Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.
Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri."Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?"Setelah menahan diri selama seminggu, sore itu akhirnya Naima bertanya juga pada Madina, istri dari Gilang, kakak iparnya yang tertua."Eh, kamu udah berani protes, ya. Kamu pikir aku senang-senang aja di rumah ini, gitu? Sebelum kamu jadi menantu di rumah ini, aku udah ngerjain semuanya. Kamu bisa bayangin nggak gimana rempongnya aku waktu itu? Aku kerja, tapi juga harus menyapu, nyuci piring, masak sarapan. Kamu pikir itu mudah? Tapi aku kerjain semuanya tanpa mengeluh. Ini kamu baru satu minggu aja udah protes."Tanpa Naima duga Madina marah besar mendengar pertanyaannya. Ia menjawab pertanyaan Naima dengan suara melengking sehingga menarik perhatian Maisya, istri dari Gema, kakak Gala yang lain."Ada apa sih, Mbak? Kok ribut-ribut?" tanya Maisya dengan suaranya yang tenang. Di bandingkan Madina, Maisya memang lebih pendiam, tetapi urusan pekerjaan rumah dia sama saja cerewetnya dengan Madina."Ini si Naima, Sya. Dia protes kenapa cuma dia yang disuruh kerja di rumah ini padahal kita sama-sama berstatus menantu, katanya. Ya, jelas aku marahlah. Dia nggak tau aja kalau sebelum ada dia, kita yang ngerjain semuanya."Maisya menyilangkan tangan di depan dada sambil mengulas senyum miring pada Naima."Kamu bisa kok lepas dari semua pekerjaan rumah ini, dengan syarat cari ART untuk menggantikan kamu. Tapi, gajinya harus kamu yang bayar, jangan harap aku dan Mbak Madina akan bantuin.""Betul," timpal Madina. "Kita di rumah ini udah punya tanggungan masing-masing. Seharusnya kamu bersyukur karena nggak dibebankan biaya rumah. Sementara aku dan Maisya, harus merogoh kocek dalam tiap bulan."Madina dan Maisya terus mencerocos tanpa memberi Naima kesempatan untuk menyela. Padahal Naima juga ingin memberitahu kalau dirinya juga bekerja, dan harus segera masuk karena masa cutinya sudah habis."Ada apa ini, kenapa pada ngumpul di dapur. Kalian merumpi?" Maya yang baru kembali dari arisan langsung memasang wajah masam melihat para menantunya berkumpul tanpa bekerja, sementara tumpukan piring kotor masih menggunung di wastafel.Maisya spontan menarik tangan Madina untuk menjauh, seraya berkata, "oh, enggak kok, Ma. Kami sedang menjelaskan kewajiban menantu di rumah ini pada Naima. Sepertinya dia masih bingung."Maya mengalihkan pandangannya pada Naima dengan tatapan penuh tanda tanya. "Apanya yang kamu tidak mengerti?"Naima menggigit bibir gelisah, mendadak takut melihat air muka Maya yang berubah. Beberapa hari tinggal bersama membuat Naima mulai paham dengan tabiat ibu mertuanya itu. Orangnya keras dan cukup temperamental. Dia tak segan-segan menggunakan kekerasan jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi."Kok diem? Kamu nggak bisu, 'kan?" Suara Maya mulai meninggi, membuat nyali Naima semakin menciut."Itu, Ma. Tadi Naima tanya kewajiban dia di rumah ini apa saja? Kenapa cuma dibebankan pekerjaan rumah tangga, apa dia nggak ada kewajiban lain seperti biaya dapur, listrik, atau yang lain. Begitu."Madina menjawab sambil tersenyum ke arahnya, membuat Naima spontan mendelik protes. Mana ada dia bertanya seperti itu? Naima geram karena Madina benar-benar licik sampai tega memfitnahnya kali ini.Dan sesuai perkiraan Naima, wajah Maya seketika berubah cerah mendengar perkataan Madina."Kamu serius menanyakan itu?" tanya Maya pada Naima."Hmm ... itu ... anu, Ma. Hmm ... yah, kurang lebih begitulah." Naima pasrah, karena tak sanggup membayangkan murkanya Maya jika tahu dirinya protes tentang pekerjaan rumah."Mama senang kamu memiliki inisiatif, Naima. Itu artinya kamu menantu yang pengertian. Mumpung kamu sudah membahasnya, Mama tidak akan sungkan lagi," ucap Maya seraya menghenyakkan bokong di meja makan. "Mulai besok kamu bertanggung jawab dengan biaya dapur seperti gas, minyak goreng, dan juga tagihan air."Maisya yang selama ini bertanggung jawab penuh di urusan dapur terlihat puas dengan keputusan Maya, tetapi tidak dengan Madina. Wanita itu keberatan karena bebannya sama sekali tidak berkurang."Cuma itu saja, Ma? Naima juga bantu di tagihan listrik dan WIFI rumah dong. Masak aku sendiri, pemakaian kita 'kan bertambah sejak ada dia."Maya melirik Madina sekilas, lalu kembali menatap Naima. "Kamu dengar 'kan apa yang Mbak-mu katakan tadi. Kalau begitu tagihan WIFI jadi tanggung jawab kamu."Madina tersenyum puas, sementara Naima terdiam dengan tatapan tak percaya. Bukan soal biaya yang ia permasalahkan, melain pekerjaan rumah tangga."Kenapa diam? Kamu keberatan?""Oh, nggak kok, Ma. Tapi, soal pekerjaan rumah bagaimana? Apa semua masih aku yang mengerjakan?""Lha, iya dong. Kan cuma kamu yang nggak ngapa-ngapain. Maisya kerja, gitu juga Madina.""Tapi aku juga kerja lho, Ma, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti. Mulai Senin aku harus masuk kerja lagi."Maya berdecak kesal."Kamu itu kerja apa, sih? Mama kamu bilang kamu cuma kerja di toko perabot. Emangnya dapat gaji berapa kerja di sana?"Dada Naima bergemuruh mendengar nada cemooh yang tersirat di dalam pertanyaan Maya. Dirinya memang hanya karyawan toko, tetapi dia berkerja sebagai staf keuangan yang dibayar dengan nominal nyaris dua kali UMR Jakarta. Toko tempatnya berkerja juga bukan toko kecil. Qishan Furniture bahkan sudah menjadi pemasok tetap untuk perumahan-perumahan yang ada di kota itu. Hanya saja dibandingkan dengan pekerjaan Maisya yang karyawan bank, atau Madina yang punya butik, di mata Maya dirinya mungkin hanya bagaikan butiran nasi kering di pinggiran magic com. Hanya remahan yang tak berarti."Gajiku cukuplah, Ma. Memang tidak besar, tapi cukup untuk bantu-bantu biaya rumah tangga," jawab Naima merendah.Maya mendengus kesal. "Kalau cuma cukup untuk makan, gimana kamu mau bayar ART kalau kamu kerja. Udahlah berhenti aja, gaji Gala juga cukup untuk membiayai rumah tangga kalian.""Tapi, Ma ...."BRAK!Tiba-tiba Maya menggebrak meja sambil berdiri. "Udah. Jangan protes lagi. Lakukan tanggung jawab kamu tanpa banyak mengeluh," potong Maya sebelum Naima sempat menyelesaikan kalimatnya. "Udah jam segini tapi kamu belum masak apa pun untuk makan malam. Piring kotor juga masih menumpuk. Untuk malam ini pesan di luar aja., Mama udah laper." Ia pun beranjak. Tepat dua langkah sebelum masuk ke kamar, Maya berhenti lalu menoleh pada Maisya. "Sya, kamu aja yang pesen. Naima belum tau selera kita serumah.""Oke, Ma," sahut Maisya cepat, dengan semangat ia mengeluarkan ponsel, bergegas membuka aplikasi SendFood, lalu memesan makanan untuk mereka semua. "Udah, beres," ucapnya seraya beralih pandangan ke Naima."Kenapa bengong? Mana uangnya?""Hah? Uang apa, Mbak? Tadi Mama bilang 'kan Mbak Maisya yang pesenin.""Lha, iya. Ini kan udah aku pesenin, tapi yang bayar kamu dong. Makan malam ini kacau 'kan gara-gara kamu juga." Maisya melirik Madina yang menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan."Tapi ... tadi Mama juga bilang kalau makan malam tanggung jawab Mbak Madina."Kini giliran Madina yang kesal mendengar jawaban Naima. "Kamu tuh banyakan protesnya, ya. Nggak ngerti bahasa Indonesia atau gimana? Aku cuma bertanggung jawab menyediakan bahan, yang masakin ya kamu. Tapi gara-gara kamu bertingkah, waktu terbuang percuma. Sekarang waktunya makan malam udah tiba, Mas Gilang, Gema, dan Gala juga bentar lagi pulang, sementara makanan belum tersedia. Mereka mau kamu suguhi apa? Angin?"Suara Madina meninggi. Maisya cepat-cepat menarik tangan Madina agar mengendalikan emosinya."Udahlah, Nai. Nggak usah protes lagi, deh. Nurut aja sebelum para lelaki pulang. Aku nggak tanggung jawab ya kalau Mas Gilang sampai marah.""Hmm ... kamu nggak akan bisa menghadapinya kalau dia udah ngamuk," timpal Madina, turut menakut-nakuti Naima.Naima pun menciut. "I-iya deh, Mbak. Berapa semuanya?""Lima ratus ribu.""Hah? 500 ribu?" Meski tumbuh di keluarga yang sangat berkecukupan tetap saja Naima tidak pernah menghabiskan uang sebanyak itu untuk sekali makan. Lama-lama bisa bangkrut dirinya kalau menuruti pola hidup keluarga ini. 'Mereka makan apa, sih? Emas? Atau perak? Kok bisa mahal sekali?' gumam Naima di dalam hati."Iya. Buruan bawa sini uangnya. Itu kurirnya udah mau sampai lho, Nai!""Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari. "Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingi
"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah