Satu bulan kemudian.
Senyum tak henti-hentinya mengembang, menghiasai wajah Naima yang cantik. Bagaimana tidak, akhirnya ia bisa melepas predikat perawan tua di usia tiga puluh tiga tahun karena saat ini dirinya sudah dipersunting oleh Gala Diandra, seorang pria berparas tampan yang usianya terpaut lima tahun lebih muda.Naima sungguh tak menyangka, di saat dirinya mulai putus asa karena tak jua memiliki pacar, keluarga Gala justru datang untuk melamarnya.Gala yang sudah ia kenal cukup lama bersikap sangat manis hari itu. Menurut pengakuan Gala, selama ini selalu meledek Naima setiap bertemu adalah karena dirinya menyukai Naima. Namun, sikap dingin dan acuh Naima membuatnya ragu untuk mengungkapkan isi hati."Untung saja ibu kita saling kenal, Nai. Makanya aku jadi lebih mudah mendapatkan informasi tentang kamu. Aku harap kamu bersedia memberiku kesempatan untuk menyayangi kamu," ucap Gala di hari lamaran itu.Sikap Gala yang manis, membuat Naima seketika jatuh cinta pada pria berbadan tegap dan juga memiliki senyum yang sangat menawan."Tapi ... usiaku lebih tua lima tahun," jawab Naima. Ia khawatir, Gala dan keluarganya belum tahu hal itu mengingat postur tubuhnya yang cukup mungil dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggi semampai."Usia hanya angka, Nai. Di mataku kamu nggak kalah cantik dari gadis-gadis dua puluhan tahun di luar sana. Dikatain anak SMA juga masih bisa, kok!" sahut Gala masih dengan senyum menawan yang membuat Naima semakin terpesona.Naima melambung bahagia. Ya, siapa yang tidak akan bahagia mendapat pujian dari pria setampan Gala. Ia bahkan bisa melihat tatapan iri dari Ayara dan Dayana—kakak dan adiknya— yang sudah duluan menikah. 'Mungkin ini adalah buah kesabaranku selama ini. Tuhan memberiku jodoh yang jauh lebih baik dari suami Yara dan Yana,' gumam Naima di dalam hati.Keyakinan yang terpancar di mata Gala membuat Naima tak berpikir panjang lagi dalam membuat keputusan. Dengan wajah tersipu malu, Naima mengangguk, menerima lamaran Gala dan keluarganya.Satu bulan setelah prosesi lamaran itu, sekarang di sinilah dia berada. Di rumah Gala, tepatnya di kamar pengantin yang berhiaskan ornamen berwarna putih berpadu silver. Sederhana, tapi elegan. Putih adalah warna kesukaan Naima. Naima senang sekali karena Gala mempersiapkan kamar yang indah itu sebagai tempat malam pertama mereka nanti.Naima masih memandang takjub ke seluruh isi kamar. Senyumnya semakin melebar saat melihat taburan kelopak bunga mawar membentuk hati di tengah-tengah ranjang, dengan inisial nama Naima dan Gala di kiri dan kanannya."Kamu pasti lelah. Istirahatlah," kata Gala seraya melepaskan jas yang tadi ia kenakan saat resepsi. Tubuh tegap itu sekarang hanya ditutupi kaos oblong ketat yang membungkus otot-ototnya dengan sempurna."Mas mau ke mana?" tanya Naima yang heran melihat Gala berjalan menuju pintu."Teman-temanku masih banyak di luar, ada yang dari luar kota juga, jadi aku mau temui mereka dulu. Kamu kalau ngantuk tidur aja duluan."Gala melanjutkan langkahnya tanpa menunggu tanggapan Naima. Lelaki bertubuh tegap itu menghilang di balik pintu yang kembali tertutup, meninggalkan Naima yang terpaku di tempatnya berdiri dengan tatapan bingung.'Bukankah malam ini malam pertama kami? Kenapa Mas Gala terkesan tidak peduli?' batin Naima sendu.'Tadi Gala 'kan sudah bilang kalau dia mau berbincang dulu dengan teman-temannya. Kamu nggak usah parno, Nai!' sanggah sisi hatinya yang didominasi oleh logika.Hati dan pikiran Naima beradu pendapat. Naima memilih untuk mengabaikan hatinya yang beperan, memilih untuk mengikuti nasihat pikirannya yang lebih rasional."Mending aku mandi aja. Biar badan seger, pikiran juga ikut seger."Naima masuk ke kamar mandi, keluar sekitar dua puluh menit kemudian dengan penampilan yang jauh lebih segar. Rasa kecewa sempat merambat di hatinya ketika mendapati kamar itu kosong tanpa ada Gala yang menunggunya.'Mas Gala masih sama teman-temannya, ya? Udah mau tengah malam kok belum kembali juga?'Naima mulai gelisah. Keinginan untuk menelepon Gala muncul saat ia melihat ponsel yang terletak di atas nakas. Namun, ia juga ragu. Bagaimana kalau Gala marah? Dari yang Naima baca di artikel-artikel, sebagian besar pria tidak suka ditelepon saat sedang bersama teman-temannya.'Jangan cari perkara, Nai. Tadi Gala 'kan sudah suruh kamu tidur duluan kalau ngantuk.' Logikanya kembali mengingatkan.Naima menghela napas panjang. Setelah berpakaian, ia lanjut membersihkan sisa-sisa makeup riasan pengantin yang ternyata masih menempel di beberapa bagian wajah. Sabun muka memang tidak cukup untuk membersihkan makeup berat. Butuh pembersihan tingkat lanjut menggunakan produk skincare lainnya agar sisa makeup tidak menyumbat pori-pori wajah yang berpotensi memicu tumbuhnya jerawat.Setelah wajahnya benar-benar bersih, Naima duduk bersandar di kepala ranjang, berharap Gala segera kembali. Sebagai istri yang baik, Naima sudah mempersiapkan diri untuk memberi pelayanan terbaik untuk suaminya itu.Namun, tunggu punya tunggu, satu jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda Gala akan kembali. Sementara rasa kantuk mendera Naima dengan hebatnya. Posisinya yang tadi bersandar, kini sudah berbaring penuh. Tak sanggup lagi melawan rasa kantuknya, Naima akhirnya pun terlelap.Tidak jelas berapa lama ia terlelap, tidur Naima akhirnya terusik saat merasa dingin di area pahanya yang—seingatnya—terbungkus celana piyama. Naima membuka mata, sedikit kaget saat melihat bayangan seseorang di dekatnya."Mas Gala?" panggil Naima saat mengenali sosok pria yang sedang membelai kakinya yang jenjang. Meski lampu kamar sudah dimatikan, tetapi lewat pencahayaan lampu tidur yang temaram, Naima tetap bisa mengenali sosok pria yang sedang mencumbunya itu."Hmm ... kamu wangi, Nai," gumam Gala tanpa menghentikan aksinya. Tangannya semakin aktif setelah tahu Naima terjaga.Naima mulai terbuai, tapi ... hidungnya menangkap aroma tertentu."Bau apa ini. Kok ... seperti bau alkohol?" Naima spontan mengelak ketika bibir Gala berusaha meraih bibirnya. Tanpa sadar ia mendorong tubuh Gala menjauh. "Kamu habis minum, Mas?"Hidung Naima cukup sensitif dengan aroma, meski ia belum pernah mencium aroma alkohol, tetapi informasi yang ia baca di artikel-artikel sudah cukup membuatnya memiliki pengetahuan dasar akan hal itu."Sedikit. Cuma bir aja, kok," jawab Gala santai. Ia kembali melanjutkan aksinya yang tertunda.Dari area paha, kini Gala menindih tubuh Naima, langsung melabuhkan ciuman di bibir sang istri yang baru ia nikahi beberapa jam yang lalu. Naima tak suka karena Gala beraroma alkohol, tetapi ia juga tak mampu menolak ciuman Gala yang memabukkan. Itu merupakan ciuman bibir pertama Naima. Gala adalah pria pertama yang menciumnya, dan pastinya juga menjadi pria pertama yang akan merasakan tubuhnya.Alih-alih protes, hal selanjutnya yang bisa Naima lakukan hanyalah mendesah saat Gala mencumbu titik-titik sensitif di tubuhnya."Tubuh kamu bagus, Nai. Nggak terlihat sama sekali kalau kamu sudah tiga puluh tahun lebih. Aku suka."Naima yakin wajahnya sudah memerah saat ini. Di bawah tatapan nanar mata Gala yang memindai tubuhnya yang polos, Naima benar-benar merasa malu."Jangan diliatin gitu dong, Mas. Aku malu," ucap Naima sambil menggigit bibir."Sama suami sendiri kok malu? Ini baru aku liatin, lho. Gimana kalau aku giniin?""Aaah ...." Desahan itu spontan meluncur dari mulut Naima ketika jari Gala membelai inti tubuhnya yang lembab. Seprai putih yang mereka tiduri pun menjadi sasaran remasan tangan Naima ketika jari Gala bergerak keluar masuk di celah sempit miliknya."Kamu sempit, Nai," ujar Gala yang susah payah mengendalikan hasratnya yang mulai memburu. Jarinya saja sulit menembus celah itu, bagaimana dengan miliknya yang berukuran lebih dari lima kali lipat?Tak tahan dengan desahan Naima yang sangat menggoda, Gala pun memposisikan dirinya di depan kedua kaki Naima yang terbuka, bersiap untuk penyatuan mereka.Lenguh kesakitan Naima mengudara saat Gala menembus liang cinta miliknya setelah beberapa kali gagal. Air mata merembes dari sudut matanya menahan rasa sakit akibat penyatuan mereka.Namun, Gala yang sedang berada di puncak gairah sama sekali tidak memedulikan semua itu karena ia sibuk mengejar gelombang rasa yang terus menerpa. Ia justru semakin bersemangat memompa miliknya, bergerak dengan irama tertentu menuju puncak kenikmatan yang telah terbayang di pelupuk mata. Dan ... momen yang dinanti pun tiba. Setelah beberapa hentakan dalam, tubuhnya menegang diiringi lenguhan panjang.Untuk beberapa saat Gala terkulai di atas tubuh Naima, sementara Naima mengusap air mata yang merembes di sudut mata. Tubuhnya terasa remuk. Gala benar-benar tak memberi jeda sedikit pun untuk Naima menyesuaikan diri, padahal ia belum sepenuhnya siap saat Gala memasukinya tadi."Mau ngapain, Mas?" Sambil meringis menahan perih di inti tubuhnya, Naima bertanya. Ia heran karena Gala dengan gerakan sangat cepat tiba-tiba turun dari tempat tidur."Menyalakan lampu," jawab Gala cepat.Kening Naima semakin berkerut. "Untuk apa?""Untuk melihat jejak perjuanganku," sahut Gala sambil berjalan ke arah ranjang, lalu membuka kedua kaki Naima lebar-lebar."Mas!" pekik Naima kaget. Bagian inti tubuhnya yang sakit, semakin perih karena Gala melebarkan kedua kakinya begitu saja."Lho! Mana? Kok nggak ada?" tanya Gala dengan wajah tegang. Ia memiringkan pinggul Naima ke kiri dan ke kanan, bahkan mengintip ke dalam kewanitaan Naima. Hal itu tentu saja membuat Naima risih dan juga malu."Kamu ngapain sih? Apanya yang nggak ada?" Naima balik bertanya karena heran, tak mengerti maksud pertanyaan Gala."Darah perawan kamu-lah? Kok kamu tidak berdarah? Kamu sudah tak perawan, ya? Siapa yang sudah mendahuluiku?"Naima semakin bingung mendengar pertanyaan Gala. Bagaimana bisa lelaki itu menuduh dirinya tidak perawan sementara Gala-lah pria pertama di dalam hidupnya. "Jaga kata-kata kamu, Mas! Kamu adalah pria pertama yang menyentuhku, bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu?" Jelas Naima tidak terima tuduhan Gala begitu saja.Gala mendengus serta menyeringai miring."Aku berkata sesuai bukti, Nai. Lihat! Tidak ada setetes pun noda darah di seprai putih ini. Kamu masih mau menyangkal?""Demi Tuhan, Mas. Aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun. Kamu adalah yang pertama. Tolong percaya padaku."Gala menggeleng dengan kuat. "Tidak, Nai. Sorry. Aku tidak percaya karena buktinya tidak sesuai dengan perkataanmu. Siapa pria itu? Apakah orang tuamu tahu? Kalau iya, aku akan menuntut kalian semua, Nai. Ini penipuan namanya, aku tidak terima."Dengan langkah tergesa, Gala memungut pakaiannya dari lantai, lalu mengenakannya dengan cepat."Mas, tunggu. Kamu mau ke mana?" cegah Naima. Mengabaikan
Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri."Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?" Setelah menahan diri selama seminggu, sore
"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari. "Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingi
"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan
Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertaut. Gala yang berkabut gairah beradu tatap dengan mata sayu Naima yang baru tidur. "Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apakah masih boleh menginginkan tubuhmu?" Gala mengumpat di dalam hati, jelas kalimat itu tidak berasal dari akal sehatnya melainkan didorong oleh nafsu yang mulai menyelimuti pikirannya."Terlepas dari semua yang terjadi, aku masih istrimu yang sah, Mas."Tidak perlu banyak kata untuk memvalidasi jawaban Naima, menuruti nafsu paling primitif di tubuhnya Gala pun mengakuisisi haknya malam itu. Bagai musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir, Gala mengalami pelepasan berkali-kali malam itu. Tubuh Naima yang tak pernah lagi ia jamah sejak malam pertama seolah menjadi candu baru baginya. Gairahnya dengan mudah tersulut meski sudah mengalami pelepasan yang dahsyat."Oh, Naiiiii. Kenapa bisa senikmat iniiii," racau Gala yang kembali berada di puncak kenikmatan.Seluruh aliran darahnya seolah terkumpul di satu titik,
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini