“Luis aku ingin kita ... ce-cerai.”
Bibir kecil pucat Alice bergetar. Sepasang lututnya lunglai, ia tak berani menatap lelaki yang kini berdiri di depan Alice dengan kelopak mata nampak memberat.Rambut blonde teracak basah seperti habis tercebur, ditambah dengan kemeja yang kusut membuat tampilan kacau Luis tak layak dipandang.“Cerai? Apa karena kau tidak kunjung hamil anak dariku?” Luis bertanya dengan kekehan dingin, sembari mengatur tungkai kaki yang berdiri tak tenang di ambang pintu, “Alice, ... Alice. Kau memang wanita yang sangat licik!”Aroma alkohol menyeruak kuat ke dalam hidung Alice, membuat wanita itu menarik wajah ke belakang dengan pangkal hidung berkerut.“Apa kau juga sudah mendapatkan harta dari pria tua itu?” imbuh Luis menatap remeh Alice, membuat jemari tangan di kedua sisi tubuh wanita itu mengepal kuat, “kalau kurang, tenang saja, aku akan memberimu tambahan. Tulis saja berapa nominal yang kau mau.”Alice sudah bertahan selama ini, dan Luis menganggap kesabarannya, hanya demi uang?Waktu tiga tahun tidaklah mudah untuk Alice. Wanita cantik yang menutup dirinya dengan tampilan sederhana itu, menahan perih saat Luis memilih menghabiskan malam dengan para teman kencannya dibandingkan pulang.Bola mata bulat Alice terangkat melurus, tanpa sadar bulir bening tergelincir dari sudut mata.Ia menatap tajam sang suami, seakan ingin mengatakan, “Tak bisakah Luis menyadari cinta tulus yang telah ia berikan selama ini?”“A-aku ti-tidak lagi bermimpi memiliki anak darimu, Luis. Sebesar apa pun usahaku mempertahankan pernikahan ini, pada akhirnya kamu tidak akan pernah menginginkanku,” ungkap lantang Alice dengan suara bergetar.“Bagus. Kalau kau sudah sadar. Sekarang mau apa lagi, minggir, Bodoh! Kau ingin, cerai? Ya, cerai saja. Apa kau pikir aku peduli?”“... hahaha, dasar wanita murahan. Aku sepertinya terlalu meremehkan kemampuanmu merayu kakekku. Hebat, kau memang hebat!” imbuh Luis menghardik melengking bercampur sindiran atas kedekatan Alice dan sang kakek sembari tertawa kencang.Lengan berotot lelaki itu berhasil mendorong kasar bahu kecil Alice hingga tubuh rampingnya tersentak, lantas terbentur ke daun pintu kamar.Ini bukan kali pertama Alice mendapat kalimat pedas serta perlakuan kasar dari sang suami.Namun, entah kenapa ... kalimat menyakitkan itu lagi-lagi seperti bola api, yang terlempar tepat membakar hati Alice.Ingatan di kala malam pertama kembali terputar di benak Alice, saat mengingat hinaan yang dilontarkan Luis. Hanya karena Alice Gracia berasal dari sebuah kota kecil, dan Luis menganggap dirinya sebagai aib.Alice merintih, bahu mungilnya terasa nyeri. Kelopak mata kian menyipit basah, menangkap pergerakan punggung lebar Luis kian bergerak gontai menjauh dari posisi Alice berdiri.Kedua tangan Alice mulai terjuntai di kedua sisi tubuh, perlahan jemari lentiknya meremas kuat sisi pakaian. Lapis demi lapis kuku wanita itu menjadi memerah, menahan rasa sesak di dada ketika disakiti oleh sikap Luis untuk kesekian kali.Cukup! Alice sudah sangat muak dengan semua ini.“Luis, berhenti!” pekik Alice sekuat tenaga kemudian menambahi, “Aku sungguh ingin kita berpisah.”“... mulai detik ini. Aku akan kembali ke Meersburg. Karena kamu benar, tempatku memang bukan di istana megahmu ini.” Alice berkata dengan suara serak sangat lirih, ia melontarkan seluruh emosinya yang bergejolak.Entah didengar Luis atau tidak, Alice tak peduli.“Aku hanya wanita kampung, lulusan dari kampus yang tidak setara denganmu, dan tidak akan pernah pantas menjadi Nyonya di sini, di rumah Tuan Muda Pietro.”“... kamu memang benar! Sekarang, kamu bisa menikahi Davina.” Kalimat terakhir ini sebagai keputusan final wanita menyedihkan itu.Setelah mengatakan, Alice membalik tubuh, ia bergegas pergi ke kamar. Kamar yang sejak awal pernikahan telah dipisah dengan milik Luis.Kamar Alice tak ubahnya seperti kamar pelayan rumah. Sederhana, terbatas, dan tak memiliki fasilitas mewah yang seharusnya dimiliki oleh para nyonya muda lainnya.Sekembalinya ke kamar. Wanita cantik yang membalut tubuh dengan blus berbahan katun, dipadu dalaman kerah turtleneck itu segera bergegas mengambil koper, memasukkan berbagai potong pakaian kumal dari lemari ke koper sembari terisak.Ia sama sekali tak menyentuh satu pun pakaian mahal yang terpaksa dibelikan Luis kala itu di depan Tuan Besar Pietro.Meski hidup menyakitkan selama tiga tahun bersama Luis, tetapi dengan bodohnya hati Alice terus saja berporos, dan memilih Luis. Pilihan yang diakuinya sangat pahit dan berduri.“Sudah tiga tahun, dia bahkan tidak pernah sekali pun menyentuhku, apalagi mengatakan menyukaiku. CK!”“... dan, aku justru mencintai pria brengsek itu. Alice, kamu sungguh sangat bodoh!” Entah sudah berapa kali Alice merutuki dirinya sendiri.Mencintai Luis Pietro seperti menggenggam sisi tajam sebuah belati.“Aku ingin memiliki anak darimu, tapi kamu terus mengatakan membenci anak kecil, apalagi yang terlahir dari rahimku, dasar pria jahat!”“... seharusnya aku tidak menyetujui permintaan kake ..., Luis? Kenapa kamu ke kamarku?!” Kalimat Alice seketika terpotong, saat mendengar hentakan keras dari pintunya yang didobrak.Bibir basah Alice yang sempat mendumel seketika terbungkam, saat menatap nanar sosok Luis dengan tampilan yang jauh lebih kacau dari beberapa menit lalu, telah berdiri di bibir pintu.Kemeja kusut tadi telah hilang, menyisakan dada bidang dengan kulit putih terhiasi lelehan keringat.“Mau apa kamu, hah?” Alice mengulur sebelah tangan waspada ke depan tubuh, untuk menghalau langkah Luis yang kian mendekat, sebab Alice pikir lelaki itu akan menyakitinya lagi, “kamu sudah setuju kita akan cerai.”“... lalu untuk apa kamu datang ke sini, dan terlihat marah? Apa ini karena harta kakekmu?”Seringai dingin melengkung di bibir Luis, sebelah lengan yang terlipat bertumpu di sisi pintu, menatap miring ke arah Alice. “Coba katakan sekali lagi, telingaku sedikit tuli.” Mendengar perkataan itu, Alice menggeram dongkol, Luis memang definisi lelaki gila, sinting, dan tak tahu malu! Dan bisa-bisanya, ia bertahan terbodohi hingga detik ini. “Dengar Luis, dengar baik-baik. Buka telingamu, oke? Malam ini aku akan pergi!” “... dan satu hal yang perlu Kamu tahu, aku tidak menerima apa pun dari kakekmu. Kamu dengar itu?!” sambung wanita itu memekik berapi-api. Hatinya sangat kesal, selalu dituduh Luis mengincar harta keluarga Pietro. Huh, apa Alice tampak semurahan itu? “Jelas aku ingin cerai denganmu.” “... tapi, siapa kau berani meninggalkanku, dengan cara murahan seperti ini, hah?!” tanggap Luis tak kalah berteriak kencang, dengan rahang kokoh mengetat, merasakan seluruh tubuh atletisnya kian panas tak terkendali. Di detik itu juga Luis mencoba menggeleng kasar sembari menger
