Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi
Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba
Lampu di sekitar jalan kota Berlin sedikit menghibur Alice yang masih terengah-engah.Ia menyapu kasar peluh lelahnya di sekitar kening dan leher, karena lagi-lagi Alice berhasil menghindari sang mantan suami gilanya.Bagaimana mungkin Luis mengajak Alice menikah lagi, jika lelaki itu telah menikahi Davina. Ck! Gila, gila! Dasar Luis gila.Keterlaluan sekali dia ‘kan? Apa Luis pikir Alice masih jadi wanita bodoh seperti dulu?Taksi yang ditumpangi Alice akhirnya sampai di depan rumah milik Hugo. Setelah sedikit berbincang dengan supir taksi, akhirnya Alice melangkah keluar untuk segera masuk ke rumah sang bos.Sebelum taksi benar-benar pergi, Alice sempat terhenyak dengan perkataan supir taksi, “Lain kali kalau Nona sedang putus cinta, hubungi saya lagi, ya. Lumayan kalau putar-putar jalanan kota.”Sedang, Alice hanya membalas dengan senyum kaku, lantas reflek mengangguk berat.Karena Luis, dan lagi-lagi karena lelaki itu, Alice sampai memerintah supir taksi untuk memutar jalan
“Luis! Berhenti.”Mendengar namanya disebut, langkah lelaki itu seketika berhenti. Dengan sangat malas, ia mengubah posisi tubuhnya berdiri.Kini Luis Pietro dan Levon Emanuel Pietro saling berhadap-hadapan, meski lelaki separuh baya itu terduduk di sofa mewah, ditemani kanan kiri para pengawal berwajah dingin, serta sang tangan kanan.“Kapan kau mau menikah lagi, dan punya anak? Mau tunggu Kakek mati dulu, atau kau yang mati dulu? Pilih mana.”Bibir Luis berkedut, lidahnya sampai bergetar dalam mulut yang hampir terbuka sembari menekan kepala dengan jemari tangan kanan. Luis tak percaya jika kakeknya sendiri lebih menginginkan Luis mati.“Heh, Cucu Kurang Ajar! Punya mulut itu dipakai, apa kau tuli, tidak bisa mendengar apa yang Kakek katakan? Ronaldo, panggil juru bahasa isyarat, otak Luis sepertinya sudah rusak,” celoteh kesal Kakek Levon, yang juga memerintah pada sang asisten pribadi, sembari melirik sinis ke arah Luis.Sebelum sang asisten pribadi membalas, Luis sudah leb
Menganut prinsip, tak ada usaha yang berakhir sia-sia. Luis, sebagai mantan suami penuh dosa. Ia akhirnya memenuhi ballroom Intercontinental hotel dengan para anak buah keluarga Pietro. Para tamu saling menatap bingung, bahkan sampai di sudut terkecil pun, anak buah keluarga Pietro tak segan mencari.“Hei, tidak juga di dalam rok! Dasar bodoh!” seru salah satu anak buah keluarga Pietro, menegur sang rekan kerja. Dia menggeleng, tak mengerti lagi.“Ah, iya-iya! Maaf, Ma’am!”“Dasar kurang ajar!” pekik salah satu tamu, langsung melayangkan tamparan keras, “aku akan melaporkanmu pada Tuan Luis! Iihh... kesal-kesal! Aku telah ternodai.” Wanita itu berbalik pergi menjejak kaki, lantas membawa kemarahan di raut wajahnya.“Ada apa ini?” Membawa segelas air putih, Hugo pun menatap bingung pada situasi yang terjadi di ruang pesta ini. Kenapa mendadak jadi tempat penggeledahan? Di mana suara musik, suara bising orang-orang saling mengobrol, lalu di mana Alice?“Bersimpuh! Jangan sampai
Kalimat Gerrald mampu membuat hati Luis tersentak. Ia sangat jauh dari kalimat itu. Luis bukan anak baik. Bahkan ia dibuang, dan disiksa orang tuanya sendiri.Sangat lucu jika ia kembali mengulang kalimat ‘anak baik’ untuk seorang Luis Pietro.“Paman Kaya, kenapa? Kok jadi sedih?”“... Paman Berkumis, mukanya jangan dijelekin dong! Nih lihat Paman Kaya jadi sedih,” omel menggemaskan Gerrald dengan bibir mencebik saat sorot mata merucingnya sudah berpindah pada Frans yang seketika melotot kaget.Sebentar .... Frans dipanggil apa tadi? Paman Berkumis? Astaga, mulut bocah laki-laki ini sangat berduri. Ingin sekali Frans menyumpal. Bisa-bisanya, ia dipanggil Paman Berkumis.Kenapa tidak Paman Tampan? Bukankah ketampanan Frans sebelas dua belas dengan sang tuan muda?Lalu tadi apa, Frans sengaja menjelek-jelekan muka? Aaagh! Pulang lewat mana nanti dia?“Bocah Kecil, jangan sembarangan bicara, ya! Muka Paman ini aslinya memang begini, tidak pernah dioperasi, apalagi yang kamu kataka