, lo ada kesempatan buat dapatin Lintang.
"Lin, kamu mau nggak jad—"
Belum sempat Cakra melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pesanannya mereka datang.
"Selamat makan," ujar Lintang yang hanya diangguki oleh Cakra.
***
Laras menatap galeri foto semasa ia berpacaran dengan Cakra. Jujur saja sampai detik ini Laras belum bisa melupakan Cakra, andai saja kejadian malam itu tidak pernah terjadi, pasti sekarang Laras sudah menikah dengan orang yang ia cintai.Dari belakang tiba-tiba muncul Aksa yang melihat apa yang sedang dilihat oleh Laras, pria itu pun langsung merampas ponsel istrinya. "Oh jadi di belakang aku, kamu masih sering lihat kenangan kalian? Masih belum bisa move on sama dia, Ras? Aku enggak suka ya kalau istri aku masih belum bisa move on dari mantannya. Dia aja udah bisa move on dari kamu, Larasati!" Ucapan Aksa sangat menggebu-gebu."Aksa, dari awal kamu tahu, pernikahan ini terjadi karena terpaksa, kalau aja malam itu kamu nggak jebak aku, aku sekarang pasti udah nikah sama Cakra. Sampai sekarang aku masih cinta sama Cakra, bukan kamu. Kamu mungkin bisa dapatin aku sebagai istri kamu, tapi kamu enggak bisa dapatin cinta aku!" Laras tidak kalah berapi-api.Sebuah tamparan keras melayang k
"Nikah yuk," ujar Lintang secara tiba-tiba yang membuat Cakra langsung tersedak nasi goreng yang sedang ia kunyah. Saat ini keduanya sedang berada di salah satu tempat makan. Lintang sengaja mengajak Cakra bertemu karena ada hal yang mau ia bahas, terkait permintaan orang tuanya untuk segera pulang ke Lombok."Hah, kenapa tiba-tiba? Kamu juga baru putus sama pacar kamu, kan? Dan aku yakin kamu juga belum bisa move on, kan?" Cakra tidak habis pikir dengan permintaan Lintang yang secara tiba-tiba.Lintang meneguk minuman yang ada di hadapannya. "Gini, jadi orang tua aku di Lombok udah ngebet banget nikahin aku, sedangkan sekarang aku kan baru putus. Kalau aku belum ada calon, mereka mau jodohin aku sama laki-laki pilihan mereka, dan aku enggak mau. Jadi, aku mau minta tolong sama kamu buat nikahi aku, mungkin sampai setahun ke depan. Nanti setelah satu tahun, kita bakal cari cara biar bisa cerai. Gimana, kamu mau kan bantu aku?" Lintang sangat berharap kalau Cakra mau membantunya, Linta
"Saya terima nikah dan kawinnya Lintang Nazeala binti Rahmat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ujar Cakra dengan lantang seraya berjabat tangan ayahnya Lintang. Akad nikah diadakan di salah satu masjid yang tidak terlalu besar. Awalnya orang tua Lintang menolak kalau pernikah``````````````annya diadakan di Jakarta dan hanya akad nikah saja, tetapi Lintang menjelaskan kalau ia tidak bisa pulang ke Lombok karena tidak mendapat izin cuti dari atasannya, dan Lintang beralasan tidak perlu menggelar acara yang meriah, lebih baik uangnya ditabung untuk masa depan, yang penting mereka sah. Orang tuanya tahu kalau pernikahan mereka didaftarkan secara hukum juga, padahal ini adalah pernikahan hanya sah secara agama, agar kelak ketika mereka berpisah, tidak perlu repot menjalani persidangan dan segala macamnnya.Setelah selesai ijab qabul, Lintang langsung mencium tangan Cakra, dan Cakra mencium keningnya Lintang. Kemudian mereka beralih mencium tangan orang tuanya Lintang.Rahmat berpes
Ballroom hotel saat ini tengah dipadati para tamu undangan, kurang lebih 2500 tamu undangan mengisi ruangan. Laras dan Aksa memang berasal dari keluarga terpandang yang memiliki kerabat dan relasi dari dalam maupun luar kota, jadi tak heran kalau acara resepsi ini digelar dengan meriah.Di antara ribuan undangan itu ada Cakra yang datang bersama Lintang untuk memenuhi undangan. Sebenarnya Cakra malas bertemu orang-orang yang telah menghancurkan hatinya, Laras dan Aksa. Hampir tujuh tahun Cakra menjalin hubungan dengan Laras, tapi seenaknya Aksa menikung kekasihnya itu.Lintang cukup kagum dengan kemeriahan acara tersebut, karena baru kali ini dia menghadiri acara semeriah itu, master ceremony, band, dan pengisi acara lainnya dibayar mahal untuk mengisi acara ini. Gaun pengantin menjuntai ke belakangan dengan indah, membuat Laras tampak lebih anggun.Saat Lintang sedang mengagumi acara itu, tangan Cakra langsung menariknya ke atas pelaminan untuk basa-basi memberi selamat."Hm, hai. Sel
Lintang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang periklanan pada posisi accounting, seperti biasa puluh 17.30 dia keluar kantor, tapi kali ini tujuannya bukan indekos, melainkan sebuah restoran yang menjadi tempat makan malamnya nanti.Mobil Cakra baru saja sampai di lobi, dan Lintang langsung menghampiri yang ditunggunya sejak tadi."Nanti acaranya jam 8, kita masih ada waktu buat siap-siap," ujar Cakra setelah Lintang berada di sebelahnya.Lamborghini memecah jalanan ibu kota, tujuan mereka sekarang adalah sebuah mall, Cakra ingin mengubah menampilan Lintang agar menjadi lebih menarik.Setelah mobilnya terparkir di basemant, mereka pun keluar dan langsung mencari dress, sepatu, serta tas untuk Lintang. Kemudian, Cakra membawa Lintang ke salon untuk didandani secantik mungkin, karena ini adalah pertemuan mereka dengan keluarga besar.Baru beberapa hari kenal dengan Cakra, membuat Lintang tidak menjadi dirinya sendiri. Lintang tidak suka memakai barang-barang mewah, ber
Cakra adalah satu-satunya cucu Aryo yang memilih profesi di luar medis, dia mengambil jurusan komunikasi saat kuliah, dan sekarang dia sudah bekerja pada salah satu perusahaan bonafit di Jakarta selatan. Ilham adalah teman kantor yang telah menjadi sahabat Cakra sejak mereka sekantor setahun yang lalu. Sedikit banyak Ilham tahu tentang Cakra.Setelah mematikan komputernya, Ilham menghampiri Cakra di kubikelnya."Cak, kita makan siang dulu."Cakra pun beranjak dari kursinya dan ke warung makan di depan kantor yang telah menjadi langganan mereka."Ham, Lintang udah susah dihubungi." Cakra membuka obrolan sembari menunggu pesanan mereka datang.Ilham mengernyit. "Lo beneran jatuh cinta sama dia?""Bukan, tapi gue masih butuh bantuan dia. Mana malam minggu ini keluarga besar gue mau pesta BBQ, terus si pengantin baru juga ikutan, tengsin banget gue kalau nggak bawa pasangan.""Cari pasangan lain.""Nggak, itu malah menimbulkan pertanyaan baru, nanti mereka bisa curiga kalau itu cuma pasang
Weekend adalah hari yang paling dinanti-nanti oleh para pelajar sampai para pekerja. Bisa bersantai bersama keluarga, pasangan, teman, atau hanya sekadar rebahan di kasur.Selesai mandi, Lintang mengambil ponsel di atas nakas, dan melihat aplikasi W******p, tidak ada chat dari Mario, pacarnya yang nun jauh di sana. Kalau dihitung-hitung ini hari ke tiga Mario tidak ada kabar.Akhirnya dengan menurunkan ego, Lintang menghubungi Mario terlebih dahulu.Lintang NazealaMario, apa kabar?Beberapa detik Lintang menunggu balasan, tapi tidak ada balasan padahal online. Dibaca saja tidak apalagi dibalas.Chat lagi nggak, ya?Tak lama kemudian muncul seorang perempuan yang masuk ke kamar Lintang."Lin, pinjam detergen dong, mau nyuci.""Minta, Sya, bukan minjem," ralat Lintang ke tetangga kamarnya yang bernama Tasya itu.Tasya hanya menyengir. "Eh iya, itu tahu.""Ambil aja, ada di balik pintu."Tasya langsung mengambil detergen, tapi sebelum dia keluar, Lintang memanggilnya."Sya, kalau misal a
Cakra memapah Lintang turun dari mobilnya, sekarang mereka sudah berdiri di depan rumah mewah, kediaman Aryo. Entah kenapa, pria itu lebih suka tinggal sendiri hanya ditemani beberapa asisten rumah tangga, daripada tinggal bersama anak-anaknya. Sang istri, Diana sudah meninggal tiga tahun lalu karena penyakit komplikasi yang dideritanya.Keduanya masuk ke dalam ruang tamu, beberapa keluarga telah berkumpul."Lho, aku kira Cakra datang sama perempuan yang lebih berkelas, ternyata cuma perempuan kampung yang nyasar ke Jakarta," celetuk Vania dengan entengnya.Cakra yang mendengar hal itu langsung menyunggingkan sebuah senyuman. "Ini lebih baik, daripada menikung pacar saudara sendiri. Lebih hina mana?" Cakra terang-terangan menyindir Aksa yang sedang duduk di salah satu sofa.Reza langsung menghentikan pertikaian ini. "Sudah-sudah, mendingan Lintang langsung ke belakang rumah untuk bantuin masak," Dia pun melirik ke adiknya, "Kamu juga Vania!"Cakra pun langsung menggenggam tangan Lintan