Hari-hari yang aku jalani tidak banyak yang berubah. Semua terlihat sama saja. Melukis, menyusuri pantai sambil berharap bahwa seseorang akan datang. Namun semua bagai angin lalu, yang ditunggu tak kunjung datang meski sudah satu tahun lebih.
Aku memikirkan banyak hal, apakah dia akan tetap bertahan di sini, atau pergi ke tempat lain yang mungkin akan lebih baik lagi untukku.
Bukan, bukan karena Aisar tidak datang maka aku ingin pergi. Pada dasarnya aku memang tidak berencana untuk terlalu lama berada di tempat ini. Aku memiliki jiwa yang bebas, yang ingin selalu berada di tempat-tempat yang berbeda. Yang selalu menyertai aku selama ini hanyalah peralatan lukisku, saranaku untuk melepaskan keluh kesah.
☆☆☆
Aku merapihkan barang-barangku yang memang tidak banyak. Memasukkannya ke dalam koper dan kardus kecil. Sudah aku putuskan untuk pergi. Entah akan kembali atau tidak, yang jelas, aku hanya ingin pergi.
Rumah kecil yang sudah kusam termakan usia inilah yang menjadi saksi bisu selama dua tahun ini, melihat keseharianku,yang selain melukis, terasa sangat membosankan.
Aku mulai mengeluarkan barang-barangku dari dalam rumah. Sekali lagi aku memandang arah pantai, lalu pergi ke terminal bus untuk menuju tempat baruku.
Perjalanan terasa penjang dengan pikiran menerawang jauh.
"Mau, Mbak?" tawar seorang wanita. Dia memberikan satu buah jeruk. Aku menerimanya sambil tersenyum.
"Ke kota mau mencari pekerjaan, Mbak? Atau mau apa?"
"Mau ke bandara."
Aku menikmati jeruk yang rasanya asam manis itu. Wanita yang bernama Lila itu terus mengoceh tanpa henti, membuatku sesekali tertawa.
"Aku ke kota ingin mencari pekerjaan, Mbak. Dari pada aku terus berada di kampung dan dipaksa menikah dengan seorang pria yang sudah memiliki tiga orang istri."
Berarti dia akan jadi istri ke empat?
"Laki-laki itu bahkan sudah memiliki tiga orang cucu!" ucapnya geram.
Baiklah, aku tidak boleh tertawa. Pantas saja dia memilih untuk kabur. Kalau dipikir-pikir, aku dan dia sama-sama seorang pelarian.
Aku melihat wajahnya dengan seksama. Dia cukup cantik, usianya mungkin sama denganku, cara bicaranya juga cukup sopan walau ceplas-ceplos. Apakah kami dapat berteman baik?
"Kamu bisa bahasa Inggris?" tanyaku ragu-ragu.
"Ya little-little i can lah, Mbak." Aku langsung tertawa.
Oke, aku sudah memutuskan kalau dia akan bersamaku.
"Kamu ikut aku saja!"
"Mbak percaya sama aku? Mbak bisa dipercaya, kan?"
Aku semakin menyukainya. Sikapnya memang waspada terhadap orang lain, walaupun untuk beberapa hal dia sebenarnya ceroboh.
Bukankah tadi dia duluan yang mengenalkan dirinya dan menceritakan alasan dia pergi? Aku memiliki insting ysng baik untuk menilai seseorang. Oleh sebab itu aku ingin mengajaknya. Daripada dia harus terlunta-lunta di kota besar tanpa sanak saudara.
Sepanjang perjalan dia terus mengoceh. Mungkin kami adalah perpaduan yang pas. Dia cerewet dan aku adalah pendengar yang baik, seperti yang pernah dikatakan oleh Aisar.
Bicara tentang Aisar, apa kabarnya dia di tempat yang tidak aku ketahui? Kami tidak pernah bertukar nomor ponsel. Mungkin dia menganggap aku adalah gafis sederhana yang jauh dari kata modern. Tidak masalah, aku memang tidak ingin nomor ponselku diketahui oleh orang banyak.
Aku akan menganggapnya seorang tamu yang pernah tersesat di rumahku. Tidak akan aku biarkan ada seseorang yang mengganggu hati dan pikiranku. Cukup keluargaku saja yang melakukan itu.
☆☆☆
Kami tiba di stasiun dan langsung menuju tempat makan yang tidak jauh dari situ. Aku segera memesan tiket pesawat secara online. Untung saja masih ada tiket meskipun tempat duduk kami berjauhan.
