“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”
Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal tentang anak kecil.“Tutup mulutmu. Mereka saja yang terlalu lemah, dan selalu merengek.”Oscar memutar bola mata jengah. “Kau pikir mereka punya kekuatan apa, selain merengek? Hei, mereka masih di bawah umur, Bung!”“Maka dari itu, apa untungnya memiliki anak? Aku yakin, cepat atau lambat mereka akan menyesal. Dasar mereka bodoh!”Mendengar hal itu, Oscar dan Frans seketika langsung beradu pandang penuh arti satu sama lain. Perkataan Luis membuat otak mereka berhenti beroperasi.Jika Oscar mengerutkan dahi demi meminta penjelasan Frans, berbeda dengan Frans yang justru mengangkat bahu setinggi mungkin sembari menggeleng frustrasi.Frans sudah kehabisan kata untuk menjelaskan bagaimana pola pikir sang tuan muda tentang anak.Bahkan tiga puluh menit lalu, sang tuan muda mengusir anak-anak kecil yang saling berlarian di lantai lobi hotel, dan hal itu sempat membuat keributan antara sang tuan dan orang tua dari anak-anak yang kompak menangis ketakutan.Anak-anak kecil itu terus saja menangis, lantas mengadu pada orang tua mereka.Dan para orang tua yang tak terima sempat memukuli Luis, tanpa peduli Luis yang terus saja menyerukan dirinya seorang pengusaha muda terkenal di kota Berlin.“Pa-Paman itu ... yang membentak kami!” Salah satu dari anak-anak itu menunjuk ke arah Luis yang berdecih, meski tubuhnya telah tersungkur di lantai.“Sekali lagi aku bertemu denganmu, dan kau membuat anak kecil menangis lagi, aku hancurkan hidupmu!” Sebuah ancaman yang masih terngiang-ngiang di telinga Frans dan Oscar.Jika, kedua lelaki itu tak segera menarik mundur tubuh Luis, mungkin Luis akan dipenjara di Paris.Frans seketika bergidik, lantas meneguk kasar ludahnya. Sang tuan muda sungguh sudah tak waras.“Kau ini kenapa, besok kita sudah akan pulang, tapi kau malah membuat kekacauan.” Oscar mulai mengomel lagi, dengan sengaja membuka kasar tutup botol minumannya, “kalau tidak suka dengan anak kecil, bukan seperti itu caranya, Luis Bodoh.”“... kau benar-benar seperti menunjukkan sosok monster seperti apa, yang ada pada dirimu. Oh, Tuhan!” Lanjutnya.“Mereka yang menatapku, Sialan! Lalu, aku hanya ganti menatap mereka. Dan mereka tiba-tiba menangis, apa itu salahku? Tidak. Dasar anak kecil tidak berguna!” Luis membela dirinya sendiri yang dianggap tak salah apa pun.Suara anak-anak kecil yang menangis, menandakan mereka lemah, dan akan ditinggal seperti Luis kecil. Dan Luis tak suka pemandangan itu.Oscar menggeleng lemah dengan desis mengumpati sang sahabat, sapuan udara malam terasa ringan menyentuh kulit wajah. Beberapa pengunjung hotel juga masih terlihat berlalu lalang, meski beberapa staf hotel tampak diam-diam masih menggunjing sikap arogan Luis.“Frans!” panggil Oscar tak sabar.“Iya, Tuan Oscar? Anda ingin sesuatu?”Sahabat Luis itu menggeleng, kemudian berkata, “Mulai besok kumpulkan riwayat hidup para teman kencan Luis. Takutnya, salah satu dari mereka diam-diam menghidupkan benih kecebong pria buruk itu.”“... aku takut kalau Luis akan mendapat karma,” sambung Oscar yang sengaja menekan setiap kata yang baru saja terlontar, dengan mata melotot sempurna.Frans meringis mendengar perintah tersebut, tetapi ia tetap mengangguk berat mengiyakan. Ia merasa berada di dua dinding berduri, yang akan segera mengimpit tubuhnya.“Itu ide bagus!” Suara tinggi Luis yang tak mengandung getaran senang, ataupun kesal, membuat mata Oscar dan Frans kompak membulat lebar dengan mulut ternganga.Eh, mereka tidak salah dengar?Sorot mata Oscar membeku, lantas dijatuhkan cepat di depan mata dingin Luis yang melurus, ia seperti Dejavu mendengar Luis ikut setuju dalam ide dadakannya.Mimpi, tidak, mimpi, tidak, mimpi, ... TIDAK! ASTAGA!“Hei, kau itu setuju apa? Apa kau tahu, apa yang kumaksud? Haha, dasar pria dingin.” Tak ingin percaya, Oscar pun tertawa kering, dengan kembali hendak meneguk minumannya hingga salah menempatkan lubang tutup botol ke sisi bibir.“Kumpulkan data wanita yang pernah bercinta denganku, dan termasuk ... wanita di negara ini.” Luis tak mempedulikan ekspresi terkejut Oscar, ia sengaja mengulang perintah Oscar.Otak lelaki itu sedang berkutat sibuk memikirkan kejadian tadi sore di taman bertemu Gerrald.“Ka-kau juga bercinta dengan wanita luar negeri? Apa kau sudah kehilangan stok di Berlin? Dasar sinting!”“Aku tidak tahu, mungkin saja salah satu dari mereka tinggal di Paris,” jawab Luis bernada bergetar, mencoba menerka-nerka.Ini kali pertama ia membuang pandangan ke arah lain, agar tak ditatap penuh selidik oleh sang sahabat.Dan tiba-tiba saja, keringat dingin Luis meluncur bebas di sekujur tubuh, ketika mengingat detail wajah bocah laki-laki kecil yang seperti mini me Luis.Siapa anak itu? Lalu kenapa Luis terus memikirkannya? Apa mungkin Luis benar sudah gila?“Eh, apa mungkin itu? Maksudmu mereka hanya ingin bersenang-senang dengan menghabiskan uang membeli tiket pesawat? Dan ... hanya demi satu malam bercinta?”“Mu-mungkin saja kan?” sergap gugup Luis.Lelaki dingin yang tak pernah merasa terbebani oleh masalah apa pun, kini menjadi kelimpungan sendiri hanya karena wajah tampan Gerrald.“Frans, data juga wanita pertama yang kutiduri. Lalu—”“Tuan Muda, tapi Anda tidak pernah membuat janji dengan wanita yang berasal dari luar negeri, ataupun mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda.” Frans memotong cepat perkataan sang tuan.“Apa maksudmu, coba kau ingat-ingat lagi. Apa otakmu sudah mulai melemah karena bertambahnya umur?” sengit Luis, tampak mengerutkan dahi tak percaya.“Saya sangat yakin, Tuan Luis. Karena setiap wanita yang berkencan dengan Tuan Muda harus memiliki identitas yang jelas. Bukankah itu perintah dari Tuan Besar Pietro?”Mendengar hal tersebut, jemari kokoh Luis yang saling bertaut kian mengerat kuat. Sorot mata lelaki itu pun semakin menajam dan dingin, seperti sisi tajam mata pisau.“Kalau begitu, siapa bocah laki-laki itu?” gumam batin Luis bertanya-tanya dalam kekacauan otaknya, “jika aku tidak pernah bercinta dengan wanita di negara ini, mungkinkah dia hanya mirip?”***“Kau tampak cantik, Alice.” Melangkah bersama beriringan, Hugo tak pernah menipiskan senyum merekahnya untuk memandangi wajah cantik Alice yang terias tipis dari samping.“Terima kasih, sayangnya aku tidak tersipu dengan pujian playboy sepertimu.” Alice juga mengulas lengkung garis sabit di bibir merahnya, lantas sedikit membungkukkan tubuh hormat, yang langsung memantik tawa Hugo.Hugo mengusap ujung keningnya sembari menggeleng kepala, sulit sekali dia menaklukkan wanita di sampingnya. Ia pikir lima tahun bersama akan membuat mereka lebih dekat. Nyatanya tidak.“Hugo, berhenti sebentar.” Langkah Alice berhenti, tepat di depan papan nama hotel Park Hyatt Paris Vendome. Kepalanya terangkat, memandang lekat setiap kata di sana, “benar, kita ada janji di hotel ini?”“Kurasa begitu. Sebentar aku periksa lagi,” tanggap Hugo yang langsung merogoh ponselnya, menatap alamat yang diberikan sang klien, “benar, di sini tempatnya. Ada apa, kenapa kau seperti ragu?”Tanpa sebab, Alice justru menarik napas dalam. Dadanya mengembung naik, tiba-tiba rasa sesak menyelubungi relung hati Alice. Ada apa ini, kenapa Alice merasa sulit mengayun langkah?“Kau sakit?”“Ah, tidak. Ayo masuk! Maaf aku membuat waktumu terbuang.” Alice mengukir setengah garis senyum, lantas lebih dulu masuk.Sedang Hugo, jemarinya kembali ditarik ketika beberapa detik lalu hendak menyentuh dahi Alice, tetapi wanita itu sudah lebih dulu bergerak pergi.“Alice, sampai kapan aku menunggumu mencintaiku?” gumam lemah Hugo, yang setelahnya mengembuskan napas panjang.Hugo menyentuh dadanya yang terus terasa sakit, menatap cinta tulusnya digantung tanpa balas.Alice dan Hugo akhirnya menemui perwakilan perusahaan klien yang akan menyewa jasa mereka. Janji yang dibuat sangat mendadak, dan mau tak mau Alice menyempatkan untuk bertemu.“Untuk sistem prosesor yang kalian inginkan, Tuan Hugo akan menjelaskan lebih detail.”“... tapi, jika kalian ingin menanamkan prosesor baru dengan CPU yang kalian inginkan, kami memberi satu rekomendasi perusahaan di kota Berlin.” Tambah Alice tersenyum penuh profesional di depan dua lelaki di meja seberang.Ingatan Alice berputar pada perusahaan yang akan menjadi rekan kerja samanya, yang tak lain milik dari kakek Luis, yang tak diketahui Alice.Vendor pembuat prosesor milik Luis sudah cukup terkenal, dan terbukti mampu mendatangkan Alice dan Hugo.“Baik, Ms. Alice. Kami sangat senang bisa bersahabat dengan HG Group. Kami jadi lebih terbantu.”“Tidak masalah, Tuan Jason. Kita akan sama-sama saling menguntungkan. Kalau begitu saya izin ke kamar mandi lebih dulu, Tuan Hugo, saya izin pergi ....” Mendapat anggukkan dari tiga lelaki di sana, Alice akhirnya berlalu pergi.Selama di perjalanan, ia sama sekali tak memandang para tamu hotel. Wanita itu terlalu sibuk dengan ponselnya yang sedari tadi terus saja bergetar, sebab itu Alice ingin melihat siapa yang terus menelepon secara beruntun.Karena terlalu fokus, Alice tak sadar jika Luis yang juga tengah sibuk menggulung lengan kemeja setelah pergi ke kamar mandi, melangkah berlawanan arah dengan Alice.Dan benar saja, keduanya sama-sama memekik saat tubuh mereka bertabrakan.“Aghh! Ponselku!” Alice terkesiap menatap ponselnya melambung di udara, lantas jatuh mengenaskan di lantai.“Brengsek! Aku tertabrak lag— Alice?”“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi
Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba
Lampu di sekitar jalan kota Berlin sedikit menghibur Alice yang masih terengah-engah.Ia menyapu kasar peluh lelahnya di sekitar kening dan leher, karena lagi-lagi Alice berhasil menghindari sang mantan suami gilanya.Bagaimana mungkin Luis mengajak Alice menikah lagi, jika lelaki itu telah menikahi Davina. Ck! Gila, gila! Dasar Luis gila.Keterlaluan sekali dia ‘kan? Apa Luis pikir Alice masih jadi wanita bodoh seperti dulu?Taksi yang ditumpangi Alice akhirnya sampai di depan rumah milik Hugo. Setelah sedikit berbincang dengan supir taksi, akhirnya Alice melangkah keluar untuk segera masuk ke rumah sang bos.Sebelum taksi benar-benar pergi, Alice sempat terhenyak dengan perkataan supir taksi, “Lain kali kalau Nona sedang putus cinta, hubungi saya lagi, ya. Lumayan kalau putar-putar jalanan kota.”Sedang, Alice hanya membalas dengan senyum kaku, lantas reflek mengangguk berat.Karena Luis, dan lagi-lagi karena lelaki itu, Alice sampai memerintah supir taksi untuk memutar jalan
“Luis! Berhenti.”Mendengar namanya disebut, langkah lelaki itu seketika berhenti. Dengan sangat malas, ia mengubah posisi tubuhnya berdiri.Kini Luis Pietro dan Levon Emanuel Pietro saling berhadap-hadapan, meski lelaki separuh baya itu terduduk di sofa mewah, ditemani kanan kiri para pengawal berwajah dingin, serta sang tangan kanan.“Kapan kau mau menikah lagi, dan punya anak? Mau tunggu Kakek mati dulu, atau kau yang mati dulu? Pilih mana.”Bibir Luis berkedut, lidahnya sampai bergetar dalam mulut yang hampir terbuka sembari menekan kepala dengan jemari tangan kanan. Luis tak percaya jika kakeknya sendiri lebih menginginkan Luis mati.“Heh, Cucu Kurang Ajar! Punya mulut itu dipakai, apa kau tuli, tidak bisa mendengar apa yang Kakek katakan? Ronaldo, panggil juru bahasa isyarat, otak Luis sepertinya sudah rusak,” celoteh kesal Kakek Levon, yang juga memerintah pada sang asisten pribadi, sembari melirik sinis ke arah Luis.Sebelum sang asisten pribadi membalas, Luis sudah leb
Menganut prinsip, tak ada usaha yang berakhir sia-sia. Luis, sebagai mantan suami penuh dosa. Ia akhirnya memenuhi ballroom Intercontinental hotel dengan para anak buah keluarga Pietro. Para tamu saling menatap bingung, bahkan sampai di sudut terkecil pun, anak buah keluarga Pietro tak segan mencari.“Hei, tidak juga di dalam rok! Dasar bodoh!” seru salah satu anak buah keluarga Pietro, menegur sang rekan kerja. Dia menggeleng, tak mengerti lagi.“Ah, iya-iya! Maaf, Ma’am!”“Dasar kurang ajar!” pekik salah satu tamu, langsung melayangkan tamparan keras, “aku akan melaporkanmu pada Tuan Luis! Iihh... kesal-kesal! Aku telah ternodai.” Wanita itu berbalik pergi menjejak kaki, lantas membawa kemarahan di raut wajahnya.“Ada apa ini?” Membawa segelas air putih, Hugo pun menatap bingung pada situasi yang terjadi di ruang pesta ini. Kenapa mendadak jadi tempat penggeledahan? Di mana suara musik, suara bising orang-orang saling mengobrol, lalu di mana Alice?“Bersimpuh! Jangan sampai