Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp
Pria itu kaget spontan menoleh ke belakang ke arah Naima. "Mama kenal wanita ini?""Bukan kenal lagi, Sena. Dia sudah Mama anggap putri sendiri. Masak kamu nggak ingat, dia Naima, kasir di Qishan Furniture," jawab wanita paruh baya yang ternyata adalah Maharani, pemilik toko tempat Naima berkerja.Pria bernama Sena itu menatap Naima dari kaca tengah lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku sudah lama nggak mampir ke toko Mama, jadi mana mungkin ingat."Maharani mengangguk. "Ya, sudah. Buruan nyetirnya, Mama khawatir dia kenapa-napa, mana wajahnya pucat gitu," ujar Maharani cemas. "Perasaan dia baru nikah, deh. Tapi penampilannya kenapa kayak gembel begini?" Maharani bergumam dengan mata yang tak lepas memandangi Naima.Mereka sampai di rumah sakit, Sena kembali membopong Naima, langsung membawanya ke IGD."Pasien mengalami dehidrasi cukup parah ini, Pak. Sepertinya dia juga belum makan. Saya rasa itu yang membuatnya pingsan," jelas dokter yang memeriksa Naima."Jadi bukan karena benturan d
Naima memegangi pipinya yang panas karena tamparan Gala. "Dasar perempuan murahan!"PLAK!Tamparan Gala kembali mendarat untuk yang kedua kalinya."Stop, Mas! Stop!" teriak Naima yang kali ini menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Cukup pipinya ditampar dua kali, Naima tidak ingin dijadikan samsak hidup begitu saja oleh Gala."Tidak ada stop-stop! Kamu memang layak dihukum karena beraninya pergi dari rumah seharian tanpa izin suami, lalu pulang dengan laki-laki lain."Gala masih meradang. Dengan kasar ia menarik Naima masuk ke dalam rumah di mana Maya dan anggota keluarga lainnya duduk menunggu di ruang keluarga."Ini menantu Mama sudah pulang. Silakan Mama hukum dia agar besok tidak mengulangi lagi perbuatannya," kata Gala.Maya yang tadi duduk bersilang tangan bergegas berdiri lalu menjambak rambut Naima."Ke mana saja kamu seharian ini, heh? Lihat! Rumah tidak disapu, makan siang, makan malam tidak dimasak. Tumpukan piring kotor segunung. Apa saja yang kamu lakukan di luar sana,
Gala tampak terkejut. Beberapa saat mulutnya terbuka tanpa suara. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku akan mengetahui rahasia itu. Jujur Naima sangat menikmati momen ini. Sayangnya, ia tidak bisa berlama-lama menikmati ekspresi kaget Gala karena beberapa saat kemudian ia justru mendengar suara bentakan Maya."Heh, bicara apa kamu, Naima?"Naima memutar tubuhnya dengan tatapan dingin ke arah Maya. "Apa kata-kataku salah? Kalian menerima uang 'kan dari keluargaku? Gala menikahiku bukan karena suka, tetapi karena dia dibayar. Mengaku saja, tidak perlu ditutupi lagi!""Jangan keterlaluan kamu, Naima! Kamu pikir aku laki-laki seperti apa? Kamu meragukan ketulusanku saat melamarmu? Astaga, ternyata selain pembohong kamu juga nggak tau diri, ya. Sudah dinikahi, malah menuduh suami yang bukan-bukan. Kamu menghinaku, Nai!""Aku tidak pernah menghina kamu, Mas. Justru kamu yang setiap saat menghinaku. Apa aku pernah membalas penghinaanmu? Tidak, 'kan? Aku berusaha untuk tetap berpikir positif
"Pa!" sahut Naima dengan tatapan terluka. "Papa juga tidak percaya kalau aku masih suci?" Naima berharap kedua orang tua angkatnya itu bisa membela harga dirinya yang sedang diinjak-injak oleh suami dan keluarganya.Alih-alih bersimpati Mahesa justru mendengus kesal. "Bagaimana Papa bisa percaya kalau suamimu sendiri tidak percaya? Gala itu lelaki dewasa, Nai. Bukan anak SD yang bisa kamu bohongi. Dia pasti tahu setelah malam pertama kalian." Mahesa mengusap wajahnya sambil mendesah kecewa. "Benar-benar memalukan. Teganya kamu mencoreng arang ke wajah kami, Nai!"Naima semakin terluka. Bahkan Mahesa pun sudah tidak mempercayainya lagi, padahal lelaki itu yang paling mengerti bagaimana karakter Naima selama ini. Jangankan berhubungan intim dengan laki-laki, pacaran pun Naima tidak pernah. Gala adalah lelaki pertama yang Naima percaya untuk memiliki hati dan tubuhnya, tetapi justru hinaan yang ia terima."Kamu pikir mau sampai kapan merahasiakan keadaan kamu itu?" sela Asmita. "Benar ya
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema