Entah itu pujian atau hinaan yang tersirat, tetapi setelahnya Alice hanya bisa mendesah mendapat serangan bertubi-tubi dari bibir, serta sentuhan jemari panjang Luis di setiap jengkal tubuh indah Alice.
Luis malam ini tak ubahnya seperti binatang buas, yang kelaparan di tengah hutan.Tak ada satu pun bagian di tubuh Alice, yang tak tersapu bibir basah Luis. Hingga dada wanita itu melengkung tinggi, saat merasakan sesuatu hendak menerobos paksa bagian inti Alice, yang terus dicoba berkali-kali di sela deru napas tersengal Luis.“Sial, susah sekali!” umpat Luis untuk kesekian kali. Ia memutuskan berhenti, ia mencoba berkonsentrasi untuk menormalkan degub jantung yang terus berpacu cepat.“Sakit! Ja-jangan!” Tangan Alice berusaha mendorong bahu kekar Luis, agar segera pergi dari atas tubuhnya, tetapi kekuatan wanita itu sama sekali tak sebanding dengan gulungan gairah yang membuat Luis menyeringai mengerikan.Tubuh berotot itu kembali turun, Luis memberi kecupan dalam dan kasar di bibir sensual Alice.Memastikan Alice sudah hampir lupa dengan rasa sakit di bawah sana, sebuah hentakan keras kembali dilakukan, disusul dengan kecupan yang telah berubah menjadi pagutan rakus, membungkam lolongan kesakitan Alice saat Luis berhasil menjadi lelaki pertama yang mendapatkan tubuh indah sang istri.Pinggul kokoh berkilat Luis berdiam sebentar, tak ingin mengurangi kesenangan, ia pun mulai perlahan menggerakkan pinggul. Gerakan itu berubah menjadi konstan, lantas memacu dengan lupa diri.Luis merasakan hal yang luar biasa, yang tak pernah ia dapatkan dari wanita mana pun yang pernah tidur dengannya. Termasuk Davina.Ini sungguh gila, pikir Luis dengan kepala terangkat, lantas menggeleng meracau penuh umpatan. Ia merasai kenikmatan yang membuatnya tak ingin berhenti.Tak begitu lama Alice mendapatkan puncak klimaks, yang begitu digilai banyak wanita yang bertempur panas di atas ranjang bersama Luis.“A-aku ... a-aku, tubuhku ... aku, ingin buang air kecil. To-tolong, jangan bergerak lagi,” rengek manja Alice yang begitu polos, sembari menatap Luis sayu, sorot mata wanita itu bergerak penuh kabut gairah.Tanpa sadar lengan Alice memeluk leher Luis kian erat, membawa bibir panas mereka kembali bertemu.Kini giliran Luis hampir sampai pada titik pencapaiannya, ia terus menghujam dalam untuk mendapatkan apa yang telah dicapai Alice, meski sang lawan sudah lemas dengan mata memejam.“Gila! Aku ... sangat menikmati tubuhmu, Alice. Kau sangat nikmat! Kau tidak boleh pergi dariku! Aagh, sial!” Sebuah kecupan kembali bersarang di bibir Alice.Kepala Luis terangkat tinggi dengan bibir terbuka, merasakan lahar hangat dari kenikmatan yang didapat dengan cara paksa, telah membasahi rahim sang istri yang teramat dibenci selama ini.Tubuh Luis ambruk di atas tubuh Alice. Degub jantung keduanya saling beradu. Begitu pun deru napas terengah Luis, yang mampu didengar Alice.Di detik itu juga Alice berusaha sekuat tenaga membuka mata. Kini napas wanita itu terembus gusar, saat mendapati ada yang salah di antara mereka berdua.“Luis, buka matamu! Kenapa kamu keluarkan di dalam? Bagaimana, kalau aku hamil?”“Hamil? Gugurkan saja. Aku benci wanita hamil, lagi pula kau tidak pantas hamil anakku.”***Tatapan kosong Alice menerawang jauh. Silir angin siang menerpa wajah cantik dengan riasan tipis wanita itu.Terdengar suara obrolan silih berganti saling membalas dari beberapa meja pengunjung kafe, dan hal itu masih tak membuat pergerakan jemari lentik Alice bergerak dari atas berkas gugatan cerai yang baru saja ditandatangani, lantas diletakkan kembali di tengah meja.“Katakan padaku, apa rencanamu setelah ini?” Rose meletakan telapak tangan di punggung tangan sang sahabat. Menggenggam lembut. Mencoba menguatkan Alice yang tampak rapuh.“Aku ... tidak tahu. Mungkin, pergi. Pergi sejauh mungkin dari Luis.”Ini sudah satu bulan sejak Luis memaksa berhubungan badan dengan Alice dalam keadaan mabuk berat. Rencana kepergian Alice kala itu, juga seketika gagal total.Luis benar-benar memerangkap Alice di dalam rumah dengan penjagaan ketat. Sejak kejadian itu, Luis sering pulang hanya demi melampiaskan hasratnya.Alice menunduk lemah. Bahu kecilnya bergetar. Keputusan bercerai, seharusnya sudah sangat tepat.Ia harus pergi dari sisi Luis ... sebelum Alice dan sang calon bayi terbunuh di tangan lelaki iblis itu. Namun, kenapa hatinya kembali dilema?“Tapi, Tuan Luis harus tahu tentang kehamilanmu ‘kan? Dia ayah dari anak yang kamu kandung, Alice.” Sebagai sahabat dari kota kecil yang sama, Rose jelas hanya ingin yang terbaik untuk Alice.Rose belum sepenuhnya tahu penderitaan yang dijalani Alice selama ini. Karena dia juga baru sampai di Berlin, setelah berpindah-pindah kerja menjadi pengacara di beberapa negara.Alice menggeleng berat. Ingatan beberapa jam lalu membuat tangis wanita itu tak bisa lagi ditahan.“Lu-Luis ... akan membunuh anaknya. Bantu aku pergi dari negara ini, Rose. Kumohon.”“Hah? Apa! Jadi Tuan Luis sejahat itu padamu, dan ... calon pewarisnya? Gila, ini sangat gila. Ya Tuhan, hidupmu selama ini pasti sangat kesulitan, Alice. Maafkan aku baru datang.”Tubuh Alice jatuh dalam pelukan Rose. Ia menangis kencang, saat mengingat apa yang didengarnya tadi di kantor Luis.“Kamu yakin ingin meninggalkan Tuan Luis? Maksudku, apa kamu benar ... tidak akan menyesal?” Rose kembali mengulang perkataannya dengan ragu-ragu.“Bawa aku pergi, Rose. Aku tidak ingin di sini lagi.” Keputusan bulat telah dibuat Alice. Ia bersumpah tak akan memberitahu Luis tentang kehamilannya.“Kamu tenang saja. Aku akan mengurus perceraianmu dengan Luis Pietro sampai tuntas.” Rose membalas dengan kesungguhan hati.Tadi pagi Alice sempat pergi ke kantor Luis untuk menunjukkan kehamilannya, meski terasa sangat mustahil akan melihat guratan bahagia di wajah sang suami.Namun, harapan kecil itu masih menjadi ujung dari asa Alice agar tak memilih bercerai, sehingga akan membuat sang kakek sedih. Apalagi sang calon bayi akan kehilangan sosok ayah.Berbekal dengan para pengawal mengekori Alice, wanita itu hendak turun dari mobil. Namun, langkahnya terhenti ketika suara datar menguasai atmosfer dingin di dalam mobil.“Silakan pakai masker dan kacamata ini, Nyonya. Selain Nona Davina, para karyawan dan wartawan tidak pernah mengetahui jika Tuan Luis memiliki wanita dekat, apalagi ... seorang istri. Ini juga perintah Tuan Luis.”Benda-benda itu didorong ke arah Alice membuat ia menarik napas dalam. Untuk kesekian kali, Alice terpaksa menerima lantas memakai tanpa protes seperti dulu.Dan hal tersebut membuat para pengawal diam-diam saling melempar tatapan bingung.Setiap kali keluar rumah, Luis memang selalu memerintah Alice untuk menyembunyikan identitas sebagai istri sah Luis Pietro.“Kami tidak bisa ikut menganta—”“Tidak bisa mengantarku? Tidak masalah. Kalian tunggulah di sini.” Alice memotong dengan kalimat yang sudah biasa ia dengar dari sang pengawal. Jika dulu hanya satu, kini ada dua.Hentakan rendah dari langkah heels Alice, menyusuri lantai lobby membuat perhatian para karyawan sedikit tercuri.Penampilan dan gaya sederhana Alice yang berbeda dari para wanita seksi yang terus-menerus berdatangan mencari sang CEO mereka, untuk menawarkan kerja sama, menjadi topik hangat pergosipan di antara para karyawan pagi ini hingga sang objek tenggelam di lift umum.Setelah dirasa sampai di lantai tujuan, langkah Alice berhenti di depan meja sekretaris Luis.Ia hendak bertanya, tetapi sorot mata yang teraling kaca mata gelap seketika turun, saat sebuah lengan berhenti di depan dada Alice.“Ada apa? Aku ingin mengunjungi Tuan Luis.” Alice akhirnya mulai berkata.“Boleh tahu, Anda dari perusahaan apa? Saya akan memeriksa janji kalian. Karena kami tidak bisa memberi akses ke sembarangan orang untuk menemui Tuan Luis.” Sang sekretaris menanggapi sesuai prosedur kerja yang dia emban.Dan hal itu membuat Alice menguatkan genggaman pada tali tasnya yang berisi alat tes kehamilan; hari ini memang pertama kalinya Alice datang ke kantor Luis sejak tiga tahun pernikahan.Kini Alice sengaja mendekatkan tubuh dengan meja sekretaris Luis. Ia menurunkan sedikit rangka kacamatanya, lantas menatap serius sembari menujukan sebuah buku merah yang baru diambil dari dalam tas.“Aku bukan orang jahat. Lihat ini, ... Aku istri sah bos kalian, istri Luis Pietro. Sekarang, bisa izinkan aku masuk?”Peduli setan dengan aturan dari para pengawal, Alice tahu jika jalannya tak akan semulus jalan tol. Jadi, sebelum menerima penolakan, sekitar pukul empat pagi tadi, Alice menyelinap masuk ke kamar Luis; mencuri buku nikah mereka.“Oh tidak mungkin, Nyonya pasti membohongi saya.”“Kenapa aku harus membohongimu? Kamu bisa memeriksa sendiri. Silakan,” balas Alice dengan senyum merekah, terus saja menyodorkan buku pernikahan Alice dan Luis.Sekretaris Luis akhirnya menerima. Dia menurunkan pandangan ragu ke arah buku kecil itu, sembari meneguk kasar ludahnya saat pantulan matanya meraup potret foto formal pasangan suami istri.Dan foto lelaki itu memang, ... Luis Pietro.“Astaga! Ja-jadi Anda ....”“Kamu sudah tahu siapa aku kan? Tolong tunjukan di mana ruangan Tuan Luis. Jangan sampai aku meminta suamiku memecatmu.” Alice menyambar cepat, seakan tahu arah tujuan perkataan wanita berpakaian formal itu, yang masih menatap Alice lekat, “aku janji, tidak akan membuat masalah.”Setelah
“Tuan Luis, saya menemukan alat tes kehamilan milik Nyonya!”Luis berkacak pinggang dengan peluh membasahi wajah tampannya yang menegang. Sorot mata tajam lelaki itu menyebar ke segala sisi sudut ruangan kamar sederhana Alice. Lagi-lagi ia mengumpat, saat pandangannya terpatri pada lemari pakaian sang istri yang terbuka berantakan karena ulah Luis.Kamar sederhana Alice telah berhasil diubah menjadi lautan sampah. Pecahan lampu, vas bunga, hingga bingkai foto pernikahan mereka berserakan di lantai. Beberapa potong pakaian bermerek mahal pun ikut terkoyak.Setelah memutuskan pulang, Luis segera mencari keberadaan Alice di seluruh sudut rumah. Namun, sayangnya, istri yang terus tak dipedulikan Luis itu, telah pergi dengan meninggalkan pakaian-pakaian mahal pemberiannya, juga sebuah dokumen gugatan cerai yang tergeletak di atas nakas.“Fuck you, Alice! Apa hasilnya? Apa dia hamil?” todong Luis tak sabaran saat melihat sang asisten pribadi datang dari kamar mandi luar, terseok-seo
“Batalkan saja. Aku tahu kamu ragu, Alice.” Mendengar perkataan Rose, sontak kepala Alice menggeleng pelan. Ia bahkan tak memiliki wewenang melakukan itu.“Ini masalah pekerjaan, Rose. Aku pikir, dia pasti sudah lupa padaku. Apa kamu pikir aku sepenting itu di hidupnya?” “... Gerrald Sayang, mandi dulu ya, sama Mommy Rose?” Alice mengusap punggung kecil putranya, lantas mengecup pipi gembul Gerald, ia buru-buru memangkas obrolan krusial ini.Dan berharap apa yang ia dan Rose bahas, tak memantik rasa penasaran sang putra.Gerrald menggeleng menggemaskan. Lengan kecilnya justru kian erat memeluk leher sang mommy.“Tapi, bosmu itu Hugo, Alice. Kamu bisa minta karyawan lain menggantikanmu.” Rose masih kekeh ingin Alice tak kembali ke negara itu.Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat Luis Pietro adalah salah satu lelaki penuh kuasa yang dapat mengatur apa pun sesuka hatinya.Bahu kecil Alice terangkat, ia memejam sejenak lantas membawa pandangannya naik, hingga be
“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal
“Di-dia Lu-Luis?”Langit terasa runtuh dalam sekali kerjapan mata. Tubuh Alice seperti patung lilin yang terbakar oleh bara api, meleleh dalam hitungan detik, saat pandangan mata Alice dan Luis saling bertemu.Tidak ada yang memulai sapaan, keduanya kompak membisu dalam garis takdir yang mengejutkan ini.Alice terus menyangkal dalam hati.Pertemuan ini tidak nyata! Dan, sangat tidak mungkin. Rasa keduanya kembali melebur menyatu dengan dinginnya malam, hingga suara beberapa koper yang berjatuhan dari troli bagasi barang, memutus pandangan Luis.Melihat dari sudut mata, ada troli barang yang lewat, Alice memanfaatkan pangkal heels kanannya untuk menarik salah satu roda, dan tak peduli jika kulit kakinya tergesek lecet.“AAKH!” pekik Luis kesakitan.“Berhasil! Aku harus segera pergi.” Mendengar teriakan kesakitan Luis, Alice dengan sengaja menarik dua koper untuk ditimbunkan ke tubuh lelaki itu, yang tengah mengangkat salah satu lengan untuk melindungi kepala.Staff hotel yang
Alice tersenyum tipis, ia diam-diam terus merapal doa dalam hati, saat pandangan mereka berdua kembali bertemu.“Sial! Apa aku akan ketahuan?” Masih menatap sangat dekat sembari berbicara dalam hati, Alice mendadak kebingungan harus melakukan apa, mungkinkah Alice mengaku saja?Atau lebih baik ia berlari, dan membiarkan Luis menebak-nebak? Lalu membiarkan lelaki itu mengerahkan anak buah keluarga Pietro, yang begitu berkuasa untuk mencari keberadaan Alice di kota ini?Sial, Alice terjebak!“Alice, sepertinya hidupmu telah tenang selama ini.” Luis mengoceh dengan sudut bibir terangkat menyeringai, “apa kau masih mengingatku?”Masih membiarkan senyum kecil terukir di bibir merah merona yang baru saja dipertebal Alice. Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangan.“Tuan Muda, tolong lepaskan Nyonya itu. Tuan Muda sudah salah orang.” Mendengar suara dari Frans, ekor mata Alice sedikit melirik ke arah lelaki itu, yang tampak panik melihat Luis masih menahan pinggang dan pergelang
Setelah pesawat yang ditumpangi Luis dan Alice mendarat dengan selamat. Luis bergegas segera keluar. Bahkan keberadaan Oscar dan Frans seperti angin yang tak dianggap Luis.Lelaki itu berdiri dengan napas terengah-engah di tengah banyaknya orang, dengan mata tajamnya terus memandang ke arah setiap orang yang berlalu lalang. Berharap ada Alice di antara mereka. Namun, nyatanya upaya Luis tak membuahkan hasil.Dan ukiran raut wajah frustrasi Luis di sana, bisa Alice lihat. Wanita cantik itu tengah berdiri bersisian dengan Hugo, yang memiliki jarak cukup jauh dengan posisi Luis.“Dia ternyata masih mencarimu, Alice. Apa urusan kalian di masa lalu, belum terselesaikan?”Menoleh ke arah Hugo, dengan tangan menata kembali letak syal tebal; sengaja dililitkan di leher agak tinggi, menutupi sebagian wajah Alice.“Tidak ada. Aku sudah menyelesaikan semua urusanku dengan pria itu. Bahkan harta yang diberikan oleh Tuan Besar Pietro sudah aku kembalikan,” jawab Alice apa adanya. Sebelum memu
“Jangan membuatku seperti orang bodoh! Hanya kau wanita yang berani melakukan itu padaku!”“... aku tidak salah mengenali orang, dia memang mantan istriku.”Beberapa pukulan kencang menghempas, lantas menghantam kuat samsak hitam. Raut wajah Luis berkerut tebal. Kelopak mata lelaki itu menipis, menyipit menyorot tajam penuh kekesalan hati. Hatinya benar-benar sedang sangat dongkol.“Bagaimana bisa begini, aku dibuat seperti orang gila!”“... dasar wanita sialan! Wanita busuk!”Tak ada seorang pun yang percaya jika Luis mengatakan dirinya dan Alice berada dalam satu kabin pesawat. Bahkan, asisten pribadinya yang sudah lebih dari satu dekade bersama dengan Luis, pun mengatakan dirinya sedikit berhalusinasi.Dan dengan entengnya Frans berkata, “Semua wanita hampir berwajah sama, apalagi saat kita memandang dengan mata lelah. Setelah ini, saya akan membawa Tuan Luis ke dokter mata.”Dasar Frans sialan!Sudah tiga hari sejak kejadian Luis mengejar mobil sewaan Hugo berlalu, tetapi