“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.
“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?”“... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga bersitatap dengan sang sahabat.“Aku tidak mau merugikan perusahaan Hugo, Rose. Lihatlah bagaimana Hugo membangun perusahaan itu kembali, setelah hampir bangkrut.”“Lalu, bagaimana kalau nanti penggantiku, justru melakukan kesalahan, dan membuat klien meminta ganti rugi? Jadi aku harus pergi.” Alice memang tak ada pilihan lain, dan mau tak mau harus pergi.“Huft, memang susah, ya. Kalau sudah berurusan dengan pekerjaan. Kamu tenang saja, aku akan menjaga Gerrald,” tanggap wanita berambut hitam legam itu, yang sedikit menurunkan tubuh, lantas mencolek menggoda, pipi putih Gerrald, “kamu sama Mommy Rose di rumah, ya! Mommy-mu mau kerja. Oke, Tampan?”“Tidak mau. Gerrald, mau ikut Mommy.” Hanya dalam hitungan detik ruangan tenang itu telah dipenuhi isak tangis disertai rengekkan dari Gerrald.“Kenapa setiap ulang tahun Gerrald, Mommy selalu sibuk? Teman-teman sekolah Gerrald selalu menyanyi dan tiup lilin ulang tahun dengan mommy dan daddy mereka juga, tapi daddy Gerrald ... di mana, Mommy?”Alice terhenyak, hatinya tercelos mendengar pertanyaan sang putra. Bibir wanita itu bergetar panik, ia bingung harus merangkai kalimat seperti apa untuk menjawab.“Daddy-mu, ... Justru ingin kamu tidak pernah merayakan ulang tahun, Gerrald. Apa itu yang ingin kamu dengar?” Jawaban itu hanya bisa disimpan dalam hati.Alice tak mungkin mengatakan hal yang dapat menyakiti hati sang putra, jika kehadiran Gerrald begitu dibenci Luis.“A-ada Daddy Hugo kan?” bisik lembut Alice di depan telinga sang putra, sembari mengelus kepala belakang. Tak lupa memberi beberapa kecupan.“Bukan!” Gerrald berteriak kencang, lantas melepaskan pelukannya membuat Alice dan Rose terperanjat, menatap wajah mungil Gerrald yang telah memerah basah, “Daddy Hugo bukan daddy Gerrald!”“Sayang, dengar Mommy, ya. Daddy Gerrald itu Daddy Hugo. Mommy tidak bohong padamu,” bujuk Alice meski ia harus kembali berdusta.Umur Gerrald masih teramat kecil untuk mengetahui udara yang ia hirup berasal dari dunia yang begitu kejam.“Mommy, bohong! Kalau Daddy Hugo, itu daddy Gerrald, kenapa Mommy dan Daddy tidak pernah tidur satu kamar?”Degh!Kenapa Gerrald bisa menyadari hal ini?***Musim semi tahun ini di awali dengan pekerjaan yang sangat padat. Tak ada waktu bersantai, atau sekadar menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.Entah disengaja atau tidak, Luis berpikir rutinitasnya ini cukup untuk membuang ingatan lima tahun lalu, saat digugat cerai Alice.“Tuan Luis, kita akan segera bertemu dengan Tuan Anderson, tapi beliau tidak ingin bertemu di restoran.”Langkah Luis berhenti, begitu pun Franz yang hampir saja menubruk punggung sang tuan saat dia tengah fokus pada layar ponselnya.“Maksudmu apa, hah?! Baru sepuluh menit yang lalu, dia mengatakan ingin kita pindah dari hotel ke restoran. Sekarang ke mana lagi, ini sudah dua tempat, dan gagal lagi. Sialan! Apa dia ingin mati di tanganku, hah?!” umpat Luis begitu geram.Baru kali ini, ia dipermainkan oleh rekan bisnisnya. Beberapa hari ini, Luis telah menyelesaikan pertemuan dengan para pemimpin perusahaan raksasa di negara ini.Dan hal tersebut sudah cukup membuat tenaga Luis terkuras habis.“Tuan Luis harus menahan emosi. Perusahaan Tuan Anderson termasuk salah satu dari perusahaan yang berhasil meningkatkan penjualan tertinggi di tahun ini.”“... dan masuk ke majalah Forbes. Kita tidak bisa membuatnya marah,” tanggap Franz seakan tahu ledakan amarah yang sebentar lagi akan membuat Franz kalang kabut untuk mencari jalan kabur.“Brengsek, sialan!” umpat Luis tak terima, ia memang tak punya pilihan lain kecuali menuruti saran dari Franz.Tak begitu lama sebelah alis Luis terangkat, saat mendengar Franz mengatakan ada panggilan yang kembali masuk dari asisten pribadi Tuan Anderson.“Cepat angkat. Dan tanya, di mana kita akan bertemu. Aku tidak ingin membuang waktuku lagi.” Luis kembali berkata dengan nada kesal.Jika, tak mengingat perusahaannya begitu butuh kerja sama ini, Luis jelas akan langsung kembali ke hotel dan menyerahkan seluruh urusan ini pada Franz.“Baik, Tuan.” Frans pun mengangguk takut-takut, ia lantas segera memberi respon seramah mungkin dalam sesi tanya jawab di panggilan telepon yang tengah tersambung.Hanya membutuhkan dua puluh menit panggilan itu pun berakhir.“Sudah? Apa asisten pribadi Tuan Anderson seorang wanita? Betah sekali dia bicara denganmu selama ini,” sindir lelaki tampan itu, dengan mata menyipit sebab silau cahaya matahari sedikit mengganggu pandangan.“Sudah, Tuan. Ya, dia seorang wanita. Tapi, ada satu masalah. Dan saya pikir, Tuan Luis bisa menunggu di salah satu kursi taman di sini.”“Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit, atau kulempar kau ke danau!” sengit Luis selalu melibatkan urat jika berbicara dengan sang asisten pribadi.“Ja-jangan, Tuan. Ampuni saya. Tuan Anderson meminta tolong untuk mencarikan putrinya di sebuah acara ulang tahun sore ini.”“... kebetulan acara itu ada di taman ini. Dan ini ....” Layar ponsel menyala milik Franz dimajukan ke arah sang tuan.Di sana menampilkan sosok gadis kecil cantik berbalut dres pink, nampak tersenyum lebar membuat Luis mendengkus geram tak merasa ingin memuji.“Pengasuh putri Tuan Anderson hari ini sakit, jadi tugas dialihkan pada asisten pribadi Tuan Anderson. Tapi, dia ada kendala dengan mobilnya di jalan.” Lanjut Franz seakan tahu kekesalan apa yang tengah dipikirkan sang atasan.“Yasudah, tunggu apa lagi? Cepat pergi sana. Memuakkan sekali! Anak kecil memang selalu merepotkan.” Luis begitu dongkol, jika harus berurusan dengan anak kecil yang begitu ia benci.“Ya, saya akan pergi dulu, Tuan. Tolong, jika terjadi sesuatu segera telepon saya.”Kepergian Franz membuat Luis bingung untuk berjalan ke arah mana, guna mencari tempat duduk. Luis pun akhirnya memilih jalan di sisi kiri tubuh.Sedang asik memandang ke sekitar taman, ia dikejutkan dengan hentakan di tulang kaki keringnya. Disusul suara merintih kesakitan di bawah sana.“Aaakh! Kueku!” pekiknya saat menyadari sepotong kue dengan krim biru langit itu telah teronggok kotor di atas rumput.“Hei, Bocah!” Luis tanpa sadar meninggikan suara saat menyadari celana bahannya ternodai oleh krim kue, “apa kau tidak punya mata? Tubuh kecilmu apa tidak bisa melihat tubuh besarku?”Bocah laki-laki itu masih menunduk, lantas merangkak untuk mencoba mengambil potongan kue yang teronggok tepat di depan sepatu pantofel Luis.Dan lagi-lagi kepala bergerak kesal saat melihat ujung sepatu mahalnya juga terkena noda krim kue, membuat sang pemilik kian geram.Sungguh sial hari ini, pikir lelaki itu.