Aku merasa asing di tempat ini, tempat yang berbeda dari tempat tinggalku yang dulu. Aku merindukan sesuatu, sangat rindu. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku sering sekali mendapati perasaan seperti ini. Kini, pikiranku kembali pada tempat pengasingan ini. Tempat yang berada di pantai, pantai yang sangat sepi. Yang terdengar hanyalah suara ombak yang memecah kesunyian. Di belakang rumahku terdapat beberapa bukit dan gunung yang tinggi. Aku mulai membereskan barang-barangku yang tidak terlalu banyak. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada peralatan lukisku, dan hal ini juga yang menyebabkan aku berada di tempat ini. Tapi aku tidak peduli, asalkan aku bisa terus melukis, bagiku itu sudah cukup. Aku tidak peduli walaupun aku diasingkan oleh keluargaku sendiri. Jika mereka saja tidak peduli padaku, lalu untuk apa aku mempedulikan mereka? Walaupun aku adalah anak tunggal mereka.
Aku pasang lukisan kelinciku di dinding yang catnya telah kusam, dan kupandangi lukisan itu lekat-lekat. Aku menghela nafas panjang lalu mengelap lukisan itu dengan perlahan. Lukisan itu mempunyai arti yang dalam bagiku, selain karena lukisan pertamaku, juga karena alasan aku melukisnya.
♡♡♡
Udara pagi hari di sini sangat sejuk. Sepanjang pagi aku hanya melihat laut dan mendengarkan suara gelombang. Ternyata, tempat pengasingan ini lebih menyenangkan dari tempat manapun. Aku terus berjalan, mengikuti arah pantai dan akhirnya tiba di kaki bukit. Aku biarkan kaki melangkah menaiki bukit itu. Terus mendaki dan mendaki, sampai akhirnya aku menyadari bahwa kini aku berada di tengah hutan dengan pohon-pohon tua dan semak-semak berduri. Aku terus berpikir, arah mana yang harus aku lalui, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti arah ranting yang baru saja aku jatuhkan. Jalan setapak ini mempertemukan aku pada anak sungai dengan batu-batu yang besar. Rasa haus memerintahkan aku untuk meminum air itu.
Aku terus berjalan, berjalan dan berjalan, mengikuti anak sungai itu, yang kemudian mengarah pada suatu perkampungan. Aku bersyukur, karena aku tidak bertemu dengan hewan-hewan yang membahayakan. Aku segera turun dengan tergesa-gesa. Aku tidak tahu di desa apa kini aku berada.
“Maaf!” ucap seorang pria yang baru saja menabrakku. Dia terlihat sangat tergesa-gesa dengan membawa tas gunung yang sangat besar dan terlihat berat. Dia mengenakan baju kaos hitam kusam dengan celana denim sobek dan topi hitam. Walaupun berpenampilan demikian, tetapi dia seperti seorang yang terpelajar. Mungkin usianya sekitar dua tahun lebih tua dariku.
♡♡♡
Hampir sembilan bulan aku berada di sini, dan hanya satu orang yang sering datang ke rumah ini, atau aku yang ke rumahnya. Dia seperti nenekku sendiri. Walaupun rumahku ini jauh dari perkampungan, tetapi aku tidak pernah merasa kesepian.
“Assalamualaikum, Phia!” aku mendengar suara seorang pria yang sedang mengetuk pintu rumahku, langsung saja aku membukakan pintu.
Aku melihat seorang pria yang berwajah tampan. Kulitnya putih bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung, bentuk rahangnya juga tegas. Aku yakin banyak wanita yang terpesona dengannya. Apakah termasuk aku?
Sorotan matanya tajam, membuat setiap orang yang ditatapnya akan merasa segan.
Meskipun ditutupi oleh kaos yang dipakainya, aku yakin dia memiliki lengan yang kekar.
Penampilannya tidak terlalu menonjol, terlihat biasa-biasa saja, namun aku tahu dia bukan orang sembarangan.
Suaranya juga tegas namun menenangkan. Aku yakin, jika dia menjadi dokter atau psikolog, maka para pasiennya rela bolak-balik hanya untuk sekedar konsultasi dengannya.
Tunggu, ada apa dengan diriku? Sejak kapan aku mengamati penampilan seseorang? Apakah tinggal di desa terpencil membuatku hobi mengamati segala sesuatu yang ada di sekitarku?
Aku merasa seperti pernah melihatnya, tapi tidak tahu dimana. Beberapa saat kemudian baru kusadari ternyata orang itu adalah pria yang pernah menabrakku di desa sembilan bulan yang lalu. Tapi siapa dia? Aku tidak pernah mengenalnya sama sekali. Lalu bagaimana dia bisa tahu nama dan tempat tinggalku?
“Jadi, kamu yang namanya Phia?” ucap pria itu sambil tersenyum.
Pertanyaan pria itu menyadarkan aku dari lamunanku.
“Aku Aisar. Kamu pasti kenal nenekku! Nenek memintaku mengantarkan ini.”
Pria yang bernama Aisar itu menyodorkan sebuah bungkusan. Aku menyuruhnya masuk tanpa berbicara sepatah katapun.
“Jadi, kamu seorang pelukis ya?” tanyanya tanpa mengharapkan jawaban.
Dia duduk di bangku reot tang ada di depan rumahku. Aku menyuguhkan teh hangat tanpa cemilan. Aku duduk di sebelahnya.
Semilir angin laut membuat teh itu cepat dingin. Pria itu menyeruput teh yang aku buat itu dengan perlahan, seolah menikmati rasa teh yang aku yakin rasanya biasa-biasa saja.
Aroma parfumnya tercium di indra penciumanku. Aroma maskulin yang menenangkan.
Sebanarnya siapa dia? Semua yang ada pada dirinya membuatku penasaran, setidaknya hingga saat ini. Di hari pertama pertemuan aku dengannya.
Kami saling menatap, dia tersenyum menampilkan wajah tampan, yang sekali lagi, aku yakin akan banyak wanita yang bersyukur akan anugerah yang ada di hadapan mereka. Apakah aku salah satunya?
Lagi-lagi dia membuatku penasaran. Dia memiliki daya tarik tanpa harus melakukan ini itu. Entah apapun pekerjaan pria ini, sekali lagi, dia akan membuat orang-orang di sekitarnya merasa kagum.
♡♡♡
Setiap hari Aisar ke rumahku. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena disuruh oleh neneknya, untuk menemani hari-hariku yang sepi tanpa sanak saudara yang memang tidak pernah peduli padaku.
“Kamu mau ke rumah nenek, Phi? Sudah tidak usah, hari ini nenek pergi ke rumah nek Santi.”
Kami duduk di tepi pantai. Aku juga sering melukis dan dia selalu melihatnya. Di sini, tidak ada seorang pun yang dapat melarangku melukis. Aisar sering menceritakan tentang dirinya.
“Aku ke sini saat liburan semester.”
Aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu. Dia menceritakan seluruh riwayat hidupnya dan keluarganya. Dia juga tidak pernah terbebani oleh apapun.
“Ah, maaf!”
Aisar menumpahkan catku. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.
“Jangan katakan maaf, karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Kehilangan cat segini tidak masalah untukku. Dulu, alat-alat lukisku sering dibuang oleh mereka.”
Perkataanku yang tiba-tiba sepertinya mengagetkan dia. Tentu saja, karena selama aku berada di tempat pengasingan ini, aku tidak pernah berbicara pada siapapun. Untuk membeli sesuatu, aku hanya menunjuk, mengangguk, menggeleng, semua hanya dengan gerakan tubuh. Orang-orang pasti menganggapku bisu, termasuk nenek.
“Loh, jadi kamu bisa bicara, Phi?” tanyanya bingung sekaligus senang.
“Kenapa sih selama ini kamu tidak pernah bicara?” dia menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan sikapku selama ini.
Nenek senang sekali saat mengetahui bahwa aku dapat berbicara.
“Kamu seperti adikku,” ucap Aisar tiba-tiba. Kata-katanya terdengar aneh.
“Benar, aku mungkin seperti adikmu, tetapi kamu tidak seperti kakakku. Hanya nenek, yang seperti nenek kandungku.”
Dua bulan sudah kami bersama dan aku selalu mendengarkan cerita-ceritanya.
“Kamu pendengar yang baik.”
Aisar mengusap-usap kepalaku.
“Tidak! Aku bukanlah seorang pendengar yang baik. Baik untukmu, nenek, atau siapapun. Pendengar yang baik untuk diri kita adalah Allah dan diri kita sendiri. Bahkan, aku sendiri tidak tahu apakah aku dapat memahami diriku sendiri atau tidak.”
