Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba
Lampu di sekitar jalan kota Berlin sedikit menghibur Alice yang masih terengah-engah.Ia menyapu kasar peluh lelahnya di sekitar kening dan leher, karena lagi-lagi Alice berhasil menghindari sang mantan suami gilanya.Bagaimana mungkin Luis mengajak Alice menikah lagi, jika lelaki itu telah menikahi Davina. Ck! Gila, gila! Dasar Luis gila.Keterlaluan sekali dia ‘kan? Apa Luis pikir Alice masih jadi wanita bodoh seperti dulu?Taksi yang ditumpangi Alice akhirnya sampai di depan rumah milik Hugo. Setelah sedikit berbincang dengan supir taksi, akhirnya Alice melangkah keluar untuk segera masuk ke rumah sang bos.Sebelum taksi benar-benar pergi, Alice sempat terhenyak dengan perkataan supir taksi, “Lain kali kalau Nona sedang putus cinta, hubungi saya lagi, ya. Lumayan kalau putar-putar jalanan kota.”Sedang, Alice hanya membalas dengan senyum kaku, lantas reflek mengangguk berat.Karena Luis, dan lagi-lagi karena lelaki itu, Alice sampai memerintah supir taksi untuk memutar jalan
“Luis! Berhenti.”Mendengar namanya disebut, langkah lelaki itu seketika berhenti. Dengan sangat malas, ia mengubah posisi tubuhnya berdiri.Kini Luis Pietro dan Levon Emanuel Pietro saling berhadap-hadapan, meski lelaki separuh baya itu terduduk di sofa mewah, ditemani kanan kiri para pengawal berwajah dingin, serta sang tangan kanan.“Kapan kau mau menikah lagi, dan punya anak? Mau tunggu Kakek mati dulu, atau kau yang mati dulu? Pilih mana.”Bibir Luis berkedut, lidahnya sampai bergetar dalam mulut yang hampir terbuka sembari menekan kepala dengan jemari tangan kanan. Luis tak percaya jika kakeknya sendiri lebih menginginkan Luis mati.“Heh, Cucu Kurang Ajar! Punya mulut itu dipakai, apa kau tuli, tidak bisa mendengar apa yang Kakek katakan? Ronaldo, panggil juru bahasa isyarat, otak Luis sepertinya sudah rusak,” celoteh kesal Kakek Levon, yang juga memerintah pada sang asisten pribadi, sembari melirik sinis ke arah Luis.Sebelum sang asisten pribadi membalas, Luis sudah leb
Menganut prinsip, tak ada usaha yang berakhir sia-sia. Luis, sebagai mantan suami penuh dosa. Ia akhirnya memenuhi ballroom Intercontinental hotel dengan para anak buah keluarga Pietro. Para tamu saling menatap bingung, bahkan sampai di sudut terkecil pun, anak buah keluarga Pietro tak segan mencari.“Hei, tidak juga di dalam rok! Dasar bodoh!” seru salah satu anak buah keluarga Pietro, menegur sang rekan kerja. Dia menggeleng, tak mengerti lagi.“Ah, iya-iya! Maaf, Ma’am!”“Dasar kurang ajar!” pekik salah satu tamu, langsung melayangkan tamparan keras, “aku akan melaporkanmu pada Tuan Luis! Iihh... kesal-kesal! Aku telah ternodai.” Wanita itu berbalik pergi menjejak kaki, lantas membawa kemarahan di raut wajahnya.“Ada apa ini?” Membawa segelas air putih, Hugo pun menatap bingung pada situasi yang terjadi di ruang pesta ini. Kenapa mendadak jadi tempat penggeledahan? Di mana suara musik, suara bising orang-orang saling mengobrol, lalu di mana Alice?“Bersimpuh! Jangan sampai
Kalimat Gerrald mampu membuat hati Luis tersentak. Ia sangat jauh dari kalimat itu. Luis bukan anak baik. Bahkan ia dibuang, dan disiksa orang tuanya sendiri.Sangat lucu jika ia kembali mengulang kalimat ‘anak baik’ untuk seorang Luis Pietro.“Paman Kaya, kenapa? Kok jadi sedih?”“... Paman Berkumis, mukanya jangan dijelekin dong! Nih lihat Paman Kaya jadi sedih,” omel menggemaskan Gerrald dengan bibir mencebik saat sorot mata merucingnya sudah berpindah pada Frans yang seketika melotot kaget.Sebentar .... Frans dipanggil apa tadi? Paman Berkumis? Astaga, mulut bocah laki-laki ini sangat berduri. Ingin sekali Frans menyumpal. Bisa-bisanya, ia dipanggil Paman Berkumis.Kenapa tidak Paman Tampan? Bukankah ketampanan Frans sebelas dua belas dengan sang tuan muda?Lalu tadi apa, Frans sengaja menjelek-jelekan muka? Aaagh! Pulang lewat mana nanti dia?“Bocah Kecil, jangan sembarangan bicara, ya! Muka Paman ini aslinya memang begini, tidak pernah dioperasi, apalagi yang kamu kataka
“Kenapa semua orang menatap Gerrald?”Sudah satu hari berlalu, beruntung hari ini hari libur. Dan betapa Tuhan kembali memberkati Alice untuk tak bertemu dengan Luis.“Masih tanya kenapa? Kamu pasti membohongi Mommy Rose kan?” Alice mode mengomeli sang putra yang tengah menikmati lolipop pemberian tetangga rumah Hugo.Gerrald benar-benar pandai memainkan kondisi.“Tidak, Mommy. Gerrald kemarin benar sakit. Masa Mommy tidak percaya?” Memasukkan lolipop ke mulut, Gerrald terus saja menikmati rasa manis yang menyentuh lidah dan langit-langit mulutnya. Sepasang mata melirik ke wajah sang mommy yang merah padam.“Gerrald, kamu tahu ‘kan kalau Mommy tidak suka dibohongi?”“Tahu, Mommy. Tanya saja pada Mommy Rose. Gerrald juga ketemu paman dokter kok. Bahkan pantat Gerrald saja disuntik,” celoteh bocah laki-laki sembari menunjuk di mana luka suntik yang membuatnya sempat menangis waktu itu.Diam-diam Gerrald mengukir tipis garis lengkung di bibir kecilnya, saat mengingat ia harus be
“Aw, lihatlah! Tuan penyewa kita ternyata sangat tampan!”Desisan bercampur gerakan berisik dari lima wanita berpakaian seksi, yang lebih tepatnya nyaris telanjang itu membuat mata Luis nyaris tergelincir.Lima tahun hampir berlalu, ia masih dengan kebiasaan lama. Dan justru semakin parah.“Layani aku, dan buat aku bertahan lama. Jika itu berhasil kalian semua akan aku bayar mahal!” pongah Luis dengan sepasang lengan melebar menindih bantal di sekitarnya.Selama ini Luis Pietro tak pernah lepas dari desas-desus skandal yang melibatkan para wanita cantik di sekitarnya. Begitu pun dengan isu pernikahan dirinya dan Devina. Ia biarkan menyebar luas tanpa klarifikasi apa pun.Mendengar hal itu, jelas membuat para wanita bayaran yang diambil dari diskotek tempat Luis mengacau karena lagi-lagi terkecoh Alice melonjak kegirangan di tempat.Mata lima wanita di sana menyorot penuh binar terang. Senyum lebar tak kuasa ditahan, saat membayangkan kedua telapak tangan mereka akan terpenuhi do
Suasana tegang tengah menyelimuti hati Alice dan Kakek Sam. Kedua orang itu tampak harap-harap cemas menanti dokter selesai memeriksa keadaan Gerrald, yang justru terus saja tersenyum lebar saat tubuhnya disentuh permukaan stetoskop.“Paman Dokter, punya anak tidak?” Pertanyaan itu adalah salah satu dari sekian berondongan pertanyaan random Gerrald, dan lagi-lagi membuat kepala Alice menggeleng lemah.“Tentu. Paman Dokter punya seorang gadis kecil. Sepertinya seumuran denganmu.”“Apa dia mirip dengan Paman Dokter?”“Tidak. Tapi, mirip mamanya. Sama-sama cantik. Kamu juga pasti mirip papamu ‘kan? Ayo tarik napas.”Kepala kecil Gerrald mengangguk-angguk. Masih banyak pertanyaan melayang-layang dalam benaknya. Tetapi, Gerrald lebih tertarik melirik pada sang mommy yang tak pernah lepas menatap dirinya.“Jangan mulai, ya, Gerrald. Jangan buat Paman Dokter bingung,” cicit Alice yang tahu ke mana arah tujuan pertanyaan sang putra.Dan benar saja, Gerrald tersenyum lebar memperlihat