Dua bulan berlalu, Gerrald tak pernah mengeluh apa pun tentang teman-teman barunya pada sang mommy, meski sikap terasingkan kembali bocah laki-laki tampan itu dapatkan.“Kamu sangat manja, ya? Kenapa harus pakai payung, kamu pikir sedang hujan? Pfftt!”“Berlarilah, kenapa berlari pun seperti orang jalan. CK! Kamu seperti anak perempuan, Gerrald!”“Gerrald, tangkap!” Satu lagi kejadian di lapangan basket. Di mana sebuah bola tiba-tiba dilempar oleh salah satu teman kelas Gerrald. Dan sayangnya, bola itu tak berhasil ditangkap. Gerrald justru terjatuh, karena bola sempat memantul ke perutnya, lantas terpantul lagi ke arah lain.“Haissh, hanya menangkap saja kamu payah sekali. Kita tidak mau bermain sama kamu lagi. Sana pergi!”“Tapi, bukankah kita satu tim?” Gerrald menundukkan kepala dalam. Hatinya benar-benar sedih melihat teman satu timnya menatap dirinya tak suka.“Tidak mau! Kamu payah! Ayo-ayo main lagi.”Jika di Paris ia masih memiliki beberapa teman kelas yang paham aka
Dia lagi?Luis mendesah kesal. Ia menggeleng dengan kekehan remeh. Jika sekali, dua kali mungkin masih sangat wajar.Bagaimana jika ada pertemuan ketiga ... dan di tempat yang semakin membuat Luis menatap tak percaya.Bocah laki-laki itu ada di rumahnya? Ada apa dengan dunia ini?Setelah bertemu dengan Alice lagi dan membuat hatinya semakin kalut, ia juga dipertemukan dengan bocah laki-laki yang membuat hatinya dongkol luar biasa?“Paman Kaya.”“Paman ....”“Paman Kaya, ...”Tak ingin menghiraukan suara-suara yang terus memanggil namanya. Luis tetap mengayun langkah menuju tujuan, tetapi suara kecil yang mengikuti dirinya dari belakang membuat Luis menekan gatal deretan gigi ratanya.Ia jelas terusik. Luis tak suka ada anak kecil di rumah damainya. Apalagi anak kecil yang terang-terangan membandingkan pesona dirinya, yang kalah telak dengan pesona ayah bocah laki-laki itu.Entah mengapa Luis masih tak terima Gerald membandingkan dirinya dengan lelaki yang pernah Luis tatap d
“Dasar anak bodoh! Dasar kamu tidak berguna, Luis!” “Seharusnya aku tidak melahirkanmu. Hanya mengambil air minum saja tidak becus!” Luis kecil menundukkan kepala dalam dengan tubuh bergetar. Ia tadi tak sengaja terpeleset, dan berakhir memecahkan gelas minum yang akan diberikan pada kedua orang tuanya. Tangis terisak tak bisa lagi ditahan saat lengan tangannya ditarik kasar oleh sang papa ke kamar mandi, lantas dengan tanpa hati sang ibu menyalakan shower air dingin di atas tubuh kecil Luis yang meringkuk ke dinding kamar mandi. “Jangan siksa aku lagi, Pa ... Ma. Aaaagh ... sangat dingin! Aku kedinginan. Ampun, aku mohon ampun.” Luis memohon dengan sangat di sela isak tangisnya. Dingin dari lantai kamar mandi menjalar menusuk setiap sel di sekujur tubuh Luis kecil. Ini bukan kali pertama Luis mendapat siksaan dari kedua orang tuanya. Mereka bahkan dengan terang-terangan menatap Luis dengan sorot mata benci. Kehadiran Luis memang tak pernah diharapkan pasangan suami istri itu. “
“Aku bilang pergi.” Suara serak Luis kembali berdengung mengulang, tetapi Gerald justru menatap dirinya tajam, membuat Luis justru tertarik melempar pertanyaan lagi, “Ada apa?”“Paman Kaya, bisakah kamu membawaku ke toilet?”“Toilet? Tidak. Aku tidak sedang ingin ke toilet. Pergi sana, pergi ke kamarmu atau ke mana pun, asal tidak di sini.”Baru bermimpi buruk untuk kesekian kali, eh ... anak kecil ini justru membuat kepala Luis semakin pusing. Astaga, ingin sekali Luis berteriak mengusir.Lengan panjangnya bergerak maju untuk mengambil gelas minum di atas meja nakas, tetapi gerakan tangan itu seketika berhenti di tengah jalan, saat sorot mata Gerald ternyata tak kunjung teralih dari wajah datar Luis.Kedua alis tebal Luis berkerut menyatu, ia melirik dari sudut mata menerka-nerka tentang arti dari tatapan sang putra kandung.Dan ia masih tak mengerti.Ada apa dengan bocah ini?“Kau bertanya padaku ‘kan? Aku tidak ingin pergi ke toilet. Dengar?! Aku bukan anak kecil sepertimu,
Di balik semua kesusahan yang dialami Luis, ada Tuan besar Levon yang bersembunyi di ruang kendali keamanan CCTV. Lelaki separuh baya itu dan sang asisten pribadi kini saling bertos senang karena rencana mereka berhasil.“Aku tidak tahu kalau pelayan rumahku memiliki bakat akting yang bagus.” Tuan Levon memuji, saat tak ada satu pun pelayan yang berani membuka mata ketika Gerald beberapa jam lalu meminta tolong untuk diantar ke kamar mandi.“Bukankah ini sedikit keterlaluan, Tuan?”“Memang. Tapi, aku terpaksa melakukan ini. Dokter juga mengatakan kondisi Gerald tidak apa, hanya tinggal penyembuhan lukanya saja.” Tuan Levon menjawab, yang sebenarnya tak benar-benar lega. Ia pun juga dilema.Akan tetapi, jika sang cucu bodoh tak disadarkan dengan cara seperti ini, Luis akan terus membenci semua anak kecil di dunia ini. Termasuk anak kandungnya sendiri.“Segera lakukan tes DNA, Ronaldo. Aku yakin Gerald cicitku.”“Kalau Gerald bukan cicit Tuan Besar, bagaimana?” Kemungkinan terburu
“Sudah sampai.” Jemari berotot Luis terselip di sela pangkal lengan sang putra, dengan punggung sedikit tertekuk. Ia menurunkan tubuh kecil Gerald tepat di depan pintu mobil yang masih terbuka, “sekarang kau bebas. Kau bisa pergi ke mana pun.”Lagi-lagi perkataan sang tuan membuat Frans yang sudah ikut turun melongo, dengan kelopak mata mengerjap-ngerjap.Luis memasang kacamata hitam dengan gerakan tangan penuh arogan, tepat di sisi Gerald yang berdiri dengan wajah mendongak.“Fra ....” Panggilan untuk sang asisten pribadi itu seketika terpotong, saat merasakan ada jemari tangan mungil yang menggenggam jari Luis. Ia sontak menurunkan pandangan, dengan wajah tampan yang telah terhiasi kacamata hitam.“Kau takut? Hari ini pria tua itu memaksaku membawamu. Dan sekarang kau bebas bermain di kantor ini.”“Lalu Paman Kaya mau ke mana? Tidak mau bermain denganku?”“Bermain? CK, sejak kapan seorang Luis Pietro bermain dengan anak kecil?”“... aku akan ke lantai atas. Kau tidak bisa iku
Alice mengerutkan dahi dengan kelopak mata menyipit melirik ke sepanjang dirinya berjalan. Telinganya terus saja berdengung mendengar sayup-sayup para karyawan saling berbisik heboh membahas kedatangan ... putra sang pewaris?“Ada apa, Alice?” tanya Hugo yang menyadari keanehan pada sikap sang pujaan hati, “kamu juga dengar masalah itu?”Tanpa ragu Alice mengangguk. Di detik selanjutnya, ia memalingkan wajah, mencoba tak mempedulikan berita yang tengah hot trending di kalangan para karyawan meski batinnya memberontak ingin tahu.Apa itu benar anak dari pernikahan Luis dan Devina? Jadi mereka sudah terang-terangan di depan publik? Ah, bodoh sekali. Kenapa ia malah memikirkan hal ini? Lupakan-lupakan! Pikir Alice merutuki sisi lemah pada dirinya.Kalau Luis sampai tahu Alice masih penasaran dengan hidup lelaki itu, ia yakin seribu persen kalau kepala Luis akan menjadi besar, sebesar labu kuning. Cih.“Kata beberapa karyawan, yang mendapat kesempatan emas bertemu dengan Tuan Muda Ke
“Tak mungkin. Ini tak mungkin. Ba-bagaimana bisa?” Alice bermonolog dalam hati. Ia terus menyangkal pada apa yang yang ia lihat saat ini.Deru napas Alice kian membuncah panas. Jemari tangan yang terbuka di sisi tubuh seketika bergerak mengepal kuat. Seakan bisa menghancur apa pun dalam sekali genggaman. Anak kecil itu seperti Gerald? Apa Tuan Muda Kecil yang dimaksud oleh para karyawan ... adalah anaknya?Dan dia sedang digendong Luis? Lelucon apa lagi ini?“Alice, kenapa kau diam saja? Ayo katakan, apa yang ingin kau lapork—”“Gerald!” Alice memanggil cepat sang putra dengan nada bergetar. Ia tak mempedulikan bagaimana dahi Luis yang tampak berkerut bingung.“Gerald? Kenapa kau bisa tahu nama anak ini?” Luis menyambar cepat dengan bola mata bergerak linglung, memindai dari posisi sang mantan istri menuju ke bocah laki-laki yang seketika menggeliat dari gendongan Luis saat namanya dipanggil oleh suara yang begitu familiar di telinga.Mata sayu Gerald seketika melebar berbinar