“Tuan Luis, saya menemukan alat tes kehamilan milik Nyonya!”
Luis berkacak pinggang dengan peluh membasahi wajah tampannya yang menegang.Sorot mata tajam lelaki itu menyebar ke segala sisi sudut ruangan kamar sederhana Alice. Lagi-lagi ia mengumpat, saat pandangannya terpatri pada lemari pakaian sang istri yang terbuka berantakan karena ulah Luis.Kamar sederhana Alice telah berhasil diubah menjadi lautan sampah. Pecahan lampu, vas bunga, hingga bingkai foto pernikahan mereka berserakan di lantai. Beberapa potong pakaian bermerek mahal pun ikut terkoyak.Setelah memutuskan pulang, Luis segera mencari keberadaan Alice di seluruh sudut rumah.Namun, sayangnya, istri yang terus tak dipedulikan Luis itu, telah pergi dengan meninggalkan pakaian-pakaian mahal pemberiannya, juga sebuah dokumen gugatan cerai yang tergeletak di atas nakas.“Fuck you, Alice! Apa hasilnya? Apa dia hamil?” todong Luis tak sabaran saat melihat sang asisten pribadi datang dari kamar mandi luar, terseok-seok memegang alat penguji kehamilan.“Garis alat tes kehamilan ini hanya menunjukkan satu garis saja. Itu artinya Nyonya Alice tidak hamil.”Mendengar hal itu, teriakan kencang penuh hardikan seketika keluar dari mulut iblis Luis. Entah kenapa, ia begitu marah ditinggalkan Alice dengan cara seperti ini.Hanya dalam hitungan detik Luis menghancurkan kamar Alice dengan stick baseball, tanpa ada satu pun yang bisa mencegah. Hingga dokumen gugatan cerai yang telah ditanda tangani Alice terlempar di bawah kaki seorang lelaki separuh baya yang baru saja tiba di sana.“Brengsek! Kalau kau tidak hamil, kenapa harus pergi dariku?! Dasar wanita murahan!”“Kami memberi hormat pada Tuan Besar Pietro,” ucap penuh kesopanan dari asisten pribadi Luis, sembari membungkukkan tubuh disambut para anak buah yang lain.“Ambil dokumen itu.” Sebuah perintah yang langsung diangguki cepat oleh asisten pribadi Luis, “katakan padaku, dokumen apa itu.”Dokumen yang telah kusut itu diambilnya, lantas dibawa untuk dibuka. Dan di persekian detik, mata asisten pribadi Luis membulat lebar, hampir saja ia melontarkan ketidakpercayaannya.Namun, beruntung, ia masih bisa mengendalikan diri di depan sang tuan besar Pietro.“Do-dokumen ini ... berisikan gugatan cerai dari Nyonya Alice, Tuan. Saya akan segera membakarnya.”“Oh, gugatan cerai. Sudah aku duga. Tangkap Luis!” Sebuah seruan perintah itu membuat para anak buah keluarga Pietro saling melirik penuh kebingungan. Pasalnya saat ini Luis tengah mengamuk.“Cepat tangkap, dan paksa dia menanda tangani surat cerai itu. Bukankah dia yang menginginkan ini? CEPAT! Cucu bodohku itu sudah membuatku malu pada sahabatku.”“Ba-baik, Tu-Tuan Be-Besar. Ayo, cepat tangkap Tuan Muda!” tanggap patuh tangan kanan Tuan Besar Pietro, yang langsung memerintah para anak buahnya untuk menangkap Luis, kemudian didudukkan paksa di lantai kamar Alice meski lelaki muda penuh kuasa itu terus memberontak dan mengumpat.“Kurang ajar kalian! Aku Tuan Muda kalian! Lepaskan, aku tidak mau menanda tangani dokumen sialan itu! Kakek, lepaskan aku!” murka Luis terus mengepalkan kuat telapak tangan agar sang anak buah tak bisa memasukkan pena di genggamannya.“Tutup mulutmu, Luis! Paksa dia untuk menanda tangani. Dan selesaikan segera perceraian Luis dan Alice. Setelah ini, jangan berpikir kau bisa menduduki jabatan di perusahaan induk, kalau kau tidak punya anak!”“... kau membuatku malu, Luis! Sangat malu. Sama dengan kelakuan orang tuamu. Pukuli dia sampai mati!” hardik murka sang kakek tak kalah marah, “dasar bocah bedebah!”“Baik, Tuan Besar. Kami mengerti.” Sang tangan kanan mengangguk patuh untuk kesekian kali setelah menjawab, dia memaksa Luis untuk menggenggam pena tersebut, kemudian menggerakkan tangan lelaki itu di atas nama Luis di sana, “maafkan kami, Tuan Muda.”“Brengsek kalian semua! Mati saja kalian!”***Pepatah lama mengatakan, untuk bertahan hidup hanya perlu memilih satu dari dua pilihan. Bertahan penuh luka, atau justru pergi dengan kenangan membeku dalam hati.Dan Alice memilih untuk pergi, sejauh mungkin, meski kenangan buruk Luis terus menghantui hingga lima tahun ini.“Mommy! Mommy!” Suara menggemaskan penuh semangat itu, membawa kelopak mata Alice mengerjap.Ia sedikit menoleh, saat suara riang tersebut kian mendekat, lantas sebuah lengan mungil bergelayut manja di leher belakangnya.Setitik bulir bening yang membendung di sudut mata pada akhirnya jatuh. Malaikat kecil yang telah mengubah hidup kelam Alice, kimi telah tumbuh sehat dan sangat tampan.“Mommy! Lho, ... Mommy, mau pergi lagi?” imbuhnya terkejut saat bola mata kecil biru beningnya jatuh pada lipatan pakaian di atas koper.Entah sudah berapa kali Alice meninggalkan bocah laki-laki itu di saat ada acara penting di antara mereka berdua, “Mommy, lupa kalau Gerrald mau ulang tahun tiga hari lagi, ya?”Alice mengulas senyum getir, dengan telapak tangan terangkat, menyelimuti punggung tangan mungil sang putra. Ia memejam sesaat sembari menggigit bibir bawahnya.Apa yang dikatakan sang putra memang benar, Alice hampir saja lupa ulang tahun Gerrald. Ya Tuhan! Lirihnya menyesal dalam diam, dan ia terus merutuki kesibukan Alice di dunia kerja.“Bagaimana kalau kita majukan, jadi sore ini, Jagoan?” tawar Alice pada sang putra sembari membawa punggung tangan mungil itu untuk dikecup lembut.Ia diam-diam menghela napas dalam, mengingat besok dirinya sudah harus melakukan penerbangan untuk perjalanan bisnis bersama Hugo.Dan lagi-lagi, Alice lupa memberitahu Gerrald seminggu yang lalu.“Sore ini? Oke, deal, Mommy! Tapi, janji, ya! Jangan bohong lagi. Gerrald mau tiup lilin sama Mommy.”“Ya, Honey! Mommy janji. Maafin Mommy, ya. Mommy selalu sibuk dan membuat Gerrald sedih,” balas Alice penuh rasa bersalah pada sang putra.Tiba-tiba saja Gerrald berlari kecil ke depan tubuh Alice, yang terduduk di atas karpet berbulu, lantas kembali memeluk erat dari depan.Alice membalas gemas pelukan sang putra, sembari menghirup dalam baby cologne yang begitu menenangkan dari tubuh Gerrald.Perjalanan bisnis kali ini akan membuka sejarah luka lama yang telah ditutup rapat oleh Alice.Alice akan kembali ke Jerman. Dan berharap, tak ada pertemuan untuk kedua kalinya dengan Luis Pietro.Setelah Alice meninggalkan alat tes kehamilan palsu milik Rose kala itu, mungkin Luis telah melupakan dirinya. Bahkan kehadiran Gerrald. Dan, ... Mungkin, itu yang lebih baik.“Kamu ... sangat mirip dengan pria itu, Gerrald. Mommy, seakan bisa melihat pria jahat itu di sini. Ya Tuhan, bagaimana kalau ada yang menyadari keberadaanmu? Mommy tidak bisa kehilanganmu,” gumam resah Alice dalam hati yang terus mendekap putra kecilnya.Gerrald Gracia Waller akan genap berusia lima tahun tiga hari lagi. Sungguh hal yang menakjubkan. Alice seakan ditarik kembali pada ingatan menyakitkan, saat bagaimana ia bertahan dalam sulitnya hamil besar tanpa adanya Luis.Seluruh masa-masa sulit itu dapat ia lalui, karena keberadaan dua sahabatnya. Entah berkat apa yang telah Alice lakukan di kehidupan dulu, tetapi ia merasa sangat beruntung.“Gerrald, sampai kapan kamu memeluk mommy-mu, ayo mandi. Pria dewasa mana ada yang jorok.” Bola mata basah Alice bergerak, mencari sumber suara familiar itu, yang kini telah mendudukkan tubuh di pinggir ranjang, ”sudah siap-siap? Yakin kamu mau pergi ke sana?”Sorot mata ragu Rose menyoroti barang-barang di koper Alice yang masih terbuka.Ia pun juga tampak ragu dengan perjalanan bisnis ini, apakah Alice akan membatalkan saja?“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?” “... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga be
“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal
“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi
Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba
Lampu di sekitar jalan kota Berlin sedikit menghibur Alice yang masih terengah-engah.Ia menyapu kasar peluh lelahnya di sekitar kening dan leher, karena lagi-lagi Alice berhasil menghindari sang mantan suami gilanya.Bagaimana mungkin Luis mengajak Alice menikah lagi, jika lelaki itu telah menikahi Davina. Ck! Gila, gila! Dasar Luis gila.Keterlaluan sekali dia ‘kan? Apa Luis pikir Alice masih jadi wanita bodoh seperti dulu?Taksi yang ditumpangi Alice akhirnya sampai di depan rumah milik Hugo. Setelah sedikit berbincang dengan supir taksi, akhirnya Alice melangkah keluar untuk segera masuk ke rumah sang bos.Sebelum taksi benar-benar pergi, Alice sempat terhenyak dengan perkataan supir taksi, “Lain kali kalau Nona sedang putus cinta, hubungi saya lagi, ya. Lumayan kalau putar-putar jalanan kota.”Sedang, Alice hanya membalas dengan senyum kaku, lantas reflek mengangguk berat.Karena Luis, dan lagi-lagi karena lelaki itu, Alice sampai memerintah supir taksi untuk memutar jalan