Laras menatap galeri foto semasa ia berpacaran dengan Cakra. Jujur saja sampai detik ini Laras belum bisa melupakan Cakra, andai saja kejadian malam itu tidak pernah terjadi, pasti sekarang Laras sudah menikah dengan orang yang ia cintai.
Dari belakang tiba-tiba muncul Aksa yang melihat apa yang sedang dilihat oleh Laras, pria itu pun langsung merampas ponsel istrinya. "Oh jadi di belakang aku, kamu masih sering lihat kenangan kalian? Masih belum bisa move on sama dia, Ras? Aku enggak suka ya kalau istri aku masih belum bisa move on dari mantannya. Dia aja udah bisa move on dari kamu, Larasati!" Ucapan Aksa sangat menggebu-gebu.
"Aksa, dari awal kamu tahu, pernikahan ini terjadi karena terpaksa, kalau aja malam itu kamu nggak jebak aku, aku sekarang pasti udah nikah sama Cakra. Sampai sekarang aku masih cinta sama Cakra, bukan kamu. Kamu mungkin bisa dapatin aku sebagai istri kamu, tapi kamu enggak bisa dapatin cinta aku!" Laras tidak kalah berapi-api.
Sebuah tamparan keras melayang ke pipi aku. "Aku bisa lakuin yang lebih ke kamu, jadi jangan buat aku marah. Sampai selamanya kamu cuma boleh jadi istri aku." Aksa menyeret Laras ke kamar. Laras ingin berontak tapi tidak bisa, tenaga Aksa jauh lebih kuat.
Aksa melempar Laras dengan ke atas ranjang. Ia memperlakukan istrinya itu seperti binatang yang harus memuaskan nafsunya. Dengan kasar, Aksa melakukan pelampiasan yang menyakiti Laras. Laras hanya bisa menangis tanpa melakukan perlawanan, karena percuma juga tenaga Aksa jauh lebih kuat darinya.
Tatapan dan hawa nafsu Aksa seperti seseorang yang sedang kesetanan. Mimpi apa Laras sampai harus punya suami seperti Aksa yang tidak beperikemanusiaan.
Sebuah bisikan terdengar di telinga Laras. "Kamu pikir, aku nikahi kamu karena aku cinta sama kamu. Bukan, Sayang. Aku nikahi kamu, karena aku mau merebut kamu dari Cakra. Dan sekarang terbukti, aku berhasil menang dari Cakra."
Laras memelotot dengan tajam. "Berengsek!"
***
Cakra baru saja selesai mandi setelah lelahnya menjadi budak korporat seharian, ia pun membuka ponselnya dan melihat pesan masuk.
Laras: can i hug you?
Cakra tidak peduli dengan pesan teks itu, baginya Laras hanya masa lalu yang sekarang harus ia kubur dalam-dalam. Cakra tidak akan membiarkan masa lalu kembali mengusiknya, ia harus berusaha meninggalkan kenangan yang pernah ada bersama Laras saat itu.
Tak lama kemudian muncul telepon dari Laras, tetapi Cakra terus mengabaikan panggilan itu, hingga akhirnya panggilan ketiga, Cakra pun segera mengangkatnya. Mungkin ini urgent sampai Laras terus meneleponnya beberapa kali.
"Halo," ujar Cakra sekenanya, ia benar-benar tidak peduli dengan Laras.
"Cak, aku hancur," balas Laras dengan air mata yang tidak tertahankan. Ia pun terisak di balik tangisnya.
Cakra mengernyitkan keningnya. "Maksudnya apa?"
Belum sempat Laras menjawab, tiba-tiba pintu kamar mandi digedor-gedor oleh Aksa. "Woy, lagi apa kamu di dalam? Lama banget! Cepat buka pintunya, kamu harus masak. Aku mau makan malam."
"Ras, itu Aksa kenapa teriak-teriak?"
"Udah dulu ya, aku harus masak." Laras pun langsung mematikan sambungan teleponnya. Laras merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa, ia membiarkan Aksa memperlakukannya dengan sampah.
Cakra masih kepikiran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Laras. Kenapa dia menangis? Kenapa dia bilang hancur? Dan kenapa Aksa teriak-teriak? Apa hubungan mereka enggak baik-baik saja? Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran Cakra.
"Ah udahlah, Cak. Lo enggak usah peduli sama Laras lagi, ingat dia udah ninggalin lo demi laki-laki lain, mending lo fokus aja buat dapatin Lintang. "Ah ngomong-ngomong Lintang, dia lagi apa ya? Jadi kangen, seharian ini belum ketemu."
"Cak, ayo makan malam dulu, udah siap," ujar Sintia dari balik pintu kamarnya Cakra.
"Oke, Ma. Aku OTW."
***
"Lintang, ayo pulang, udah saatnya kamu nikah, kalau kamu belum nikah juga, bikin ibu sama bapak jadi kepikiran. Keluarga dan tetangga terus tanya kapan kamu nikah, kapan kamu pulang, kapan kamu punya anak, dan---"
"Ibu, kalau tetangga dan keluarga pada nanya, ibu jawab aja, Lintang masih sibuk kerja, nanti juga kalau udah waktunya, Lintang nikah."
"Lintang! Enggak semudah itu, kalau ibu jawab kayak gitu, pasti akan banyak pertanyaan-pertanyaan lain."
Lintang memutar bola matanya dengan malas. "Ya udah, ibu senyumin aja kalau ada yang tanya."
"Lintang, enggak semudah itu. Ibu kasih kamu waktu seminggu deh. Kamu harus datang sama pacar kamu itu ke sini, kenalin ke keluarga besar kita. Kalau kamu enggak mau datang sama pacar kamu, berarti kamu harus mau dijodohkann dengan adi. Gimana?" Arini semakin kesal menanggapi putrinya ini yang keras kepala.
Lintang menghela napas pelan. "Enggak bisa, Bu. Lintang kerja dan enggak bisa cuti."
"Oh kalau kamu enggak mau datang, biar Ibu yang ke Jakarta untuk seret kamu pulag. Mau kamu?"
"Terserah ibu deh!" Lintang langsung mematikan sambungan teleponnya dengan kesal.
Niat Lintang merantau ke Jakarta agar mendapatkan ketenangan dari keluarganya, ternyata tetap saja. Kalau Lintang mau jadi anak durhaka, ia bisa saja memblokir nomor telepon orang tuanya, tapi untungnya ia masih ingat dosa dan ingat jasa-jasa orang tuanya.
"Apa gue minta tolong Cakra aja ya, buat ikut ke Lombok?" Lintang mengembuskan napasnya. "Ah, Mario, kenapa kita harus putus?" Lintang benar-benar frustasi mengingat peliknya hidup.
***
"Nikah yuk," ujar Lintang secara tiba-tiba yang membuat Cakra langsung tersedak nasi goreng yang sedang ia kunyah. Saat ini keduanya sedang berada di salah satu tempat makan. Lintang sengaja mengajak Cakra bertemu karena ada hal yang mau ia bahas, terkait permintaan orang tuanya untuk segera pulang ke Lombok."Hah, kenapa tiba-tiba? Kamu juga baru putus sama pacar kamu, kan? Dan aku yakin kamu juga belum bisa move on, kan?" Cakra tidak habis pikir dengan permintaan Lintang yang secara tiba-tiba.Lintang meneguk minuman yang ada di hadapannya. "Gini, jadi orang tua aku di Lombok udah ngebet banget nikahin aku, sedangkan sekarang aku kan baru putus. Kalau aku belum ada calon, mereka mau jodohin aku sama laki-laki pilihan mereka, dan aku enggak mau. Jadi, aku mau minta tolong sama kamu buat nikahi aku, mungkin sampai setahun ke depan. Nanti setelah satu tahun, kita bakal cari cara biar bisa cerai. Gimana, kamu mau kan bantu aku?" Lintang sangat berharap kalau Cakra mau membantunya, Linta
"Saya terima nikah dan kawinnya Lintang Nazeala binti Rahmat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ujar Cakra dengan lantang seraya berjabat tangan ayahnya Lintang. Akad nikah diadakan di salah satu masjid yang tidak terlalu besar. Awalnya orang tua Lintang menolak kalau pernikah``````````````annya diadakan di Jakarta dan hanya akad nikah saja, tetapi Lintang menjelaskan kalau ia tidak bisa pulang ke Lombok karena tidak mendapat izin cuti dari atasannya, dan Lintang beralasan tidak perlu menggelar acara yang meriah, lebih baik uangnya ditabung untuk masa depan, yang penting mereka sah. Orang tuanya tahu kalau pernikahan mereka didaftarkan secara hukum juga, padahal ini adalah pernikahan hanya sah secara agama, agar kelak ketika mereka berpisah, tidak perlu repot menjalani persidangan dan segala macamnnya.Setelah selesai ijab qabul, Lintang langsung mencium tangan Cakra, dan Cakra mencium keningnya Lintang. Kemudian mereka beralih mencium tangan orang tuanya Lintang.Rahmat berpes
Ballroom hotel saat ini tengah dipadati para tamu undangan, kurang lebih 2500 tamu undangan mengisi ruangan. Laras dan Aksa memang berasal dari keluarga terpandang yang memiliki kerabat dan relasi dari dalam maupun luar kota, jadi tak heran kalau acara resepsi ini digelar dengan meriah.Di antara ribuan undangan itu ada Cakra yang datang bersama Lintang untuk memenuhi undangan. Sebenarnya Cakra malas bertemu orang-orang yang telah menghancurkan hatinya, Laras dan Aksa. Hampir tujuh tahun Cakra menjalin hubungan dengan Laras, tapi seenaknya Aksa menikung kekasihnya itu.Lintang cukup kagum dengan kemeriahan acara tersebut, karena baru kali ini dia menghadiri acara semeriah itu, master ceremony, band, dan pengisi acara lainnya dibayar mahal untuk mengisi acara ini. Gaun pengantin menjuntai ke belakangan dengan indah, membuat Laras tampak lebih anggun.Saat Lintang sedang mengagumi acara itu, tangan Cakra langsung menariknya ke atas pelaminan untuk basa-basi memberi selamat."Hm, hai. Sel
Lintang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang periklanan pada posisi accounting, seperti biasa puluh 17.30 dia keluar kantor, tapi kali ini tujuannya bukan indekos, melainkan sebuah restoran yang menjadi tempat makan malamnya nanti.Mobil Cakra baru saja sampai di lobi, dan Lintang langsung menghampiri yang ditunggunya sejak tadi."Nanti acaranya jam 8, kita masih ada waktu buat siap-siap," ujar Cakra setelah Lintang berada di sebelahnya.Lamborghini memecah jalanan ibu kota, tujuan mereka sekarang adalah sebuah mall, Cakra ingin mengubah menampilan Lintang agar menjadi lebih menarik.Setelah mobilnya terparkir di basemant, mereka pun keluar dan langsung mencari dress, sepatu, serta tas untuk Lintang. Kemudian, Cakra membawa Lintang ke salon untuk didandani secantik mungkin, karena ini adalah pertemuan mereka dengan keluarga besar.Baru beberapa hari kenal dengan Cakra, membuat Lintang tidak menjadi dirinya sendiri. Lintang tidak suka memakai barang-barang mewah, ber
Cakra adalah satu-satunya cucu Aryo yang memilih profesi di luar medis, dia mengambil jurusan komunikasi saat kuliah, dan sekarang dia sudah bekerja pada salah satu perusahaan bonafit di Jakarta selatan. Ilham adalah teman kantor yang telah menjadi sahabat Cakra sejak mereka sekantor setahun yang lalu. Sedikit banyak Ilham tahu tentang Cakra.Setelah mematikan komputernya, Ilham menghampiri Cakra di kubikelnya."Cak, kita makan siang dulu."Cakra pun beranjak dari kursinya dan ke warung makan di depan kantor yang telah menjadi langganan mereka."Ham, Lintang udah susah dihubungi." Cakra membuka obrolan sembari menunggu pesanan mereka datang.Ilham mengernyit. "Lo beneran jatuh cinta sama dia?""Bukan, tapi gue masih butuh bantuan dia. Mana malam minggu ini keluarga besar gue mau pesta BBQ, terus si pengantin baru juga ikutan, tengsin banget gue kalau nggak bawa pasangan.""Cari pasangan lain.""Nggak, itu malah menimbulkan pertanyaan baru, nanti mereka bisa curiga kalau itu cuma pasang