Sekali lagi aku melihat wajah Lila. Siapa sangka, hanya karena jeruk, akhirnya kami berteman, bahkan bisa langsung akrab. Nenek, Aisar, Lila ... mereka bisa langsung akrab denganku meskipun baru saling mengenal. Sedangkan keluargaku, mereka bahkan malas melihat wajahku.
"Kamu tahu tidak, Phi? Kamu itu punya kekuatan yang membuat orang yang melihatmu langsung terpesona. Contohnya saja aku."
Ah, masa iya? Kenapa keluargaku tidak seperti itu? Mengingat kata keluarga membuat hatiku kosong. Kata keluarga adalah hal sensitif yang membuatku ingin selalu menghindarinya.
Setelah kenyang dan cukup istirahat, kami langsung menuju bandara. Aku menarik koperku dan kardus bermotif polkadot yang isinya peralatan lukisku yang tidak aku kirimkan melalui paket, sedangkan lukisan-lukisanku sudah ada di tempat yang akan aku tuju. Lila hanya menggunakan ransel hitam.
☆☆☆
Berkali-kali aku menenangkan Lila di bandara. Terlihat sekali kalau dia sangat gugup.
Pesawat mulai lepas landas. Aku membayangkan wajah Lila yang pastinya pucat dan tangan kakinya yang gemetaran. Untuk mengusir rasa bosan selama perjalanan, aku mengambil buku sketsaku dan mulai melukis.
Aku merasa pria yang duduk di sebelahku sesekali melirik ke arahku, namun aku pura-pura tidak tahu.
"Khmmm ... Nona, itu lukisannya dijual?"
Aku langsung menatap pria itu. Matanya berwarna biru, dan dia sangat tampan. Wajahnya sekilss mengingatkan aku akan seseorang.
"Kalau Nona menjualnya, saya ingin membelinya."
Aku melihat penampilannya. Jelas sekali kalau dia adalah orang kaya.
"Bagaimana?" tanyanya menuntut.
"20 juta!"
"Deal!"
Hah? Serius? Tahu dia akan langsung menyetujuinya, aku pasti akan memasang harga yang lebih mahal lagi. Biasanya aku menjual lukisan yang seukuran buku sketsa hanya lima belas juta, tapi jika lukisannya rumit, maka aku akan menjual sekitar dua puluh lima juta. Tapi ini lukisan paling sederhana yang aku buat dengsn pensil.
"Setelah tiba di bandara langsung kirim ke rekening saya."
Aku tidak sembarangan menjual lukisan-lukisanku. Paling murah yang pernah aku jual seharga sepuluh juta, tidak perlu ditanya berapa harga yang paling mahal.
Itulah sebabnya, hidupku tidak berantakan saat jauh dari keluarga. Apakah mereka tahu tentang semua ini? Tentu saja tidak. Entah sudah berapa banyak pundi rupiah yang masuk ke rekeningku karena menjual lukisan. Kemampuan melukis yang selalu mereka anggap sebagai kemampuan receh, nyatanya telah membuatku bertahan hingga saat ini.
Kami tiba di bandara. Aku melihat wajah Lila yang tersenyum. Sudah tidak takut lagi dia? Pria yang membeli lukisanku itu langsung menstransfer uang ke rekeningku. Aku memberikan lukisannya dan dia memberikannya pada seorang pria.
"Hati-hati menyimpan lukisan ini." Bahkan lukisanku itu belum dibingkai namun sudah terjual.
"Phi, ternyata naik pesawat itu enak ya, awalnya saja deg-degan. Apalagi tadi aku duduk dengan pria tampan."
Bukan kamu saja yang duduk dengan pria tampan, tapi aku juga. Dia bahkan langsung membeli lukisan tang sedang aku buat seharga dua puluh juta.
"Sekarang kita kemana, Phi?"
"Apartemenku."
Kami berjalan beriringan dengan Lila yang masih saja menceritakan pengalaman pertamanya naik pesawat. Mungkin akan terbawa mimpi.
"Kapan-kapan kita naik pesawat lagi ya, Phi? Mudah-mudahan juga aku dapat jodoh seganteng pria yang duduk di sebelahku itu."
Aku menggeleng-gelenglan kepala. Tapi yang namanya manusia tidak boleh berhenti berharap, kan?
Sudah satu bulan aku dan Lila bersama. Sekarang Lila sudah menjadi asisten pribadiku. Dia cepat belajar dan rajin. Sekarang aku sudah membuka galeri lukis sendiri. Hanya saja aku tidak ingin orang-orang tahu siapa pemilik sebenarnya. Aku hanya ingin mereka menyukai karya-karyaku tanpa memandang bahwa pelukisnya adalah wanita cantik yang kesepian, seperti yang sering Lila bilang. Ah, Lila itu, dia terlalu polos untuk mengatakan semua itu langsung di hadapanku.“Phi, kamu tidak bosan melukis terus?”“Kamu tidak bosan, bernafas terus?” tanyaku balik. Lila memanyunkan bibirnya, kesal dengan pertanyaanku. Aku terkekeh melihat ekspresinya yang menggemaskan itu.Bagiku, melukis itu seperti bernafas, sesuatu yang aku butuhkan. Saat aku senang, sedih atau marah, maka aku akan mengungkapkannya lewat lukisan.“Phi, kemarin aku ke minimarket terus melihat pria tampan. Mudah-mudahan saja dia menjadi jodohku.” Sepertinya kriteria khusus untuknya mencari
AUTHOR POV Kabar mengenai lukisan leontin berjudul Promise itu terdengar di berbagai kalangan atas, termasuk keluarga Anderson. Pihak mereka ingin mengetahui siapa pelukis tersebut, apa yang dia tahu tentang leontin itu, siapa yang memiliki leontin itu dan berada di mana leontin itu sekarang. Phia tidak tahu, bahwa karena leontin itu, dia menjadi incaran banyak orang, terutama keluarga Anderson dan Julio. “Bagaimana pun caranya, cari tahu semua hal tentang pelukis itu!” Jhon, yang merupakan tangan kanan keluarga Anderson langsung menjalankan perintah atasannya. Yang dia tidak tahu, mencari tahu keberadaan Phia tidak semudah yang dia kira, karena selama ini Phia sering berpindah-pindah tempat. Phia bukanlah sosok yang ingin kehidupan pribadinya mudah dicari tahu oleh orang lain. Itu sebabnya dia selalu menggunakan nama yang berbeda-beda dalam berbagai keadaan. Dia akan menggunakan nama Aruna dalam lukisannya dan Phia untuk orang
5 BERTEMU LAGIZiko langsung duduk di samping Phia sambil terus memperhatikan wajah Phia dari samping, sama seperti saat di pesawat dulu.Merasa ada yang memperhatikannya, Phia lalu menengok, wajah tampan sedang memandangnya.“Kita bertemu lagi, Nona.”Phia mengingat-ngingat pria itu, tak lama dia mengangguk. Pesanan Ziko tiba tidak lama dari pesanan Phia. Mereka menghabiskan makanan dalam diam ditemani hujan yang masih turun dan semakin deras. Selesai makan, Ziko langsung memulai pembicaraan.“Nona, bukankah Anda seorang pelukis?”“Aku hanya hobi melukis.”“Perusahaan SKY GROUPS sedang menjalankan proyek perhotelan yang didirikan di lima belas kota di Indonesia. Mereka sedang mencari pelukis untuk proyek baru mereka.”Tapi bohong! Sebenarnya ide ini baru saja terbesit dalam pikiran Ziko saat melihat Phia. Dia ingin mencari alasan agar Phia tidak lepas lagi pencariannya.“Anda siapa?”“Sa
6 CARLOS ANDERSONSementara menunggu pembangun hotel yang masih dalam proses pengerjaan, Ziko telah membeli peralatan lukis yang harus dipesan dari luar negeri. Kuas, cat dan kanvas, semuanya terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas.Lukisan yang akan diletakkan di lobi nanti berukuran dua kali satu meter, dengan bingkai yang terbuat dari emas murni, kacanya pun terbuat dari kaca khusus. Lila, yang mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk satu lukisan saja, rasanya ingin pingsan.Phia mulai menggerakkan tangannya. Tangannya dengan terampil memegang kuas untuk melukis. Hal pertama yang dia buat adalah daun-daun yang berguguran. Entah akan seperti apa lukisannya nanti, dia juga belum tahu. Menurut Lila, Phia itu memiliki bakat melukis yang sangat luar biasa, karena dia dapat dengan mudah menyampaikan idenya begitu saja tanpa ada perencanaan akan lukisannya. Sedangkan bagi Phia, terlalu berpikir hal apa yang ingin dia lukis bisa menghilangkan
7 ARTHUR JULIOMark, anak buah dari Arthur Julio kini juga berada di Jakarta untuk mencari keberadaan Phia. Arthur Julio, pria berusia tujuh puluh tahun, seorang pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan. Dia penggemar perhiasan, bukan untuk dirinya, tapi untuk dihadiahkan kepada istrinya yang kini berusia enam puluh delapan tahun. Arthur Julio dan Ruby Adrian dikenal sebagai pasangan yang sangat romantis dan harmonis meski kini usia keduanya tak muda lagi.Mereka menikah di usia muda. Saat itu Arthur berusia dua puluh satu tahun menikahi Ruby yang berusia sembilan belas tahun. Satu tahun kemudian mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Erlan Arby Julio.“Bagaimana Sayang, apa kamu sudah menemukan petunjuk tentang keberadaan pelukis itu?” tanya Ruby pada Arthur.“Belum, Honey.”Ruby berdecak kesal.“Jangan khawatir, aku pasti akan segera menemukan pelukis itu. Kamu jangan terlalu banyak pikiran.”“Setel
8 PENCARIAN AISARPhia dan Lila ada di pemakaman kakek Alan. Kuburan itu selalu terawat karena Phia membayar seseorang untuk merawatnya. Setelah berdoa dan menceritakan banyak hal pada kakeknya, Phia dan Lila pulang ke rumah.“Nanti malam kita akan dijemput oleh Ziko,” beritahu Phia pada Lila.“Dia di Jakarta juga?”“Iya, katanya nanti sore dia ada meeting mendadak. Setelah itu kita sama-sama ke Banjarmasin.”“Ngomong-ngomong, gimana Phi, kamu mau enggak, ikut pameran itu?”Phia tidak langsung menjawabnya. Yang ada dalam pikirannya dia sudah tahu lukisan apa yang akan dia ikut sertakan dalam pameran itu meskipun lukisan itu belum dia buat dan ada keraguan dalam dirinya.“Phi?”“Hmmm?”“Gimana, ikut ya?”“Aku pikir-pikir dulu deh.”“Jangan kel
9 RENCANA ELPHIA AYURA Malam kian pekat, udara semakin dingin karena hujan yang tak juga berhenti sejak sore tadi. Meskipun begitu, Phia masih saja asyik dengan alat lukisnya. Bukan, dia bukan melukis untuk hotel milik Ziko. Melainkan melukis untuk diikut sertakan dalam pameran lukisan di Paris. Pikirannya terus tertuju pada pameran itu. Bahkan, dia tidak hanya melukis satu lukisan saja, melainkan lima lukisan. Pertengahan tahun depan dia berencana untuk membuka pameran lukisan miliknya sendiri yang dia rencanakan akan diadakan di Sidney. Kalau sudah begini, dia bisa lupa akan hal lain. Jiwanya seperti terserap dalam lukisan-lukisan itu.Sudah satu bulan ini Phia tidak keluar dari apartemennya. Bahkan untuk makan saja dia harus diingatkan oleh Lila. Dia mengerjakan lukisan pribadinya dengan lukisan untuk hotel Ziko secara bergantian, membuat lingkaran hitam di matanya terlihat jelas. “Istirahat dulu dong, Phi.” “Aku tidak bisa t
10 SECRETHari pertama pameranSECRET ...Judul sebuah lukisan yang objeknya sebuah bros yang dipenuhi dengan berlian dan permata. Lagi-lagi, lukisan Ayura menjadi perhatian utama. Itu bukan hanya sekedar lukisan. Bros itu memang ada, hanya saja dinyatakan menghilang karena suatu kejadian yang beritanya masih simpang siur hingga saat ini.Di hari pertama ini, orang-orang dihebohkan dengan kedatangan Carlos Anderson dan Arthur Julio bersama istrinya, Ruby Adrian.Mereka melebarkan matanya, terpana dengan lukisan tersebut lalu saling memandang tanpa mengucapkan apa-apa.Hubungan keluarga Anderson dengan keluarga Julio memang tidak baik. Lebih tepatnya Ruby Adrian yang sangat membenci Carlos Anderson. Carlos Anderson menatap Ruby Adrian dengan tatapan yang mengandung banyak makna. Tatapan tersebut tidak luput dari perhatian Arthur, yang menghela nafas berat.Ruby Anderson terhuyung melihat lukisan itu, untun