Entah itu pujian atau hinaan yang tersirat, tetapi setelahnya Alice hanya bisa mendesah mendapat serangan bertubi-tubi dari bibir, serta sentuhan jemari panjang Luis di setiap jengkal tubuh indah Alice. Luis malam ini tak ubahnya seperti binatang buas, yang kelaparan di tengah hutan. Tak ada satu pun bagian di tubuh Alice, yang tak tersapu bibir basah Luis. Hingga dada wanita itu melengkung tinggi, saat merasakan sesuatu hendak menerobos paksa bagian inti Alice, yang terus dicoba berkali-kali di sela deru napas tersengal Luis. “Sial, susah sekali!” umpat Luis untuk kesekian kali. Ia memutuskan berhenti, ia mencoba berkonsentrasi untuk menormalkan degub jantung yang terus berpacu cepat. “Sakit! Ja-jangan!” Tangan Alice berusaha mendorong bahu kekar Luis, agar segera pergi dari atas tubuhnya, tetapi kekuatan wanita itu sama sekali tak sebanding dengan gulungan gairah yang membuat Luis menyeringai mengerikan. Tubuh berotot itu kembali turun, Luis memberi kecupan dalam dan kasar di bi
Peduli setan dengan aturan dari para pengawal, Alice tahu jika jalannya tak akan semulus jalan tol. Jadi, sebelum menerima penolakan, sekitar pukul empat pagi tadi, Alice menyelinap masuk ke kamar Luis; mencuri buku nikah mereka.“Oh tidak mungkin, Nyonya pasti membohongi saya.”“Kenapa aku harus membohongimu? Kamu bisa memeriksa sendiri. Silakan,” balas Alice dengan senyum merekah, terus saja menyodorkan buku pernikahan Alice dan Luis.Sekretaris Luis akhirnya menerima. Dia menurunkan pandangan ragu ke arah buku kecil itu, sembari meneguk kasar ludahnya saat pantulan matanya meraup potret foto formal pasangan suami istri.Dan foto lelaki itu memang, ... Luis Pietro.“Astaga! Ja-jadi Anda ....”“Kamu sudah tahu siapa aku kan? Tolong tunjukan di mana ruangan Tuan Luis. Jangan sampai aku meminta suamiku memecatmu.” Alice menyambar cepat, seakan tahu arah tujuan perkataan wanita berpakaian formal itu, yang masih menatap Alice lekat, “aku janji, tidak akan membuat masalah.”Setelah
“Tuan Luis, saya menemukan alat tes kehamilan milik Nyonya!”Luis berkacak pinggang dengan peluh membasahi wajah tampannya yang menegang. Sorot mata tajam lelaki itu menyebar ke segala sisi sudut ruangan kamar sederhana Alice. Lagi-lagi ia mengumpat, saat pandangannya terpatri pada lemari pakaian sang istri yang terbuka berantakan karena ulah Luis.Kamar sederhana Alice telah berhasil diubah menjadi lautan sampah. Pecahan lampu, vas bunga, hingga bingkai foto pernikahan mereka berserakan di lantai. Beberapa potong pakaian bermerek mahal pun ikut terkoyak.Setelah memutuskan pulang, Luis segera mencari keberadaan Alice di seluruh sudut rumah. Namun, sayangnya, istri yang terus tak dipedulikan Luis itu, telah pergi dengan meninggalkan pakaian-pakaian mahal pemberiannya, juga sebuah dokumen gugatan cerai yang tergeletak di atas nakas.“Fuck you, Alice! Apa hasilnya? Apa dia hamil?” todong Luis tak sabaran saat melihat sang asisten pribadi datang dari kamar mandi luar, terseok-seo
“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?” “... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga be
“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal
“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang