Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Halo, Perawan Tua!"Naima terus berjalan tanpa menggubris panggilan yang memancing emosi itu. Baginya panggilan itu seperti sudah menjadi identitas baru sejak usianya menginjak angka tiga puluh, dan dirinya masih berstatus jomblo. Dengan ekspresi datar, Naima duduk di balik meja kerjanya, siap menyambut kedatangan pelanggan yang ingin bertransaksi."Silakan, Pak Gala. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Naima dengan sikap profesional. Meski pria itu baru saja menyapanya dengan sangat tidak sopan, tetapi Naima tetap mempersilakan Gala duduk di kursi kosong yang ada di depannya.Pria yang dipanggil Gala itu mendekat, lalu menyerahkan satu bundel kertas berwarna pink ke hadapan Naima."Betah banget jadi perawan tua. Nggak ada niat untuk nikah, Bu Naima?" Kali ini suara Gala terdengar sopan, tetapi kata-katanya tetap saja terdengar tak nyaman."Maaf, Pak Gala. Bisa berhenti membahas masalah pribadi? Saya rasa, saya mau nikah atau tidak, itu bukan urusan Bapak." Naima menjawab tegas, tetapi
Satu bulan kemudian.Senyum tak henti-hentinya mengembang, menghiasai wajah Naima yang cantik. Bagaimana tidak, akhirnya ia bisa melepas predikat perawan tua di usia tiga puluh tiga tahun karena saat ini dirinya sudah dipersunting oleh Gala Diandra, seorang pria berparas tampan yang usianya terpaut lima tahun lebih muda. Naima sungguh tak menyangka, di saat dirinya mulai putus asa karena tak jua memiliki pacar, keluarga Gala justru datang untuk melamarnya. Gala yang sudah ia kenal cukup lama bersikap sangat manis hari itu. Menurut pengakuan Gala, selama ini selalu meledek Naima setiap bertemu adalah karena dirinya menyukai Naima. Namun, sikap dingin dan acuh Naima membuatnya ragu untuk mengungkapkan isi hati."Untung saja ibu kita saling kenal, Nai. Makanya aku jadi lebih mudah mendapatkan informasi tentang kamu. Aku harap kamu bersedia memberiku kesempatan untuk menyayangi kamu," ucap Gala di hari lamaran itu.Sikap Gala yang manis, membuat Naima seketika jatuh cinta pada pria berb
Naima semakin bingung mendengar pertanyaan Gala. Bagaimana bisa lelaki itu menuduh dirinya tidak perawan sementara Gala-lah pria pertama di dalam hidupnya. "Jaga kata-kata kamu, Mas! Kamu adalah pria pertama yang menyentuhku, bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu?" Jelas Naima tidak terima tuduhan Gala begitu saja.Gala mendengus serta menyeringai miring."Aku berkata sesuai bukti, Nai. Lihat! Tidak ada setetes pun noda darah di seprai putih ini. Kamu masih mau menyangkal?""Demi Tuhan, Mas. Aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun. Kamu adalah yang pertama. Tolong percaya padaku."Gala menggeleng dengan kuat. "Tidak, Nai. Sorry. Aku tidak percaya karena buktinya tidak sesuai dengan perkataanmu. Siapa pria itu? Apakah orang tuamu tahu? Kalau iya, aku akan menuntut kalian semua, Nai. Ini penipuan namanya, aku tidak terima."Dengan langkah tergesa, Gala memungut pakaiannya dari lantai, lalu mengenakannya dengan cepat."Mas, tunggu. Kamu mau ke mana?" cegah Naima. Mengabaikan
Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri."Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?" Setelah menahan diri selama seminggu, sore
"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari. "Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingi
"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia