Peduli setan dengan aturan dari para pengawal, Alice tahu jika jalannya tak akan semulus jalan tol. Jadi, sebelum menerima penolakan, sekitar pukul empat pagi tadi, Alice menyelinap masuk ke kamar Luis; mencuri buku nikah mereka.
“Oh tidak mungkin, Nyonya pasti membohongi saya.”“Kenapa aku harus membohongimu? Kamu bisa memeriksa sendiri. Silakan,” balas Alice dengan senyum merekah, terus saja menyodorkan buku pernikahan Alice dan Luis.Sekretaris Luis akhirnya menerima. Dia menurunkan pandangan ragu ke arah buku kecil itu, sembari meneguk kasar ludahnya saat pantulan matanya meraup potret foto formal pasangan suami istri.Dan foto lelaki itu memang, ... Luis Pietro.“Astaga! Ja-jadi Anda ....”“Kamu sudah tahu siapa aku kan? Tolong tunjukan di mana ruangan Tuan Luis. Jangan sampai aku meminta suamiku memecatmu.” Alice menyambar cepat, seakan tahu arah tujuan perkataan wanita berpakaian formal itu, yang masih menatap Alice lekat, “aku janji, tidak akan membuat masalah.”Setelahnya, sekretaris Luis dengan berat hati mengangguk mengizinkan Alice menemui Luis.Alice berjalan bersisian dengan si sekretaris seksi milik Luis Pietro, hingga sebuah pintu besar nan gagah ditunjuk dengan gaya hormat.“Di sini ruangan Tuan Luis, Nyonya. Saya akan memberitahu Tuan Luis kalau Nyo—”“Tidak, tidak perlu. Aku ingin memberi dia kejutan. Pergilah, terima kasih,” potong Alice sedikit panik, lantas mengibaskan tangan sengaja ingin mengusir.Si sekretaris seksi hanya bisa mengangguk hormat untuk kesekian kali, sembari membungkukkan tubuh, dia akhirnya memutuskan kembali ke tempat kerja lagi.Berharap sikap kurang ajarnya pada Alice tadi, tak mempersulit dirinya di keesokan hari.Alice mulai mengatur napas gugup bercampur takut berulang kali. Telapak tangan wanita itu bahkan sudah basah kuyup.Ia juga sudah menyiapkan mental, jika pada akhirnya akan dicekik ataupun dibanting oleh Luis. Asal sang suami mau menerima kehamilannya.“Tenang Alice, tenang. Semua akan berjalan baik. Dia sudah sedikit berubah. Kamu tidak perlu khawatir. Fuhh ... semoga-semoga! Tuhan berkati aku.”Alice pikir, Luis sudah sedikit berubah. Lelaki tampan itu selalu memperlakukan Alice lembut saat menginginkan tubuhnya.Dan kali ini, Alice berharap sang calon anak, akan mendapat pengakuan dari ayah kandungnya.Jemari lentik yang tertekuk, sudah akan mengetuk pintu ruang kerja Luis, tetapi gerakan itu seketika terurungkan saat melihat sinar cahaya keluar dari dalam ruang kerja Luis, yang ternyata pintu tersebut tak benar-benar tertutup sehingga menyisakan sedikit celah.Tangan Alice perlahan turun, untuk sedikit mendorong pintu kayu coklat berkilap tersebut, agar ia bisa mengintip.Namun, ia tiba-tiba membeku di tempat saat telinganya menangkap suara Luis, sedang berbicara dengan asisten pribadi lelaki itu.“Kapan Davina akan pulang? Apa kau sudah mengirimi dia uang?”“Satu Minggu lagi, Tuan. Ya, saya sudah melakukannya, sesuai dengan perintah Tuan Luis. Lalu, apa Tuan benar-benar akan menikahi Nona Davina?”Luis terdengar tengah mengetuk-mengetukkan ujung pena di permukaan meja. Gumaman rendah terdengar sebelum menjawab, “Ya. Sebentar lagi, setelah aku puas bermain dengan tubuh Alice.”“Bukankah Tuan Luis sudah mulai menyukai Nyonya Alice?”“Menyukai? Kau gila?” Luis tertawa mencibir. “Aku hanya memanfaatkan tubuh wanita kampungan itu, karena Davina sedang liburan ke luar negeri.”“... dia merajuk padaku memintaku menikahinya. Sedangkan aku tidak bisa memanggil wanita bayaran, karena kakek sedang memata-mataiku. Yah, satu-satunya jalan memang hanya tubuh Alice.”Kedua tangan yang terjulur di kedua sisi tubuh Alice, seketika mengepal kuat mendengar perkataan Luis.Kebencian di raut wajah kecil wanita itu kian bertambah untuk Luis, yang juga telah meleburkan harapan di hati Alice; berharap Luis akan mengakui anak yang dikandung Alice.Semenjijikan itukah tubuh Alice hingga hanya menjadi alat pelampiasan nafsu oleh seorang Luis Pietro?Sang asisten pribadi Luis tampak masih berdiri terdiam. Dia tak melakukan perubahan ekspresi wajah apa pun, saat bola mata basah berkilat Alice melihat dari sisi wajah sampingnya.Telinga Alice kembali menangkap kelanjutan kalimat Luis.“Kau sudah mendapat laporan ke mana saja Alice pergi?”Sang asisten pribadi akhirnya kembali mengangguk.“Saya mendapat laporan jika Nyonya Alice sempat pergi ke apotek. Para pelayan rumah juga mengatakan kalau kondisi tubuh Nyonya Alice beberapa hari yang lalu sangat lemah,” lapor sang asisten pribadi.“Lalu? Apa dia akan mati, maksudmu?” tanggap Luis lagi.“Kata pelayan, kemungkinan besar Nyonya Alice hamil, Tuan Luis,” jawab sang asisten pribadi takut-takut, dengan kepala sedikit menunduk.Di detik itu juga, dia memberanikan diri mengangkat kepala.“Jika benar, ... Apa Tuan Luis akan membiarkan Nyonya Alice hamil?”“Apa aku terlihat peduli? Kalau itu sampai terjadi, rencanakan kecelakaan untuk Alice, pastikan dia keguguran. Aku tidak mau bayi itu ada. Kau tahu maksudku ‘kan? Pastikan janin itu mati ... apa pun caranya, kau mengerti?” pungkas memerintah Luis, dengan menekan seluruh kalimatnya, sembari mengusap dagu.Jemari Alice kian bergetar lemah, bola mata bulat indahnya berkaca-kaca basah. Ia kemudian mengangkat tangan, untuk menyentuh perutnya yang masih rata.Di sana sudah ada nyawa hasil dari percintaan dirinya dan Luis, benarkah Luis akan setega itu membunuh calon pewarisnya?“Kamu bukan manusia, Tuan Luis! Ka-kamu, kamu ... melebihi seorang iblis! Ba-bagaimana bisa, dia merencanakan membunuh darah dagingnya sendiri seperti ini? Astaga, Tuhan. Pria macam apa yang sudah aku nikahi,” gumam Alice lirih dengan nada bergetar ketakutan.Kepala Alice menggeleng berat dengan wajah memerah lembab. Langkahnya tampak bergerak mundur tak imbang.Sesekali Alice hampir jatuh tersandung oleh kakinya sendiri, hingga akhirnya tumit heels wanita itu tanpa sengaja terselip di karpet lantai, dan hampir saja tubuh Alice jatuh jika tak ditangkap oleh sekretaris Luis yang baru datang.“Nyonya! Nyonya, tidak apa?”Alice menoleh berat, dadanya kembang kempis mengingat apa yang baru saja ia dengar dari Luis. Ia buru-buru memaksa berdiri, tanpa meninggalkan kata, wanita itu pergi begitu saja.Namun, setelahnya, Luis justru keluar setengah berlari heboh dari pintu ruangannya, diikuti sang asisten pribadi. Lelaki itu menatap lekat sang sekretaris yang masih menatap ke arah lift.“Kenapa kau berteriak begitu kencang, hah?!” Luis membentak, sebab jantungnya mendadak berdegub lebih kencang, saat ia sempat menangkap sosok tak asing masuk ke lift.Dan sang sekretaris membalik tubuh, kemudian menunduk penuh ketakutan ke arah Luis.“Ma-maafkan saya, Tuan Luis. Tadi ada seorang wanita yang mengaku sebagai istri Anda. Dia menunjukkan buku nikah, juga ... berdiri cukup lama di depan pintu ruang kerja Anda,” ungkap jujur sang sekretaris dengan terbata, “dan hampir saja terjatuh.”Sang sekretaris sungguh takut, jika Alice hanya seorang penipu dan telah mencuri informasi dari perusahaan ini.“Istriku?” Penjelasan terakhir dari sang sekretaris membuat rahang Luis mengetat kuat. Ponsel yang berada di genggaman seketika dibanting ke lantai, “siapa namanya?”“Ny-Nyonya A-Alice Gracia, Tuan.”“Alice! Beraninya dia datang ke sini. Siapkan mobil. Aku ingin pulang.”“Tuan Luis, saya menemukan alat tes kehamilan milik Nyonya!”Luis berkacak pinggang dengan peluh membasahi wajah tampannya yang menegang. Sorot mata tajam lelaki itu menyebar ke segala sisi sudut ruangan kamar sederhana Alice. Lagi-lagi ia mengumpat, saat pandangannya terpatri pada lemari pakaian sang istri yang terbuka berantakan karena ulah Luis.Kamar sederhana Alice telah berhasil diubah menjadi lautan sampah. Pecahan lampu, vas bunga, hingga bingkai foto pernikahan mereka berserakan di lantai. Beberapa potong pakaian bermerek mahal pun ikut terkoyak.Setelah memutuskan pulang, Luis segera mencari keberadaan Alice di seluruh sudut rumah. Namun, sayangnya, istri yang terus tak dipedulikan Luis itu, telah pergi dengan meninggalkan pakaian-pakaian mahal pemberiannya, juga sebuah dokumen gugatan cerai yang tergeletak di atas nakas.“Fuck you, Alice! Apa hasilnya? Apa dia hamil?” todong Luis tak sabaran saat melihat sang asisten pribadi datang dari kamar mandi luar, terseok-seo
“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?” “... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga be
“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal
“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi
Pukul delapan pagi, di waktu yang sama Berlin–Paris. Sang putra pewaris Pietro, tampak termenung sendu di kursi panjang taman sekolah kanak-kanak. Duduk termangu sembari menopang sebagian pipi gembulnya.“Masuk sana, ngapain masih di sini?” Rose yang baru keluar dari ruang guru, dan hampir saja menuju gerbang, justru membelokkan arah tujuan, saat melihat Gerrald tampak galau seorang diri.Wajah bocah laki-laki tampan itu terangkat, sedikit menyipit saat mendapati sinar Surya berada di antara wajah sang ibu kedua.“Kok Mommy Rose masih di sini?”“... bukannya sudah pergi dengan paman botak?” sambung Gerrald dengan kerjapan mata polos, membuat Rose yang mendengar hal itu tersenyum kaku.Paman botak yang dimaksud adalah orang yang selalu dihindari Rose, itulah alasan Rose masuk ke ruang guru; setelah memastikan Gerrald masuk kelas.Dan Gerrald begitu tahu cara membalikkan keadaan agar Rose tak mengganggu Gerrald. Bocah laki-laki itu sengaja menjadikan lelaki yang mengejar Rose seba