♡♡♡
“Phi, Phi! Ayo cepat, nenek memanggilmu,” kata Aisar terburu-buru.
“Ada apa, nenek sakit, ya?”
Aku melihat Aisar mengangguk.
“Phia, ini! Simpanlah leontin ini, jangan sampai hilang. Apapun yang terjadi, leontin ini harus selalu bersamamu.”
Sementara aku dan nenek berbicara berdua, Aisar berada di luar menunggu kedatangan dokter.
Wajah nenek semakin pucat dan aku tidak dapat membendung rasa sedihku.
Setiap hari aku merawat nenek, sampai akhirnya keadaan nenek semakin membaik.
“Phi, aku harus kembali ke Jakarta dan aku tidak tahu kapan akan kembali lagi ke sini.”
“Tapi ... bagaimana dengan nenek? Apa kamu akan meninggalkannya? Aku tidak keberatan merawatnya, tapi dia juga membutuhkanmu,” kata-kataku mungkin saja membuatnya terbebani, dan aku tidak menginginkan hal ini.
“Apa nenek sudah tahu?” tanyaku buru-buru untuk memecahkan keheningan.
“Ya,” katanya dengan suara sedikit tertahan.
Walaupun sangat sedih, tetapi nenek merelakan Aisar kembali ke Jakarta. Hari ini Aisar memakai pakaian yang sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Terukir kembali di benakku saat-saat itu. Saat-saat yang tidak terduga.
“Sar, berjanjilah padaku kamu akan pulang. Aku ingin saat aku membuka pintu, ada kamu yang sedang menungguku. Aku tunggu kamu di pantai ini, aku tunggu kamu di rumah ini. Aku tunggu, selalu kutunggu sampai kamu kembali, dan satu hal lagi yang tidak boleh kamu lupakan, kamu harus menggunakan baju dan topi yang sama!”
“Aku janji. Tunggulah aku di pantai ini. Pada saat itu, aku pasti akan memakai segala sesuatu yang sama.”
Hari ini telah memisahkan Aisar dari nenek dan aku.
♡♡♡
“Ada apa?”
Tidak seperti biasanya rumah nenek banyak orang.
“Tiba-tiba saja penyakit nenek bertambah parah.”
Agar bisa selalu menjaga nenek, akhirnya aku tinggal di rumah nenek. Setiap hari penyakit nenek semakin bertambah parah.
“Nenek, ayo minum obat dulu, baru nanti tidur lagi. Nenek, nenek!” kataku sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya.
♡♡♡
“Nenek, sekarang aku sendiri. Aku merasa kesepian, sangat kesepian. Mengapa nenek tidak menunggu Aisar. Dia berjanji akan pulang. Benar kan, nek?” tanyaku di depan kuburan nenek.
Rasa kesepian kembali menyelimuti hatiku sejak kepergian nenek untuk selamanya. Nenek memang bukan nenek kandungku, tapi kasih sayang dan perhatiannya melebihi keluarga kandungku sendiri.
Aku memegang leontin pemberian nenek. Aku rasa leontin ini sangat berharga buat nenek. Aisar bahkan tidak tahu kalau nenek memberikan leontin ini padaku. Kenapa nenenek memberikannya padaku?
Yang datang akan pergi. Jadi jangan berharap mereka akan selalu berada di sisiku.
Nenek pergi, untuk selamanya dan tidak akan kembali.
Aisar pergi, entah untuk berapa lama. Apakah dia akan kembali untuk menepati janjinya? Atau kami akan saling melupakan pertemuan yang singkat itu.
Pertemuan singkat yang menyisakan ruang kosong di hati. Memberikan rasa sepi yang bahkan lebih dalam dari sebelumnya, saat pertama kali aku ke tempat ini.
Setiap pagi, saat aku membuka pintu, dengan keyakinan dia akan datang. Setiap hari selama satu tahun ini aku selalu menunggunya, dan kapankah dia akan pulang. Kutatap, selalu kutatap pantai ini dan mendengarkan suara ombaknya yang bagaikan nyanyian menyayat hati dalam penantian panjang yang tak berujung. Aku memegang erat-erat leontin pemberian yang ada di leherku, dan sekali lagi aku membuka pintu yang menghadap pantai ini.
Biarkan sesuatu menjadi milikku
Hari ini, esok dan selamanya
Bisakah itu terjadi?
Hari-hari yang aku jalani tidak banyak yang berubah. Semua terlihat sama saja. Melukis, menyusuri pantai sambil berharap bahwa seseorang akan datang. Namun semua bagai angin lalu, yang ditunggu tak kunjung datang meski sudah satu tahun lebih.Aku memikirkan banyak hal, apakah dia akan tetap bertahan di sini, atau pergi ke tempat lain yang mungkin akan lebih baik lagi untukku.Bukan, bukan karena Aisar tidak datang maka aku ingin pergi. Pada dasarnya aku memang tidak berencana untuk terlalu lama berada di tempat ini. Aku memiliki jiwa yang bebas, yang ingin selalu berada di tempat-tempat yang berbeda. Yang selalu menyertai aku selama ini hanyalah peralatan lukisku, saranaku untuk melepaskan keluh kesah.☆☆☆Aku merapihkan barang-barangku yang memang tidak banyak. Memasukkannya ke dalam koper dan kardus kecil. Sudah aku putuskan untuk pergi. Entah akan kembali atau tidak, yang jelas, aku hanya ingin pergi.
Sudah satu bulan aku dan Lila bersama. Sekarang Lila sudah menjadi asisten pribadiku. Dia cepat belajar dan rajin. Sekarang aku sudah membuka galeri lukis sendiri. Hanya saja aku tidak ingin orang-orang tahu siapa pemilik sebenarnya. Aku hanya ingin mereka menyukai karya-karyaku tanpa memandang bahwa pelukisnya adalah wanita cantik yang kesepian, seperti yang sering Lila bilang. Ah, Lila itu, dia terlalu polos untuk mengatakan semua itu langsung di hadapanku.“Phi, kamu tidak bosan melukis terus?”“Kamu tidak bosan, bernafas terus?” tanyaku balik. Lila memanyunkan bibirnya, kesal dengan pertanyaanku. Aku terkekeh melihat ekspresinya yang menggemaskan itu.Bagiku, melukis itu seperti bernafas, sesuatu yang aku butuhkan. Saat aku senang, sedih atau marah, maka aku akan mengungkapkannya lewat lukisan.“Phi, kemarin aku ke minimarket terus melihat pria tampan. Mudah-mudahan saja dia menjadi jodohku.” Sepertinya kriteria khusus untuknya mencari
AUTHOR POV Kabar mengenai lukisan leontin berjudul Promise itu terdengar di berbagai kalangan atas, termasuk keluarga Anderson. Pihak mereka ingin mengetahui siapa pelukis tersebut, apa yang dia tahu tentang leontin itu, siapa yang memiliki leontin itu dan berada di mana leontin itu sekarang. Phia tidak tahu, bahwa karena leontin itu, dia menjadi incaran banyak orang, terutama keluarga Anderson dan Julio. “Bagaimana pun caranya, cari tahu semua hal tentang pelukis itu!” Jhon, yang merupakan tangan kanan keluarga Anderson langsung menjalankan perintah atasannya. Yang dia tidak tahu, mencari tahu keberadaan Phia tidak semudah yang dia kira, karena selama ini Phia sering berpindah-pindah tempat. Phia bukanlah sosok yang ingin kehidupan pribadinya mudah dicari tahu oleh orang lain. Itu sebabnya dia selalu menggunakan nama yang berbeda-beda dalam berbagai keadaan. Dia akan menggunakan nama Aruna dalam lukisannya dan Phia untuk orang
5 BERTEMU LAGIZiko langsung duduk di samping Phia sambil terus memperhatikan wajah Phia dari samping, sama seperti saat di pesawat dulu.Merasa ada yang memperhatikannya, Phia lalu menengok, wajah tampan sedang memandangnya.“Kita bertemu lagi, Nona.”Phia mengingat-ngingat pria itu, tak lama dia mengangguk. Pesanan Ziko tiba tidak lama dari pesanan Phia. Mereka menghabiskan makanan dalam diam ditemani hujan yang masih turun dan semakin deras. Selesai makan, Ziko langsung memulai pembicaraan.“Nona, bukankah Anda seorang pelukis?”“Aku hanya hobi melukis.”“Perusahaan SKY GROUPS sedang menjalankan proyek perhotelan yang didirikan di lima belas kota di Indonesia. Mereka sedang mencari pelukis untuk proyek baru mereka.”Tapi bohong! Sebenarnya ide ini baru saja terbesit dalam pikiran Ziko saat melihat Phia. Dia ingin mencari alasan agar Phia tidak lepas lagi pencariannya.“Anda siapa?”“Sa
6 CARLOS ANDERSONSementara menunggu pembangun hotel yang masih dalam proses pengerjaan, Ziko telah membeli peralatan lukis yang harus dipesan dari luar negeri. Kuas, cat dan kanvas, semuanya terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas.Lukisan yang akan diletakkan di lobi nanti berukuran dua kali satu meter, dengan bingkai yang terbuat dari emas murni, kacanya pun terbuat dari kaca khusus. Lila, yang mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk satu lukisan saja, rasanya ingin pingsan.Phia mulai menggerakkan tangannya. Tangannya dengan terampil memegang kuas untuk melukis. Hal pertama yang dia buat adalah daun-daun yang berguguran. Entah akan seperti apa lukisannya nanti, dia juga belum tahu. Menurut Lila, Phia itu memiliki bakat melukis yang sangat luar biasa, karena dia dapat dengan mudah menyampaikan idenya begitu saja tanpa ada perencanaan akan lukisannya. Sedangkan bagi Phia, terlalu berpikir hal apa yang ingin dia lukis bisa menghilangkan
7 ARTHUR JULIOMark, anak buah dari Arthur Julio kini juga berada di Jakarta untuk mencari keberadaan Phia. Arthur Julio, pria berusia tujuh puluh tahun, seorang pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan. Dia penggemar perhiasan, bukan untuk dirinya, tapi untuk dihadiahkan kepada istrinya yang kini berusia enam puluh delapan tahun. Arthur Julio dan Ruby Adrian dikenal sebagai pasangan yang sangat romantis dan harmonis meski kini usia keduanya tak muda lagi.Mereka menikah di usia muda. Saat itu Arthur berusia dua puluh satu tahun menikahi Ruby yang berusia sembilan belas tahun. Satu tahun kemudian mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Erlan Arby Julio.“Bagaimana Sayang, apa kamu sudah menemukan petunjuk tentang keberadaan pelukis itu?” tanya Ruby pada Arthur.“Belum, Honey.”Ruby berdecak kesal.“Jangan khawatir, aku pasti akan segera menemukan pelukis itu. Kamu jangan terlalu banyak pikiran.”“Setel
8 PENCARIAN AISARPhia dan Lila ada di pemakaman kakek Alan. Kuburan itu selalu terawat karena Phia membayar seseorang untuk merawatnya. Setelah berdoa dan menceritakan banyak hal pada kakeknya, Phia dan Lila pulang ke rumah.“Nanti malam kita akan dijemput oleh Ziko,” beritahu Phia pada Lila.“Dia di Jakarta juga?”“Iya, katanya nanti sore dia ada meeting mendadak. Setelah itu kita sama-sama ke Banjarmasin.”“Ngomong-ngomong, gimana Phi, kamu mau enggak, ikut pameran itu?”Phia tidak langsung menjawabnya. Yang ada dalam pikirannya dia sudah tahu lukisan apa yang akan dia ikut sertakan dalam pameran itu meskipun lukisan itu belum dia buat dan ada keraguan dalam dirinya.“Phi?”“Hmmm?”“Gimana, ikut ya?”“Aku pikir-pikir dulu deh.”“Jangan kel
9 RENCANA ELPHIA AYURA Malam kian pekat, udara semakin dingin karena hujan yang tak juga berhenti sejak sore tadi. Meskipun begitu, Phia masih saja asyik dengan alat lukisnya. Bukan, dia bukan melukis untuk hotel milik Ziko. Melainkan melukis untuk diikut sertakan dalam pameran lukisan di Paris. Pikirannya terus tertuju pada pameran itu. Bahkan, dia tidak hanya melukis satu lukisan saja, melainkan lima lukisan. Pertengahan tahun depan dia berencana untuk membuka pameran lukisan miliknya sendiri yang dia rencanakan akan diadakan di Sidney. Kalau sudah begini, dia bisa lupa akan hal lain. Jiwanya seperti terserap dalam lukisan-lukisan itu.Sudah satu bulan ini Phia tidak keluar dari apartemennya. Bahkan untuk makan saja dia harus diingatkan oleh Lila. Dia mengerjakan lukisan pribadinya dengan lukisan untuk hotel Ziko secara bergantian, membuat lingkaran hitam di matanya terlihat jelas. “Istirahat dulu dong, Phi.” “Aku tidak bisa t