Beranda / CEO / PUTRA sang PEWARIS / Bab 2 | Luis Pietro

Share

Bab 2 | Luis Pietro

Seringai dingin melengkung di bibir Luis, sebelah lengan yang terlipat bertumpu di sisi pintu, menatap miring ke arah Alice.

“Coba katakan sekali lagi, telingaku sedikit tuli.”

Mendengar perkataan itu, Alice menggeram dongkol, Luis memang definisi lelaki gila, sinting, dan tak tahu malu! Dan bisa-bisanya, ia bertahan terbodohi hingga detik ini.

“Dengar Luis, dengar baik-baik. Buka telingamu, oke? Malam ini aku akan pergi!”

“... dan satu hal yang perlu Kamu tahu, aku tidak menerima apa pun dari kakekmu. Kamu dengar itu?!” sambung wanita itu memekik berapi-api. Hatinya sangat kesal, selalu dituduh Luis mengincar harta keluarga Pietro.

Huh, apa Alice tampak semurahan itu?

“Jelas aku ingin cerai denganmu.”

“... tapi, siapa kau berani meninggalkanku, dengan cara murahan seperti ini, hah?!” tanggap Luis tak kalah berteriak kencang, dengan rahang kokoh mengetat, merasakan seluruh tubuh atletisnya kian panas tak terkendali.

Di detik itu juga Luis mencoba menggeleng kasar sembari mengerjap, meraih sisa kesadaran yang tersisa.

Dan tiba-tiba kilasan ingatan mengenai salah satu penari di kelab malam yang memasukkan obat perangsang ke dalam minuman Luis, setelah pertengkaran hebat dengan Davina memutar di ingatan begitu cepat.

Sialan!

“A-apa ma-maksudmu?” todong Alice tergagap takut, ia tak bisa menebak arti dari tatapan tajam Luis, “lalu apa yang kamu inginkan dariku, tidak bisakah kamu tidak mempersulitku?”

Mata sembab Alice mendadak mendelik lebar, saat tubuhnya tak bisa bergerak dan tanpa sadar, telah berada dalam rengkuhan kuat Luis, lantas membawa paksa ke dalam kamar menjatuh di kasur.

“Aakh! Luis, sadar!” Kepalan telapak tangan Alice terus bergerak memukul-mukul berani punggung lebar Luis, berharap tubuhnya segera dilepaskan, “dengan kita berpisah, kamu bisa menikahi kekasihmu.”

“... aku juga ingin menikah dengan pria yang mencintaiku! Bukan aku yang terus mencintai hingga bodoh, dan bertahan selama tiga tahun di sini!” Alice terus-menerus memberang dengan emosi meluap-luap.

Ingin sekali pernikahan ini segera berakhir, pun mengakhiri statusnya sebagai istri tanpa identitas dari seorang Luis.

Luis lebih banyak tak pulang dan menginap di apartemen Davina. Alice mengetahui ini karena Davina terus mengirimi foto Luis dan wanita itu dalam keadaan polos, saling berpelukan di ranjang.

Sudah cukup. Alice sungguh ingin menyudahi pernikahan bodoh ini. Semakin ia bertahan, hatinya pun kian remuk redam.

Bukan menanggapi ocehan Alice, lelaki itu justru berteriak lantang dengan kalimat berbeda, “Sudah aku bilang, aku tidak mau memiliki anak!”

“Anak?” gumam lirih bingung Alice. Bukankah ia tadi tak membahas tentang anak?

Bibir bergetar Alice sudah akan bergerak terbuka untuk membalas perkataan Luis.

Akan tetapi, sebuah nama yang keluar dari bibir merah Luis seketika menghantam kerapuhan hati Alice.

“Devina. Kau dengar itu kan? Kau jangan jadi wanita yang memuakkan! Aku sangat benci.”

“Da-Davina?” ulang lirih Alice.

Wajah memerah panas Alice membeku. Ia seperti ditampar ribuan kali untuk segera sadar, jika memang tak ada tempat untuk dirinya di hati sang suami.

Dan hanya akan ada nama Davina, Davina, dan Davina lagi.

Bulir bening tanpa sadar kian meluncur deras dari sudut kelopak basah mata tanpa bisa dicegah.

“Luis, kamu menganggapku sebagai Davina? Pantas saja, kamu mau menyentuhku, walau dalam keadaan mabuk,” gumam pilu Alice menatap sendu sorot mata resah sang suami, yang kian merapatkan tubuh mereka berdua tanpa jarak sedikit pun.

Sang CEO selama ini tak pernah ingin menyentuh Alice, kecuali ketika kedatangan Tuan Besar Pietro; dan itu semua juga karena skenario yang dibuat Luis.

Meski Luis dalam keadaan mabuk, lelaki itu selalu bisa menyadari untuk menolak sentuhan Alice. Dan ini ... pertama kalinya mereka satu ranjang.

Sungguh, ... Ini seperti sebuah mimpi.

Alice tiba-tiba memekik saat rahang kecil wanita itu dicengkeram, lantas bibirnya dipagut rakus.

Deru napas panas yang pekat dengan aroma alkohol menjadi satu dengan napas tercekat Alice.

Serangan Luis begitu cepat. Alice sebagai wanita tak berpengalaman menjadi kelimpungan mengimbangi, ini terlalu mengejutkan untuk Alice yang tak pernah bersentuhan dengan seorang lelaki.

Alhasil, ia hanya bisa meluruhkan cairan bening yang kian deras membasahi pipi, saat kendali tubuh Alice dikuasai oleh lelaki yang kini mengukungnya.

Jemari kokoh Luis bergerak tak sabaran di depan pakaian Alice. Lelaki itu hendak menarik kasar, tetapi tangan Alice dengan cepat menahan. Wanita itu membawa paksa wajahnya ke sisi kiri, sehingga pagutan bibir Luis seketika terlepas.

“Kau!” protes marah Luis.

“Lu-Luis! Buka matamu, dan lihat siapa aku. Aku bukan Davina ... dan aku tahu, kamu akan segera sadar. Kamu tidak mungkin menginginkan tubuhku. Jadi, biarkan aku perg—”

“Diam! Tugasmu sebagai istri melayaniku. Aku tidak peduli meskipun kau bukan Davina atau wanita lain. Kau harus melayani aku malam ini!” bentak cepat Luis tak ingin dibantah, membuat dada Alice kian sesak.

Tatapan lelaki itu memerah penuh gairah, seakan mengatakan tak akan memberi kesempatan Alice untuk menghindar lagi.

Dan benar saja, hanya dalam hitungan detik seluruh pakaian di tubuh Alice sudah dirampas kasar, lantas dibuang begitu saja di lantai kamar.

Begitu pun dengan Luis. Lelaki itu juga telah tak sabar untuk melepas seluruh benang yang membalut tubuh bagian bawahnya, hingga mereka berdua kini telah sama-sama menikmati pemandangan yang tak pernah keduanya jumpai selama tiga tahun pernikahan ini.

Alice tertegun, ia sejenak terpana dengan guratan tubuh gagah sang suami, tetapi ia dengan cepat mengerjap, kembali menghadirkan kenyataan pahit akan sikap Luis.

Wanita cantik itu kembali meronta, ia tak pernah menginginkan penyatuan dengan cara seperti ini.

“Ku-kumohon sadarlah, Luis. Kamu hanya sedang emosi dengan kekasihmu. Tolong jangan lampiaskan itu padaku,” mohon Alice dengan sangat di sela isak tangis yang tak bisa dihentikan.

Tangan Alice reflek menyilang di depan dada. Dan hal itu semakin membuat amarah Luis membubung tinggi, berpikir jika Alice tak mengizinkan lelaki itu melihat lekuk tubuh Alice.

“Terlambat! Sudah kubilang, kau harus melayani aku, Wanita Bodoh!”

“... aku sudah tidak bisa lagi menahan. Tubuhmu sepertinya, sedikit ... lumayan.” Bola mata biru itu terus menamati tubuh indah Alice dengan cara yang berbeda.

Dan apa yang dilakukan Luis, sukses membuat darah wanita yang berada di bawah kungkunganya berdesir.

Apakah Alice juga ikut berhasrat?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status