“Itu kue terakhir untuk mommy .... Yah, kok bisa kotor sih?”Merasa kemarahannya tak dipedulikan oleh bocah laki-laki kecil itu, Luis menarik napas dalam, lantas ikut menurunkan tubuh, kemudian menarik kasar lengan kecil bocah laki-laki tersebut hingga suara tangis menyebar kencang.“Stop! Siapa yang menyuruhmu menangis? Kau ini laki-laki, kenapa malah menangis. Memalukan. Sekarang, di mana orang tuamu? Hei, angkat kepalamu, dasar boca—”“Gerrald! Cepat kembali, mommy-mu mencarimu!” Suara lelaki dengan napas terengah membuat kepala bocah laki-laki yang hampir menatap Luis, seketika menoleh ke sumber suara.Di detik itu juga Gerrald beranjak berdiri, memutuskan untuk membiarkan potongan kuenya di sana. Namun, sebelum pergi, bocah laki-laki tampan itu membalik tubuh, lantas berhadap-hadapan dengan Luis.Gerrald membungkukkan tubuh hormat, dengan kedua tangan mungil berada di depan perut.“Paman Kaya, aku sungguh minta maaf. Aku tidak sengaja menabrakmu. Aku yakin Paman bisa membeli celana lagi. Selamat tinggal!” ucap Gerrald lantas mengangkat wajah basahnya, ia tersenyum ke arah Luis yang seketika terpaku di tempat.Bibirnya pun mendadak bergetar tanpa alasan.Bocah itu kembali berbalik, memunggungi Luis. Gerrald terlihat tengah melambai ke arah lelaki bertubuh jangkung di sana, “ya, Daddy! Tunggu!”“Bocah itu ... kenapa, dia mirip sekali denganku? Apa aku sedang mimpi?”“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal
“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi
Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba
Lampu di sekitar jalan kota Berlin sedikit menghibur Alice yang masih terengah-engah.Ia menyapu kasar peluh lelahnya di sekitar kening dan leher, karena lagi-lagi Alice berhasil menghindari sang mantan suami gilanya.Bagaimana mungkin Luis mengajak Alice menikah lagi, jika lelaki itu telah menikahi Davina. Ck! Gila, gila! Dasar Luis gila.Keterlaluan sekali dia ‘kan? Apa Luis pikir Alice masih jadi wanita bodoh seperti dulu?Taksi yang ditumpangi Alice akhirnya sampai di depan rumah milik Hugo. Setelah sedikit berbincang dengan supir taksi, akhirnya Alice melangkah keluar untuk segera masuk ke rumah sang bos.Sebelum taksi benar-benar pergi, Alice sempat terhenyak dengan perkataan supir taksi, “Lain kali kalau Nona sedang putus cinta, hubungi saya lagi, ya. Lumayan kalau putar-putar jalanan kota.”Sedang, Alice hanya membalas dengan senyum kaku, lantas reflek mengangguk berat.Karena Luis, dan lagi-lagi karena lelaki itu, Alice sampai memerintah supir taksi untuk memutar jalan
“Luis! Berhenti.”Mendengar namanya disebut, langkah lelaki itu seketika berhenti. Dengan sangat malas, ia mengubah posisi tubuhnya berdiri.Kini Luis Pietro dan Levon Emanuel Pietro saling berhadap-hadapan, meski lelaki separuh baya itu terduduk di sofa mewah, ditemani kanan kiri para pengawal berwajah dingin, serta sang tangan kanan.“Kapan kau mau menikah lagi, dan punya anak? Mau tunggu Kakek mati dulu, atau kau yang mati dulu? Pilih mana.”Bibir Luis berkedut, lidahnya sampai bergetar dalam mulut yang hampir terbuka sembari menekan kepala dengan jemari tangan kanan. Luis tak percaya jika kakeknya sendiri lebih menginginkan Luis mati.“Heh, Cucu Kurang Ajar! Punya mulut itu dipakai, apa kau tuli, tidak bisa mendengar apa yang Kakek katakan? Ronaldo, panggil juru bahasa isyarat, otak Luis sepertinya sudah rusak,” celoteh kesal Kakek Levon, yang juga memerintah pada sang asisten pribadi, sembari melirik sinis ke arah Luis.Sebelum sang asisten pribadi membalas, Luis sudah leb