Beranda / CEO / PUTRA sang PEWARIS / Bab 3 | Istri Luis Pietro

Share

Bab 3 | Istri Luis Pietro

Entah itu pujian atau hinaan yang tersirat, tetapi setelahnya Alice hanya bisa mendesah mendapat serangan bertubi-tubi dari bibir, serta sentuhan jemari panjang Luis di setiap jengkal tubuh indah Alice.

Luis malam ini tak ubahnya seperti binatang buas, yang kelaparan di tengah hutan.

Tak ada satu pun bagian di tubuh Alice, yang tak tersapu bibir basah Luis. Hingga dada wanita itu melengkung tinggi, saat merasakan sesuatu hendak menerobos paksa bagian inti Alice, yang terus dicoba berkali-kali di sela deru napas tersengal Luis.

“Sial, susah sekali!” umpat Luis untuk kesekian kali. Ia memutuskan berhenti, ia mencoba berkonsentrasi untuk menormalkan degub jantung yang terus berpacu cepat.

“Sakit! Ja-jangan!” Tangan Alice berusaha mendorong bahu kekar Luis, agar segera pergi dari atas tubuhnya, tetapi kekuatan wanita itu sama sekali tak sebanding dengan gulungan gairah yang membuat Luis menyeringai mengerikan.

Tubuh berotot itu kembali turun, Luis memberi kecupan dalam dan kasar di bibir sensual Alice.

Memastikan Alice sudah hampir lupa dengan rasa sakit di bawah sana, sebuah hentakan keras kembali dilakukan, disusul dengan kecupan yang telah berubah menjadi pagutan rakus, membungkam lolongan kesakitan Alice saat Luis berhasil menjadi lelaki pertama yang mendapatkan tubuh indah sang istri.

Pinggul kokoh berkilat Luis berdiam sebentar, tak ingin mengurangi kesenangan, ia pun mulai perlahan menggerakkan pinggul. Gerakan itu berubah menjadi konstan, lantas memacu dengan lupa diri.

Luis merasakan hal yang luar biasa, yang tak pernah ia dapatkan dari wanita mana pun yang pernah tidur dengannya. Termasuk Davina.

Ini sungguh gila, pikir Luis dengan kepala terangkat, lantas menggeleng meracau penuh umpatan. Ia merasai kenikmatan yang membuatnya tak ingin berhenti.

Tak begitu lama Alice mendapatkan puncak klimaks, yang begitu digilai banyak wanita yang bertempur panas di atas ranjang bersama Luis.

“A-aku ... a-aku, tubuhku ... aku, ingin buang air kecil. To-tolong, jangan bergerak lagi,” rengek manja Alice yang begitu polos, sembari menatap Luis sayu, sorot mata wanita itu bergerak penuh kabut gairah.

Tanpa sadar lengan Alice memeluk leher Luis kian erat, membawa bibir panas mereka kembali bertemu.

Kini giliran Luis hampir sampai pada titik pencapaiannya, ia terus menghujam dalam untuk mendapatkan apa yang telah dicapai Alice, meski sang lawan sudah lemas dengan mata memejam.

“Gila! Aku ... sangat menikmati tubuhmu, Alice. Kau sangat nikmat! Kau tidak boleh pergi dariku! Aagh, sial!” Sebuah kecupan kembali bersarang di bibir Alice.

Kepala Luis terangkat tinggi dengan bibir terbuka, merasakan lahar hangat dari kenikmatan yang didapat dengan cara paksa, telah membasahi rahim sang istri yang teramat dibenci selama ini.

Tubuh Luis ambruk di atas tubuh Alice. Degub jantung keduanya saling beradu. Begitu pun deru napas terengah Luis, yang mampu didengar Alice.

Di detik itu juga Alice berusaha sekuat tenaga membuka mata. Kini napas wanita itu terembus gusar, saat mendapati ada yang salah di antara mereka berdua.

“Luis, buka matamu! Kenapa kamu keluarkan di dalam? Bagaimana, kalau aku hamil?”

“Hamil? Gugurkan saja. Aku benci wanita hamil, lagi pula kau tidak pantas hamil anakku.”

***

Tatapan kosong Alice menerawang jauh. Silir angin siang menerpa wajah cantik dengan riasan tipis wanita itu.

Terdengar suara obrolan silih berganti saling membalas dari beberapa meja pengunjung kafe, dan hal itu masih tak membuat pergerakan jemari lentik Alice bergerak dari atas berkas gugatan cerai yang baru saja ditandatangani, lantas diletakkan kembali di tengah meja.

“Katakan padaku, apa rencanamu setelah ini?” Rose meletakan telapak tangan di punggung tangan sang sahabat. Menggenggam lembut. Mencoba menguatkan Alice yang tampak rapuh.

“Aku ... tidak tahu. Mungkin, pergi. Pergi sejauh mungkin dari Luis.”

Ini sudah satu bulan sejak Luis memaksa berhubungan badan dengan Alice dalam keadaan mabuk berat. Rencana kepergian Alice kala itu, juga seketika gagal total.

Luis benar-benar memerangkap Alice di dalam rumah dengan penjagaan ketat. Sejak kejadian itu, Luis sering pulang hanya demi melampiaskan hasratnya.

Alice menunduk lemah. Bahu kecilnya bergetar. Keputusan bercerai, seharusnya sudah sangat tepat.

Ia harus pergi dari sisi Luis ... sebelum Alice dan sang calon bayi terbunuh di tangan lelaki iblis itu. Namun, kenapa hatinya kembali dilema?

“Tapi, Tuan Luis harus tahu tentang kehamilanmu ‘kan? Dia ayah dari anak yang kamu kandung, Alice.” Sebagai sahabat dari kota kecil yang sama, Rose jelas hanya ingin yang terbaik untuk Alice.

Rose belum sepenuhnya tahu penderitaan yang dijalani Alice selama ini. Karena dia juga baru sampai di Berlin, setelah berpindah-pindah kerja menjadi pengacara di beberapa negara.

Alice menggeleng berat. Ingatan beberapa jam lalu membuat tangis wanita itu tak bisa lagi ditahan.

“Lu-Luis ... akan membunuh anaknya. Bantu aku pergi dari negara ini, Rose. Kumohon.”

“Hah? Apa! Jadi Tuan Luis sejahat itu padamu, dan ... calon pewarisnya? Gila, ini sangat gila. Ya Tuhan, hidupmu selama ini pasti sangat kesulitan, Alice. Maafkan aku baru datang.”

Tubuh Alice jatuh dalam pelukan Rose. Ia menangis kencang, saat mengingat apa yang didengarnya tadi di kantor Luis.

“Kamu yakin ingin meninggalkan Tuan Luis? Maksudku, apa kamu benar ... tidak akan menyesal?” Rose kembali mengulang perkataannya dengan ragu-ragu.

“Bawa aku pergi, Rose. Aku tidak ingin di sini lagi.” Keputusan bulat telah dibuat Alice. Ia bersumpah tak akan memberitahu Luis tentang kehamilannya.

“Kamu tenang saja. Aku akan mengurus perceraianmu dengan Luis Pietro sampai tuntas.” Rose membalas dengan kesungguhan hati.

Tadi pagi Alice sempat pergi ke kantor Luis untuk menunjukkan kehamilannya, meski terasa sangat mustahil akan melihat guratan bahagia di wajah sang suami.

Namun, harapan kecil itu masih menjadi ujung dari asa Alice agar tak memilih bercerai, sehingga akan membuat sang kakek sedih. Apalagi sang calon bayi akan kehilangan sosok ayah.

Berbekal dengan para pengawal mengekori Alice, wanita itu hendak turun dari mobil. Namun, langkahnya terhenti ketika suara datar menguasai atmosfer dingin di dalam mobil.

“Silakan pakai masker dan kacamata ini, Nyonya. Selain Nona Davina, para karyawan dan wartawan tidak pernah mengetahui jika Tuan Luis memiliki wanita dekat, apalagi ... seorang istri. Ini juga perintah Tuan Luis.”

Benda-benda itu didorong ke arah Alice membuat ia menarik napas dalam. Untuk kesekian kali, Alice terpaksa menerima lantas memakai tanpa protes seperti dulu.

Dan hal tersebut membuat para pengawal diam-diam saling melempar tatapan bingung.

Setiap kali keluar rumah, Luis memang selalu memerintah Alice untuk menyembunyikan identitas sebagai istri sah Luis Pietro.

“Kami tidak bisa ikut menganta—”

“Tidak bisa mengantarku? Tidak masalah. Kalian tunggulah di sini.” Alice memotong dengan kalimat yang sudah biasa ia dengar dari sang pengawal. Jika dulu hanya satu, kini ada dua.

Hentakan rendah dari langkah heels Alice, menyusuri lantai lobby membuat perhatian para karyawan sedikit tercuri.

Penampilan dan gaya sederhana Alice yang berbeda dari para wanita seksi yang terus-menerus berdatangan mencari sang CEO mereka, untuk menawarkan kerja sama, menjadi topik hangat pergosipan di antara para karyawan pagi ini hingga sang objek tenggelam di lift umum.

Setelah dirasa sampai di lantai tujuan, langkah Alice berhenti di depan meja sekretaris Luis.

Ia hendak bertanya, tetapi sorot mata yang teraling kaca mata gelap seketika turun, saat sebuah lengan berhenti di depan dada Alice.

“Ada apa? Aku ingin mengunjungi Tuan Luis.” Alice akhirnya mulai berkata.

“Boleh tahu, Anda dari perusahaan apa? Saya akan memeriksa janji kalian. Karena kami tidak bisa memberi akses ke sembarangan orang untuk menemui Tuan Luis.” Sang sekretaris menanggapi sesuai prosedur kerja yang dia emban.

Dan hal itu membuat Alice menguatkan genggaman pada tali tasnya yang berisi alat tes kehamilan; hari ini memang pertama kalinya Alice datang ke kantor Luis sejak tiga tahun pernikahan.

Kini Alice sengaja mendekatkan tubuh dengan meja sekretaris Luis. Ia menurunkan sedikit rangka kacamatanya, lantas menatap serius sembari menujukan sebuah buku merah yang baru diambil dari dalam tas.

“Aku bukan orang jahat. Lihat ini, ... Aku istri sah bos kalian, istri Luis Pietro. Sekarang, bisa izinkan aku masuk?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status