Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.
Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri."Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?"Setelah menahan diri selama seminggu, sore itu akhirnya Naima bertanya juga pada Madina, istri dari Gilang, kakak iparnya yang tertua."Eh, kamu udah berani protes, ya. Kamu pikir aku senang-senang aja di rumah ini, gitu? Sebelum kamu jadi menantu di rumah ini, aku udah ngerjain semuanya. Kamu bisa bayangin nggak gimana rempongnya aku waktu itu? Aku kerja, tapi juga harus menyapu, nyuci piring, masak sarapan. Kamu pikir itu mudah? Tapi aku kerjain semuanya tanpa mengeluh. Ini kamu baru satu minggu aja udah protes."Tanpa Naima duga Madina marah besar mendengar pertanyaannya. Ia menjawab pertanyaan Naima dengan suara melengking sehingga menarik perhatian Maisya, istri dari Gema, kakak Gala yang lain."Ada apa sih, Mbak? Kok ribut-ribut?" tanya Maisya dengan suaranya yang tenang. Di bandingkan Madina, Maisya memang lebih pendiam, tetapi urusan pekerjaan rumah dia sama saja cerewetnya dengan Madina."Ini si Naima, Sya. Dia protes kenapa cuma dia yang disuruh kerja di rumah ini padahal kita sama-sama berstatus menantu, katanya. Ya, jelas aku marahlah. Dia nggak tau aja kalau sebelum ada dia, kita yang ngerjain semuanya."Maisya menyilangkan tangan di depan dada sambil mengulas senyum miring pada Naima."Kamu bisa kok lepas dari semua pekerjaan rumah ini, dengan syarat cari ART untuk menggantikan kamu. Tapi, gajinya harus kamu yang bayar, jangan harap aku dan Mbak Madina akan bantuin.""Betul," timpal Madina. "Kita di rumah ini udah punya tanggungan masing-masing. Seharusnya kamu bersyukur karena nggak dibebankan biaya rumah. Sementara aku dan Maisya, harus merogoh kocek dalam tiap bulan."Madina dan Maisya terus mencerocos tanpa memberi Naima kesempatan untuk menyela. Padahal Naima juga ingin memberitahu kalau dirinya juga bekerja, dan harus segera masuk karena masa cutinya sudah habis."Ada apa ini, kenapa pada ngumpul di dapur. Kalian merumpi?" Maya yang baru kembali dari arisan langsung memasang wajah masam melihat para menantunya berkumpul tanpa bekerja, sementara tumpukan piring kotor masih menggunung di wastafel.Maisya spontan menarik tangan Madina untuk menjauh, seraya berkata, "oh, enggak kok, Ma. Kami sedang menjelaskan kewajiban menantu di rumah ini pada Naima. Sepertinya dia masih bingung."Maya mengalihkan pandangannya pada Naima dengan tatapan penuh tanda tanya. "Apanya yang kamu tidak mengerti?"Naima menggigit bibir gelisah, mendadak takut melihat air muka Maya yang berubah. Beberapa hari tinggal bersama membuat Naima mulai paham dengan tabiat ibu mertuanya itu. Orangnya keras dan cukup temperamental. Dia tak segan-segan menggunakan kekerasan jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi."Kok diem? Kamu nggak bisu, 'kan?" Suara Maya mulai meninggi, membuat nyali Naima semakin menciut."Itu, Ma. Tadi Naima tanya kewajiban dia di rumah ini apa saja? Kenapa cuma dibebankan pekerjaan rumah tangga, apa dia nggak ada kewajiban lain seperti biaya dapur, listrik, atau yang lain. Begitu."Madina menjawab sambil tersenyum ke arahnya, membuat Naima spontan mendelik protes. Mana ada dia bertanya seperti itu? Naima geram karena Madina benar-benar licik sampai tega memfitnahnya kali ini.Dan sesuai perkiraan Naima, wajah Maya seketika berubah cerah mendengar perkataan Madina."Kamu serius menanyakan itu?" tanya Maya pada Naima."Hmm ... itu ... anu, Ma. Hmm ... yah, kurang lebih begitulah." Naima pasrah, karena tak sanggup membayangkan murkanya Maya jika tahu dirinya protes tentang pekerjaan rumah."Mama senang kamu memiliki inisiatif, Naima. Itu artinya kamu menantu yang pengertian. Mumpung kamu sudah membahasnya, Mama tidak akan sungkan lagi," ucap Maya seraya menghenyakkan bokong di meja makan. "Mulai besok kamu bertanggung jawab dengan biaya dapur seperti gas, minyak goreng, dan juga tagihan air."Maisya yang selama ini bertanggung jawab penuh di urusan dapur terlihat puas dengan keputusan Maya, tetapi tidak dengan Madina. Wanita itu keberatan karena bebannya sama sekali tidak berkurang."Cuma itu saja, Ma? Naima juga bantu di tagihan listrik dan WIFI rumah dong. Masak aku sendiri, pemakaian kita 'kan bertambah sejak ada dia."Maya melirik Madina sekilas, lalu kembali menatap Naima. "Kamu dengar 'kan apa yang Mbak-mu katakan tadi. Kalau begitu tagihan WIFI jadi tanggung jawab kamu."Madina tersenyum puas, sementara Naima terdiam dengan tatapan tak percaya. Bukan soal biaya yang ia permasalahkan, melain pekerjaan rumah tangga."Kenapa diam? Kamu keberatan?""Oh, nggak kok, Ma. Tapi, soal pekerjaan rumah bagaimana? Apa semua masih aku yang mengerjakan?""Lha, iya dong. Kan cuma kamu yang nggak ngapa-ngapain. Maisya kerja, gitu juga Madina.""Tapi aku juga kerja lho, Ma, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti. Mulai Senin aku harus masuk kerja lagi."Maya berdecak kesal."Kamu itu kerja apa, sih? Mama kamu bilang kamu cuma kerja di toko perabot. Emangnya dapat gaji berapa kerja di sana?"Dada Naima bergemuruh mendengar nada cemooh yang tersirat di dalam pertanyaan Maya. Dirinya memang hanya karyawan toko, tetapi dia berkerja sebagai staf keuangan yang dibayar dengan nominal nyaris dua kali UMR Jakarta. Toko tempatnya berkerja juga bukan toko kecil. Qishan Furniture bahkan sudah menjadi pemasok tetap untuk perumahan-perumahan yang ada di kota itu. Hanya saja dibandingkan dengan pekerjaan Maisya yang karyawan bank, atau Madina yang punya butik, di mata Maya dirinya mungkin hanya bagaikan butiran nasi kering di pinggiran magic com. Hanya remahan yang tak berarti."Gajiku cukuplah, Ma. Memang tidak besar, tapi cukup untuk bantu-bantu biaya rumah tangga," jawab Naima merendah.Maya mendengus kesal. "Kalau cuma cukup untuk makan, gimana kamu mau bayar ART kalau kamu kerja. Udahlah berhenti aja, gaji Gala juga cukup untuk membiayai rumah tangga kalian.""Tapi, Ma ...."BRAK!Tiba-tiba Maya menggebrak meja sambil berdiri. "Udah. Jangan protes lagi. Lakukan tanggung jawab kamu tanpa banyak mengeluh," potong Maya sebelum Naima sempat menyelesaikan kalimatnya. "Udah jam segini tapi kamu belum masak apa pun untuk makan malam. Piring kotor juga masih menumpuk. Untuk malam ini pesan di luar aja., Mama udah laper." Ia pun beranjak. Tepat dua langkah sebelum masuk ke kamar, Maya berhenti lalu menoleh pada Maisya. "Sya, kamu aja yang pesen. Naima belum tau selera kita serumah.""Oke, Ma," sahut Maisya cepat, dengan semangat ia mengeluarkan ponsel, bergegas membuka aplikasi SendFood, lalu memesan makanan untuk mereka semua. "Udah, beres," ucapnya seraya beralih pandangan ke Naima."Kenapa bengong? Mana uangnya?""Hah? Uang apa, Mbak? Tadi Mama bilang 'kan Mbak Maisya yang pesenin.""Lha, iya. Ini kan udah aku pesenin, tapi yang bayar kamu dong. Makan malam ini kacau 'kan gara-gara kamu juga." Maisya melirik Madina yang menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan."Tapi ... tadi Mama juga bilang kalau makan malam tanggung jawab Mbak Madina."Kini giliran Madina yang kesal mendengar jawaban Naima. "Kamu tuh banyakan protesnya, ya. Nggak ngerti bahasa Indonesia atau gimana? Aku cuma bertanggung jawab menyediakan bahan, yang masakin ya kamu. Tapi gara-gara kamu bertingkah, waktu terbuang percuma. Sekarang waktunya makan malam udah tiba, Mas Gilang, Gema, dan Gala juga bentar lagi pulang, sementara makanan belum tersedia. Mereka mau kamu suguhi apa? Angin?"Suara Madina meninggi. Maisya cepat-cepat menarik tangan Madina agar mengendalikan emosinya."Udahlah, Nai. Nggak usah protes lagi, deh. Nurut aja sebelum para lelaki pulang. Aku nggak tanggung jawab ya kalau Mas Gilang sampai marah.""Hmm ... kamu nggak akan bisa menghadapinya kalau dia udah ngamuk," timpal Madina, turut menakut-nakuti Naima.Naima pun menciut. "I-iya deh, Mbak. Berapa semuanya?""Lima ratus ribu.""Hah? 500 ribu?" Meski tumbuh di keluarga yang sangat berkecukupan tetap saja Naima tidak pernah menghabiskan uang sebanyak itu untuk sekali makan. Lama-lama bisa bangkrut dirinya kalau menuruti pola hidup keluarga ini. 'Mereka makan apa, sih? Emas? Atau perak? Kok bisa mahal sekali?' gumam Naima di dalam hati."Iya. Buruan bawa sini uangnya. Itu kurirnya udah mau sampai lho, Nai!""Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari. "Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingi
"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan
Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertaut. Gala yang berkabut gairah beradu tatap dengan mata sayu Naima yang baru tidur. "Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apakah masih boleh menginginkan tubuhmu?" Gala mengumpat di dalam hati, jelas kalimat itu tidak berasal dari akal sehatnya melainkan didorong oleh nafsu yang mulai menyelimuti pikirannya."Terlepas dari semua yang terjadi, aku masih istrimu yang sah, Mas."Tidak perlu banyak kata untuk memvalidasi jawaban Naima, menuruti nafsu paling primitif di tubuhnya Gala pun mengakuisisi haknya malam itu. Bagai musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir, Gala mengalami pelepasan berkali-kali malam itu. Tubuh Naima yang tak pernah lagi ia jamah sejak malam pertama seolah menjadi candu baru baginya. Gairahnya dengan mudah tersulut meski sudah mengalami pelepasan yang dahsyat."Oh, Naiiiii. Kenapa bisa senikmat iniiii," racau Gala yang kembali berada di puncak kenikmatan.Seluruh aliran darahnya seolah terkumpul di satu titik,
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini