Home / CEO / PUTRA sang PEWARIS / Bab 6 | Pertemuan Takdir

Share

Bab 6 | Pertemuan Takdir

“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.

“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?”

“... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.

Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.

Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.

“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.

Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.

Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga bersitatap dengan sang sahabat.

“Aku tidak mau merugikan perusahaan Hugo, Rose. Lihatlah bagaimana Hugo membangun perusahaan itu kembali, setelah hampir bangkrut.”

“Lalu, bagaimana kalau nanti penggantiku, justru melakukan kesalahan, dan membuat klien meminta ganti rugi? Jadi aku harus pergi.” Alice memang tak ada pilihan lain, dan mau tak mau harus pergi.

“Huft, memang susah, ya. Kalau sudah berurusan dengan pekerjaan. Kamu tenang saja, aku akan menjaga Gerrald,” tanggap wanita berambut hitam legam itu, yang sedikit menurunkan tubuh, lantas mencolek menggoda, pipi putih Gerrald, “kamu sama Mommy Rose di rumah, ya! Mommy-mu mau kerja. Oke, Tampan?”

“Tidak mau. Gerrald, mau ikut Mommy.” Hanya dalam hitungan detik ruangan tenang itu telah dipenuhi isak tangis disertai rengekkan dari Gerrald.

“Kenapa setiap ulang tahun Gerrald, Mommy selalu sibuk? Teman-teman sekolah Gerrald selalu menyanyi dan tiup lilin ulang tahun dengan mommy dan daddy mereka juga, tapi daddy Gerrald ... di mana, Mommy?”

Alice terhenyak, hatinya tercelos mendengar pertanyaan sang putra. Bibir wanita itu bergetar panik, ia bingung harus merangkai kalimat seperti apa untuk menjawab.

“Daddy-mu, ... Justru ingin kamu tidak pernah merayakan ulang tahun, Gerrald. Apa itu yang ingin kamu dengar?” Jawaban itu hanya bisa disimpan dalam hati.

Alice tak mungkin mengatakan hal yang dapat menyakiti hati sang putra, jika kehadiran Gerrald begitu dibenci Luis.

“A-ada Daddy Hugo kan?” bisik lembut Alice di depan telinga sang putra, sembari mengelus kepala belakang. Tak lupa memberi beberapa kecupan.

“Bukan!” Gerrald berteriak kencang, lantas melepaskan pelukannya membuat Alice dan Rose terperanjat, menatap wajah mungil Gerrald yang telah memerah basah, “Daddy Hugo bukan daddy Gerrald!”

“Sayang, dengar Mommy, ya. Daddy Gerrald itu Daddy Hugo. Mommy tidak bohong padamu,” bujuk Alice meski ia harus kembali berdusta.

Umur Gerrald masih teramat kecil untuk mengetahui udara yang ia hirup berasal dari dunia yang begitu kejam.

“Mommy, bohong! Kalau Daddy Hugo, itu daddy Gerrald, kenapa Mommy dan Daddy tidak pernah tidur satu kamar?”

Degh!

Kenapa Gerrald bisa menyadari hal ini?

***

Musim semi tahun ini di awali dengan pekerjaan yang sangat padat. Tak ada waktu bersantai, atau sekadar menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

Entah disengaja atau tidak, Luis berpikir rutinitasnya ini cukup untuk membuang ingatan lima tahun lalu, saat digugat cerai Alice.

“Tuan Luis, kita akan segera bertemu dengan Tuan Anderson, tapi beliau tidak ingin bertemu di restoran.”

Langkah Luis berhenti, begitu pun Franz yang hampir saja menubruk punggung sang tuan saat dia tengah fokus pada layar ponselnya.

“Maksudmu apa, hah?! Baru sepuluh menit yang lalu, dia mengatakan ingin kita pindah dari hotel ke restoran. Sekarang ke mana lagi, ini sudah dua tempat, dan gagal lagi. Sialan! Apa dia ingin mati di tanganku, hah?!” umpat Luis begitu geram.

Baru kali ini, ia dipermainkan oleh rekan bisnisnya. Beberapa hari ini, Luis telah menyelesaikan pertemuan dengan para pemimpin perusahaan raksasa di negara ini.

Dan hal tersebut sudah cukup membuat tenaga Luis terkuras habis.

“Tuan Luis harus menahan emosi. Perusahaan Tuan Anderson termasuk salah satu dari perusahaan yang berhasil meningkatkan penjualan tertinggi di tahun ini.”

“... dan masuk ke majalah Forbes. Kita tidak bisa membuatnya marah,” tanggap Franz seakan tahu ledakan amarah yang sebentar lagi akan membuat Franz kalang kabut untuk mencari jalan kabur.

“Brengsek, sialan!” umpat Luis tak terima, ia memang tak punya pilihan lain kecuali menuruti saran dari Franz.

Tak begitu lama sebelah alis Luis terangkat, saat mendengar Franz mengatakan ada panggilan yang kembali masuk dari asisten pribadi Tuan Anderson.

“Cepat angkat. Dan tanya, di mana kita akan bertemu. Aku tidak ingin membuang waktuku lagi.” Luis kembali berkata dengan nada kesal.

Jika, tak mengingat perusahaannya begitu butuh kerja sama ini, Luis jelas akan langsung kembali ke hotel dan menyerahkan seluruh urusan ini pada Franz.

“Baik, Tuan.” Frans pun mengangguk takut-takut, ia lantas segera memberi respon seramah mungkin dalam sesi tanya jawab di panggilan telepon yang tengah tersambung.

Hanya membutuhkan dua puluh menit panggilan itu pun berakhir.

“Sudah? Apa asisten pribadi Tuan Anderson seorang wanita? Betah sekali dia bicara denganmu selama ini,” sindir lelaki tampan itu, dengan mata menyipit sebab silau cahaya matahari sedikit mengganggu pandangan.

“Sudah, Tuan. Ya, dia seorang wanita. Tapi, ada satu masalah. Dan saya pikir, Tuan Luis bisa menunggu di salah satu kursi taman di sini.”

“Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit, atau kulempar kau ke danau!” sengit Luis selalu melibatkan urat jika berbicara dengan sang asisten pribadi.

“Ja-jangan, Tuan. Ampuni saya. Tuan Anderson meminta tolong untuk mencarikan putrinya di sebuah acara ulang tahun sore ini.”

“... kebetulan acara itu ada di taman ini. Dan ini ....” Layar ponsel menyala milik Franz dimajukan ke arah sang tuan.

Di sana menampilkan sosok gadis kecil cantik berbalut dres pink, nampak tersenyum lebar membuat Luis mendengkus geram tak merasa ingin memuji.

“Pengasuh putri Tuan Anderson hari ini sakit, jadi tugas dialihkan pada asisten pribadi Tuan Anderson. Tapi, dia ada kendala dengan mobilnya di jalan.” Lanjut Franz seakan tahu kekesalan apa yang tengah dipikirkan sang atasan.

“Yasudah, tunggu apa lagi? Cepat pergi sana. Memuakkan sekali! Anak kecil memang selalu merepotkan.” Luis begitu dongkol, jika harus berurusan dengan anak kecil yang begitu ia benci.

“Ya, saya akan pergi dulu, Tuan. Tolong, jika terjadi sesuatu segera telepon saya.”

Kepergian Franz membuat Luis bingung untuk berjalan ke arah mana, guna mencari tempat duduk. Luis pun akhirnya memilih jalan di sisi kiri tubuh.

Sedang asik memandang ke sekitar taman, ia dikejutkan dengan hentakan di tulang kaki keringnya. Disusul suara merintih kesakitan di bawah sana.

“Aaakh! Kueku!” pekiknya saat menyadari sepotong kue dengan krim biru langit itu telah teronggok kotor di atas rumput.

“Hei, Bocah!” Luis tanpa sadar meninggikan suara saat menyadari celana bahannya ternodai oleh krim kue, “apa kau tidak punya mata? Tubuh kecilmu apa tidak bisa melihat tubuh besarku?”

Bocah laki-laki itu masih menunduk, lantas merangkak untuk mencoba mengambil potongan kue yang teronggok tepat di depan sepatu pantofel Luis.

Dan lagi-lagi kepala bergerak kesal saat melihat ujung sepatu mahalnya juga terkena noda krim kue, membuat sang pemilik kian geram.

Sungguh sial hari ini, pikir lelaki itu.

“Itu kue terakhir untuk mommy .... Yah, kok bisa kotor sih?”

Merasa kemarahannya tak dipedulikan oleh bocah laki-laki kecil itu, Luis menarik napas dalam, lantas ikut menurunkan tubuh, kemudian menarik kasar lengan kecil bocah laki-laki tersebut hingga suara tangis menyebar kencang.

“Stop! Siapa yang menyuruhmu menangis? Kau ini laki-laki, kenapa malah menangis. Memalukan. Sekarang, di mana orang tuamu? Hei, angkat kepalamu, dasar boca—”

“Gerrald! Cepat kembali, mommy-mu mencarimu!” Suara lelaki dengan napas terengah membuat kepala bocah laki-laki yang hampir menatap Luis, seketika menoleh ke sumber suara.

Di detik itu juga Gerrald beranjak berdiri, memutuskan untuk membiarkan potongan kuenya di sana. Namun, sebelum pergi, bocah laki-laki tampan itu membalik tubuh, lantas berhadap-hadapan dengan Luis.

Gerrald membungkukkan tubuh hormat, dengan kedua tangan mungil berada di depan perut.

“Paman Kaya, aku sungguh minta maaf. Aku tidak sengaja menabrakmu. Aku yakin Paman bisa membeli celana lagi. Selamat tinggal!” ucap Gerrald lantas mengangkat wajah basahnya, ia tersenyum ke arah Luis yang seketika terpaku di tempat.

Bibirnya pun mendadak bergetar tanpa alasan.

Bocah itu kembali berbalik, memunggungi Luis. Gerrald terlihat tengah melambai ke arah lelaki bertubuh jangkung di sana, “ya, Daddy! Tunggu!”

“Bocah itu ... kenapa, dia mirip sekali denganku? Apa aku sedang mimpi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status