"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari.
"Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingin suaminya. "Iya, aku tahu. Makanya aku ajak Mas bicara. Sudah seminggu lebih kita menikah, tapi Mas belum memberiku uang belanja."Gala mendengus sebal. "Uangku nggak banyak, kamu butuh berapa emangnya?""Jumlah pastinya aku juga belum tahu, Mas. Mama bilang aku bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dapur seperti minyak goreng, gas, dan tagihan air minum, serta tagihan WIFI.""Busyet. Banyak banget!""Ya, itu keputusan Mama kamu, Mas. Aku mana bisa membantah."Gala berdecak frustasi. Sejak malam pertama terkutuk itu, Gala sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya lagi. Ia ingin menceraikan Naima, tetapi tak bisa karena terikat perjanjian dengan orang tua wanita itu.Minimal satu tahun, baru dirinya bebas untuk menceraikan Naima. Jika Gala melanggar, maka proses hukum terhadap Gema akan kembali dilanjutkan. Saat ini proses hukum itu berhasil ditangguhkan berkat uang jaminan dari keluarga Naima. Naima tentu saja sama sekali tidak tahu hal ini. Wanita itu hanya tahu dirinya dilamar karena Gala memang menyukainya. Ia sama sekali tidak tahu kalau pernikahan itu di atur oleh keluarganya sendiri.Awalnya Gala sendiri tidak mengerti mengapa keluarga Naima bersedia mengeluarkan uang banyak untuk menikahkan putrinya. Namun, setelah melewati malam pertama itu, ia pun mengerti. Keluarga Naima pasti sudah tahu kalau Naima sudah tak perawan, itu sebabnya mereka bersedia membayar mahal untuk lelaki yang mau menikah dengan putrinya."Mas!"Suara Naima membuyarkan lamunan panjang Gala. Lelaki itu tersentak, kembali berdecak kesal."Mas kenapa malah melamun? Gimana dengan permintaan Mama?""Kamu bawel banget, sih?! Cari akal dong, kerja kek, jualan kek, jangan cuma minta bisanya."Kesabaran Naima mulai habis. "Kamu 'kan suamiku, Mas. Jadi wajar dong aku minta nafkah. Kenapa kamu malah marah-marah?"Gala bangkit sambil berkacak pinggang. "Nafkah kamu bilang? Kamu sendiri sudah menjalankan kewajiban sebagai istri, belum?""Lho! Aku kan selalu ada di kamar ini, kapan pun siap untuk melayani kamu. Tapi kamu sendiri yang menghindar, Mas. Setiap malam kamu pergi, pulang dini hari. Kenapa sekarang kamu malah menyalahkan aku?""Shit!" Emosi Gala terpantik. "Kamu sadar nggak dengan kesalahan kamu? Kamu itu wanita kotor! Mengaku perawan padahal sudah ternoda! Aku bukan pria bodoh yang mau memakai bekas orang. Sampai kapanpun aku tak sudi lagi menyentuh kamu. Kalau bukan karena terikat perjanjian dengan mama kamu, aku sudah akhiri pernikahan ini! Jangan macam-macam kamu, ya!"Gala emosi, tanpa sadar mulutnya pun terlepas mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia antara dirinya dan keluarga Naima. Untung saja saat itu perhatian Naima sedang tertuju pada kalimatnya yang lain, sehingga ia tidak menyadari Gala yang keceplosan."Jadi mau kamu apa, Mas? Aku sudah berulang kali katakan pada kamu, aku bahkan sudah bersumpah, tetapi kamu tetap tidak percaya. Sekarang aku harus bagaimana?" tanya Naima dengan suara bergetar.Ia lelah dengan pertengkaran yang terus terjadi setiap kali mencoba berkomunikasi dengan Gala. Naima yakin, mertua dan saudara ipar lainnya pasti mendengar pertengkaran mereka, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya, seolah mereka sudah tahu kalau hal ini akan terjadi."Terserah kamu. Mengapa bertanya padaku?"Naima mengusap air mata yang meleleh di pipinya. Ia mengangkat kepala, mencoba untuk tetap tegar di hadapan lelaki yang masih berstatus suaminya itu."Mas tidak mau memberiku uang belanja?"Gala mendengus, tetapi ia tetap mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nih! Aku cuma bisa kasih segini. Cukup nggak cukup, kamu cukupi aja!" Dengan kasar Gala melemparkan beberapa lembar uang ke meja rias di samping Naima.Meski tidak suka dengan cara Gala memberikan uang itu, Naima tetap mengambilnya. Bukan perkara dirinya tak mampu, tetapi apa yang Gala berikan adalah hak-nya sebagai istri. Ia tidak akan merasa rendah diri menerima uang itu.Tangan Naima bergetar saat mengetahui jumlah uang yang Gala berikan. Menguatkan hati, Naima mengangkat kepala untuk kembali menatap Gala. "Hanya 600 ribu, Mas? Mas yakin cuma mampu memberiku sebanyak ini untuk sebulan? Bukannya Mas kerja di perusahaan besar? Mas tau nggak? Makan malam tadi aja, tagihannya sampai 500 ribu, lho. Gimana aku menutupinya kalau Mas cuma kasih segini?""Pakai uang kamu dong. Kamu dulu 'kan kerja, pasti ada tabunganlah, nggak mungkin enggak."Naima menghela napas berat. "Tabunganku ada, tapi nggak banyak. Nggak bakal cukup kalau dipakai untuk pengeluaran sehari-hari sebesar ini.""Itu 'kan karena kamu beli di luar. Kalau masak sendiri pasti lebih murah.""Ya, aku tau. Tapi 600 ribu tetap nggak cukup, Mas.""Aku cuma ada segitu. Kamu tidak mau? Ya udah, sini, balikin!"Naima cepat-cepat mengantongi uang itu, sebelum diambil kembali oleh Gala."Kamu tuh seharusnya bersyukur aku masih mau kasih uang. Lain kali jangan coba-coba menantangku lagi. Aku peringatkan sejak sekarang, karena aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman."Usai mengatakan semua yang dia inginkan, Gala berdiri, lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Naima yang masih duduk termenung di depan meja riasnya.'Enam ratus ribu sebulan, sama saja dengan 20 ribu per hari, 'kan? Mana mungkin cukup. Ya, Tuhan. Mengapa semua jadi begitu rumit.' Naima kembali menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya.Terkadang timbul keinginan untuk mengadu pada papanya, mengapa pernikahannya tidak seperti yang ia bayangkan? Tetapi, Naima menahan keinginan itu karena tidak mau dimarahi oleh Asmita, ibunya. Wanita itu pasti akan mengomeli Naima, karena ia menganggap Naima tidak bersyukur.Kalau saja Naima tahu pernikahannya seperti neraka begini, ia tidak akan menerima lamaran Gala waktu itu. Lebih baik menjomblo saja. Dijuluki perawan tua juga tidak masalah. Toh, selama ini meski sering diledek, tetapi dia tetap bahagia dengan kesendiriannya."Maaf, Mas. Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi uang segini memang tidak cukup," ungkap Naima begitu Gala keluar dari kamar mandi."Ya, pandai-pandai kamu mengaturnya lah. Aku cuma bisa kasih segitu."Ketus.Sepertinya sudah menjadi template Gala di depan Naima sekarang. Dan Naima pun sudah tidak memedulikannya lagi. Energinya sudah terkuras habis untuk mengurus pekerjaan rumah, jadi tak ada lagi yang tersisa untuk berdebat. Apa lagi berdebat dengan Gala yang tidak akan memberi celah sedikitpun bagi dirinya untuk menang."Tidak apa. Aku juga tidak akan menuntut lebih," sahut Naima. "Tapi ... tolong izinkan aku untuk berkerja. Seperti yang Mas udah tahu, sebelum menikah aku juga bekerja, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti.""Oh, kerja di toko itu, 'kan?"Naima mengangguk."Emang gajinya berapa sih? Trus ... kalau kamu kerja, yang ngerjain pekerjaan rumah siapa? Aku nggak mau kamu kelelahan, ya. Bukan karena kasihan, tapi aku nggak mau repot ngurusin kamu kalau sakit."Dada Naima kembali nyeri bagai dihantam palu besar. Kata-kata Gala begitu tajam, menusuk ke hatinya. Tidak ada tersirat sedikitpun kasih sayang di suara lelaki yang berstatus suaminya itu."Aku heran sama kamu, Mas.""Heran kenapa?""Sikap kamu, 180 derajat berubah dari sebelum kita menikah. Apakah tidak ada lagi rasa cinta yang tersisa di hatimu untukku?""Setelah kamu terbukti membohongiku? Hahaha. Aku bukan malaikat, Naima.""Mas ....""Jika kamu masih ngotot membicarakan hal ini, lupakan saja semua yang kita bicarakan tadi. Kamu tidak boleh bekerja di luar, sebagai gantinya kamu harus kerjakan semua pekerjaan di rumah ini dengan baik."Gala beranjak, tapi Naima kembali menahan tangannya."Apa lagi sih, Nai?""Aku akan kerjakan semua pekerjaan rumah. Tetapi, please. Tolong izinkan aku bekerja. Kalau tidak bagaimana aku bisa menutupi kekurangan biaya rumah yang dibebankan Mama?""Sekali tidak, tetap tidak. Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!""Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp