“Luis! Berhenti.”Mendengar namanya disebut, langkah lelaki itu seketika berhenti. Dengan sangat malas, ia mengubah posisi tubuhnya berdiri.Kini Luis Pietro dan Levon Emanuel Pietro saling berhadap-hadapan, meski lelaki separuh baya itu terduduk di sofa mewah, ditemani kanan kiri para pengawal berwajah dingin, serta sang tangan kanan.“Kapan kau mau menikah lagi, dan punya anak? Mau tunggu Kakek mati dulu, atau kau yang mati dulu? Pilih mana.”Bibir Luis berkedut, lidahnya sampai bergetar dalam mulut yang hampir terbuka sembari menekan kepala dengan jemari tangan kanan. Luis tak percaya jika kakeknya sendiri lebih menginginkan Luis mati.“Heh, Cucu Kurang Ajar! Punya mulut itu dipakai, apa kau tuli, tidak bisa mendengar apa yang Kakek katakan? Ronaldo, panggil juru bahasa isyarat, otak Luis sepertinya sudah rusak,” celoteh kesal Kakek Levon, yang juga memerintah pada sang asisten pribadi, sembari melirik sinis ke arah Luis.Sebelum sang asisten pribadi membalas, Luis sudah leb
Menganut prinsip, tak ada usaha yang berakhir sia-sia. Luis, sebagai mantan suami penuh dosa. Ia akhirnya memenuhi ballroom Intercontinental hotel dengan para anak buah keluarga Pietro. Para tamu saling menatap bingung, bahkan sampai di sudut terkecil pun, anak buah keluarga Pietro tak segan mencari.“Hei, tidak juga di dalam rok! Dasar bodoh!” seru salah satu anak buah keluarga Pietro, menegur sang rekan kerja. Dia menggeleng, tak mengerti lagi.“Ah, iya-iya! Maaf, Ma’am!”“Dasar kurang ajar!” pekik salah satu tamu, langsung melayangkan tamparan keras, “aku akan melaporkanmu pada Tuan Luis! Iihh... kesal-kesal! Aku telah ternodai.” Wanita itu berbalik pergi menjejak kaki, lantas membawa kemarahan di raut wajahnya.“Ada apa ini?” Membawa segelas air putih, Hugo pun menatap bingung pada situasi yang terjadi di ruang pesta ini. Kenapa mendadak jadi tempat penggeledahan? Di mana suara musik, suara bising orang-orang saling mengobrol, lalu di mana Alice?“Bersimpuh! Jangan sampai
Kalimat Gerrald mampu membuat hati Luis tersentak. Ia sangat jauh dari kalimat itu. Luis bukan anak baik. Bahkan ia dibuang, dan disiksa orang tuanya sendiri.Sangat lucu jika ia kembali mengulang kalimat ‘anak baik’ untuk seorang Luis Pietro.“Paman Kaya, kenapa? Kok jadi sedih?”“... Paman Berkumis, mukanya jangan dijelekin dong! Nih lihat Paman Kaya jadi sedih,” omel menggemaskan Gerrald dengan bibir mencebik saat sorot mata merucingnya sudah berpindah pada Frans yang seketika melotot kaget.Sebentar .... Frans dipanggil apa tadi? Paman Berkumis? Astaga, mulut bocah laki-laki ini sangat berduri. Ingin sekali Frans menyumpal. Bisa-bisanya, ia dipanggil Paman Berkumis.Kenapa tidak Paman Tampan? Bukankah ketampanan Frans sebelas dua belas dengan sang tuan muda?Lalu tadi apa, Frans sengaja menjelek-jelekan muka? Aaagh! Pulang lewat mana nanti dia?“Bocah Kecil, jangan sembarangan bicara, ya! Muka Paman ini aslinya memang begini, tidak pernah dioperasi, apalagi yang kamu kataka
“Kenapa semua orang menatap Gerrald?”Sudah satu hari berlalu, beruntung hari ini hari libur. Dan betapa Tuhan kembali memberkati Alice untuk tak bertemu dengan Luis.“Masih tanya kenapa? Kamu pasti membohongi Mommy Rose kan?” Alice mode mengomeli sang putra yang tengah menikmati lolipop pemberian tetangga rumah Hugo.Gerrald benar-benar pandai memainkan kondisi.“Tidak, Mommy. Gerrald kemarin benar sakit. Masa Mommy tidak percaya?” Memasukkan lolipop ke mulut, Gerrald terus saja menikmati rasa manis yang menyentuh lidah dan langit-langit mulutnya. Sepasang mata melirik ke wajah sang mommy yang merah padam.“Gerrald, kamu tahu ‘kan kalau Mommy tidak suka dibohongi?”“Tahu, Mommy. Tanya saja pada Mommy Rose. Gerrald juga ketemu paman dokter kok. Bahkan pantat Gerrald saja disuntik,” celoteh bocah laki-laki sembari menunjuk di mana luka suntik yang membuatnya sempat menangis waktu itu.Diam-diam Gerrald mengukir tipis garis lengkung di bibir kecilnya, saat mengingat ia harus be
“Aw, lihatlah! Tuan penyewa kita ternyata sangat tampan!”Desisan bercampur gerakan berisik dari lima wanita berpakaian seksi, yang lebih tepatnya nyaris telanjang itu membuat mata Luis nyaris tergelincir.Lima tahun hampir berlalu, ia masih dengan kebiasaan lama. Dan justru semakin parah.“Layani aku, dan buat aku bertahan lama. Jika itu berhasil kalian semua akan aku bayar mahal!” pongah Luis dengan sepasang lengan melebar menindih bantal di sekitarnya.Selama ini Luis Pietro tak pernah lepas dari desas-desus skandal yang melibatkan para wanita cantik di sekitarnya. Begitu pun dengan isu pernikahan dirinya dan Devina. Ia biarkan menyebar luas tanpa klarifikasi apa pun.Mendengar hal itu, jelas membuat para wanita bayaran yang diambil dari diskotek tempat Luis mengacau karena lagi-lagi terkecoh Alice melonjak kegirangan di tempat.Mata lima wanita di sana menyorot penuh binar terang. Senyum lebar tak kuasa ditahan, saat membayangkan kedua telapak tangan mereka akan terpenuhi do
Suasana tegang tengah menyelimuti hati Alice dan Kakek Sam. Kedua orang itu tampak harap-harap cemas menanti dokter selesai memeriksa keadaan Gerrald, yang justru terus saja tersenyum lebar saat tubuhnya disentuh permukaan stetoskop.“Paman Dokter, punya anak tidak?” Pertanyaan itu adalah salah satu dari sekian berondongan pertanyaan random Gerrald, dan lagi-lagi membuat kepala Alice menggeleng lemah.“Tentu. Paman Dokter punya seorang gadis kecil. Sepertinya seumuran denganmu.”“Apa dia mirip dengan Paman Dokter?”“Tidak. Tapi, mirip mamanya. Sama-sama cantik. Kamu juga pasti mirip papamu ‘kan? Ayo tarik napas.”Kepala kecil Gerrald mengangguk-angguk. Masih banyak pertanyaan melayang-layang dalam benaknya. Tetapi, Gerrald lebih tertarik melirik pada sang mommy yang tak pernah lepas menatap dirinya.“Jangan mulai, ya, Gerrald. Jangan buat Paman Dokter bingung,” cicit Alice yang tahu ke mana arah tujuan pertanyaan sang putra.Dan benar saja, Gerrald tersenyum lebar memperlihat
Musim panas tahun ini akan menjadi waktu yang tak pernah terlupakan untuk Alice. Dan mungkin akan menjadi masa terburuk dalam hidup Alice, sebab ia terjebak dalam keadaan yang seharusnya dihindari.Berbeda dengan Luis, lelaki itu justru menatap bahagia keberadaan Alice, meski mereka kini berada di tempat yang berbeda. Namun, satu atap.“Dia bukan anakku.” Luis menggeleng lemah dengan punggung tegap sedikit ditekuk, saat tubuhnya terduduk di sofa mewah ruang kantornya, “tidak mungkin juga aku punya anak. Sungguh lucu pertanyaanmu.”“Kau tahu dari mana? Aku dengar sendiri dari Frans, kalau ada anak laki-laki yang begitu mirip denganmu. Bertepatan sekali dengan kedatangan Alice ‘kan? Apa menurutmu tidak aneh?” Oscar menatap lekat sang sahabat dengan sedikit menahan tawa, saat ia kembali menyambung perkataannya.“Kudengar kau menyewa lima wanita untuk membangkitkan juniormu, lalu bisa bangun tidak? Frans, katakan padaku ukuran milik bosmu sudah tambah berapa senti?”Wajah kusut Lui
Dua bulan berlalu, Gerrald tak pernah mengeluh apa pun tentang teman-teman barunya pada sang mommy, meski sikap terasingkan kembali bocah laki-laki tampan itu dapatkan.“Kamu sangat manja, ya? Kenapa harus pakai payung, kamu pikir sedang hujan? Pfftt!”“Berlarilah, kenapa berlari pun seperti orang jalan. CK! Kamu seperti anak perempuan, Gerrald!”“Gerrald, tangkap!” Satu lagi kejadian di lapangan basket. Di mana sebuah bola tiba-tiba dilempar oleh salah satu teman kelas Gerrald. Dan sayangnya, bola itu tak berhasil ditangkap. Gerrald justru terjatuh, karena bola sempat memantul ke perutnya, lantas terpantul lagi ke arah lain.“Haissh, hanya menangkap saja kamu payah sekali. Kita tidak mau bermain sama kamu lagi. Sana pergi!”“Tapi, bukankah kita satu tim?” Gerrald menundukkan kepala dalam. Hatinya benar-benar sedih melihat teman satu timnya menatap dirinya tak suka.“Tidak mau! Kamu payah! Ayo-ayo main lagi.”Jika di Paris ia masih memiliki beberapa teman kelas yang paham aka