Weekend adalah hari yang paling dinanti-nanti oleh para pelajar sampai para pekerja. Bisa bersantai bersama keluarga, pasangan, teman, atau hanya sekadar rebahan di kasur.Selesai mandi, Lintang mengambil ponsel di atas nakas, dan melihat aplikasi W******p, tidak ada chat dari Mario, pacarnya yang nun jauh di sana. Kalau dihitung-hitung ini hari ke tiga Mario tidak ada kabar.Akhirnya dengan menurunkan ego, Lintang menghubungi Mario terlebih dahulu.Lintang NazealaMario, apa kabar?Beberapa detik Lintang menunggu balasan, tapi tidak ada balasan padahal online. Dibaca saja tidak apalagi dibalas.Chat lagi nggak, ya?Tak lama kemudian muncul seorang perempuan yang masuk ke kamar Lintang."Lin, pinjam detergen dong, mau nyuci.""Minta, Sya, bukan minjem," ralat Lintang ke tetangga kamarnya yang bernama Tasya itu.Tasya hanya menyengir. "Eh iya, itu tahu.""Ambil aja, ada di balik pintu."Tasya langsung mengambil detergen, tapi sebelum dia keluar, Lintang memanggilnya."Sya, kalau misal a
Cakra memapah Lintang turun dari mobilnya, sekarang mereka sudah berdiri di depan rumah mewah, kediaman Aryo. Entah kenapa, pria itu lebih suka tinggal sendiri hanya ditemani beberapa asisten rumah tangga, daripada tinggal bersama anak-anaknya. Sang istri, Diana sudah meninggal tiga tahun lalu karena penyakit komplikasi yang dideritanya.Keduanya masuk ke dalam ruang tamu, beberapa keluarga telah berkumpul."Lho, aku kira Cakra datang sama perempuan yang lebih berkelas, ternyata cuma perempuan kampung yang nyasar ke Jakarta," celetuk Vania dengan entengnya.Cakra yang mendengar hal itu langsung menyunggingkan sebuah senyuman. "Ini lebih baik, daripada menikung pacar saudara sendiri. Lebih hina mana?" Cakra terang-terangan menyindir Aksa yang sedang duduk di salah satu sofa.Reza langsung menghentikan pertikaian ini. "Sudah-sudah, mendingan Lintang langsung ke belakang rumah untuk bantuin masak," Dia pun melirik ke adiknya, "Kamu juga Vania!"Cakra pun langsung menggenggam tangan Lintan
Lintang masih memikirkan kejadian kemarin malam, sedari tadi jarinya terus memegang bibir yang dinodai oleh Cakra.Sekelebat memori pun terlintas di pikiran Lintang. Seminggu setelah wisuda S1, Lintang dan Mario duduk di sebuah kafe, ditemani obrolan ringan, sampai akhirnya Mario pun membahas sesuatu yang membuat Lintang terkejut."Lin," panggil Mario yang baru menyesap kopinya saat itu, "selama kita pacaran hampir empat tahun, aku belum pernah dapat apa-apa dari kamu."Lintang mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?""Ya kayak pasangan lain, misal sekadar kissing atau sesuatu yang lebih dari itu."Lintang sudah mengerti ke arah pembicaraan itu. "Maaf, Yo. Aku akan memberikan hal itu ke seseorang yang halal, kita cuma pacar bukan suami istri."Terlihat jelas raut wajah Mario saat itu berubah menjadi masam. Tidak ada lagi obrolan di antaranya, mereka hanya menghabiskan makanan masing-masing dalam keadaan diam. Tiga hari setelahnya pun Lintang mendengar kabar kalau Mario dapat beasiswa me