"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.
Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi.'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Naima masih berpikiran positif bahwa Gala hanya salah paham dan butuh waktu untuk memahami keadaannya.Hari berlalu dengan cepat. Meski terasa berat, Naima terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya karena Gala tidak mengizinkannya bekerja. Padahal atasannya beberapa kali menelepon, memastikan keputusan yang Naima buat. Bukan hanya dirinya, mereka juga pasti menyayangkan keputusan Naima berhenti karena sudah bertahun-tahun dia bekerja di toko itu. Namun, Naima bisa apa selain menuruti Gala saat ini?"Naima! Air mandi buatku mana?" Teriakan Maisya membuyarkan lamunan panjang Naima pagi itu. Tanpa banyak kata, Naima berlari ke sumur belakang, menimba air untuk Maisya, lalu mengantarkannya ke kamar mandi wanita tersebut.Dia tak mengerti dengan jalan pikiran orang-orang di rumah itu. Tidak ada satu pun yang mau mengeluarkan uang untuk membiayai perbaikan pompa air. Entah mereka sengaja, atau memang tidak ada uang. Naima tak tahu alasannya. Yang pasti hingga hari ini tidak ada tukang reparasi yang datang untuk memperbaiki pompa air mereka. Akan tetapi, Naima tidak mau diperbudak terus-menerus, jadi ia sudah memiliki rencana akan memanggil tukang reparasi siang ini."Nai, sarapan belum siap? Buruan dong, aku mau berangkat nih." Kali ini Madina yang merengek di dapur. Naima yang masih di belakang ingin menjawab kalau sarapan sudah ia siapkan, tetapi suara Gilang lebih dulu terdengar."Naima lagi nimba air mandi buat Maisya di sumur belakang, Dina. Kenapa kamu nggak buat sendiri aja sarapannya? Cuma bikin roti bakar masa' kamu nggak bisa?" Gilang yang sudah siap dengan seragam guru bergabung dengan istrinya di dapur.Madina berdecak dengan muka masam. "Aku udah pakai baju kerja, Mas. Nggak mungkinlah kotor-kotoran lagi di dapur. Lagi pula memang sudah jadi tugas Naima menyiapkan sarapan untuk kita serumah," sahut Madina dengan mata mendelik kesal.Kening Gilang berkerut. "Sejak kapan ada aturan begitu? Biasanya juga kalian bikin sendiri sarapan masing-masing. Kenapa sekarang semua dibebankan pada Naima? Ingat ya, Dina. Naima itu juga menantu di rumah ini, sama dengan kamu dan Maisya, jadi kalian nggak pantas memperlakukan dia seperti babu."Tanpa memedulikan tatapan protes istrinya, Gilang mengambil beberapa potong roti, lalu mulai memanggangnya menggunakan sandwich toaster. Hal itu membuat Madina semakin meradang."Mas kok belain Naima sih? Emangnya itu aturan aku yang buat? Enggak ya. Mama sendiri yang nentuin tugas menantunya di rumah ini. Karena aku dan Maisya kerja di luar, otomatis kerjaan rumah ya dihandle Naima semua. Aku dan Maisya kebagian bayar-bayarnya." Madina membela diri karena tidak mau disalahkan oleh Gilang."Serius itu aturan Mama yang buat? Bukannya akal-akalan kalian berdua?" Gilang bertanya dengan tatapan curiga.Setelah cukup lama tinggal serumah, Gilang jadi hapal karakter Madina dan Maisya. Keduanya termasuk pemalas untuk urusan pekerjaan rumah. Sebelum ada Naima, Madina dan Maisya cukup sering bertengkar. Karena tidak ada yang mau mengalah, mereka akhirnya sepakat membayar ART untuk menggantikan tugas mereka berdua. Gilang tidak tahu sejak kapan ART itu dipecat, mungkin setelah Gala menikah dengan Naima, atau sebelum itu? Dia tidak memperhatikan hal itu."Jangan asal tuduh ya, Mas. Itu beneran keputusan Mama kamu, kok. Mas tanya sendiri sama Naima kalau tidak percaya." Kesal dengan kecurigaan suaminya, Madina pun beranjak kembali ke kamar, bertepatan dengan kembalinya Naima ke dapur."Lho, Mbak Madina nggak jadi sarapan? Ini sarapannya hampir siap.""Nggak jadi! Kamu makan aja sendiri."Madina merajuk, tapi Naima tentu saja tidak tahu hal itu. Setelah menyapa Gilang, Naima menarik kursi, lalu dengan polosnya Naima pun memakan sandwich bagian Madina yang ditinggalkannya.Namun, baru saja beberapa gigitan tiba-tiba Madina kembali. Ia langsung mencak-mencak saat melihat sandwich jatahnya dimakan oleh Naima."Kenapa kamu makan bagianku? Kamu punya 'kan ada? Jangan rakus ya jadi orang!"Naima yang sedang makan seketika tersedak karena kata-kata Madina. Hal itu membuat Gilang pun bergerak cepat menyodorkan minum pada adik iparnya itu."Dina! Kamu ini apa-apaan sih? Perkara sandwich aja dibesar-besarkan. Buat lagi kan bisa!" Dengan raut kesal, Gilang membentak Madina. Ia tidak suka dengan sikap istri yang semena-mena. Apa lagi dia sudah melihat Naima yang berkerja berat sejak pagi."Mas kok belain Naima aja sejak tadi? Aku istri kamu, Mas. Seharusnya kamu belain aku dong. Aku ini udah menahan lapar sejak tadi. Tapi dia enak-enakan makan bagianku."Gilang menggertak rahangnya menahan kesal. "Aku bukan asal membela, tetapi sikap kamu yang berlebihan. Tadi 'kan kamu sendiri yang bilang nggak mau makan, bahkan suruh Naima makan semua sendiri. Giliran Naima beneran makan kenapa kamu marah?"Madina menghentakkan kaki karena gusar. "Aku 'kan nggak serius bilangnya! Mas juga bukannya masukin ke kotak bekal aku, kenapa diam aja waktu Naima makan bagianku?""Cukup, Madina! Jangan buat aku bertambah malu! Ayo berangkat, kita beli sarapan kamu di luar!"Gilang muak mendengar rengekan manja Madina yang tidak pada tempatnya itu. Dia juga malu pada Naima karena ribut-ribut hanya karena sepotong sandwich. Itu sebabnya ia membentak istrinya itu agar menghentikan pertengkaran dengan Naima. Dengan langkah besar ia pun pergi.Madina yang kaget karena bentakan Gilang bergeming di tempatnya berdiri. Ia tidak suka melihat sikap manis Gilang pada Naima. Apa lagi Naima juga terlihat menikmati perhatian Gilang. Hal itu membuat Madina semakin terbakar cemburu. Tatapannya pun beralih tajam pada Naima."Senang kamu udah bikin aku berantem dengan Mas Gilang. Semua ini karena kamu, Naima. Kalau saja kerjaan kamu beres, hal ini nggak akan terjadi. Kamu sengaja, ya? Mau rusak hubungan aku dengan Mas Gilang?"Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp
Pria itu kaget spontan menoleh ke belakang ke arah Naima. "Mama kenal wanita ini?""Bukan kenal lagi, Sena. Dia sudah Mama anggap putri sendiri. Masak kamu nggak ingat, dia Naima, kasir di Qishan Furniture," jawab wanita paruh baya yang ternyata adalah Maharani, pemilik toko tempat Naima berkerja.Pria bernama Sena itu menatap Naima dari kaca tengah lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku sudah lama nggak mampir ke toko Mama, jadi mana mungkin ingat."Maharani mengangguk. "Ya, sudah. Buruan nyetirnya, Mama khawatir dia kenapa-napa, mana wajahnya pucat gitu," ujar Maharani cemas. "Perasaan dia baru nikah, deh. Tapi penampilannya kenapa kayak gembel begini?" Maharani bergumam dengan mata yang tak lepas memandangi Naima.Mereka sampai di rumah sakit, Sena kembali membopong Naima, langsung membawanya ke IGD."Pasien mengalami dehidrasi cukup parah ini, Pak. Sepertinya dia juga belum makan. Saya rasa itu yang membuatnya pingsan," jelas dokter yang memeriksa Naima."Jadi bukan karena benturan d
Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan
Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertaut. Gala yang berkabut gairah beradu tatap dengan mata sayu Naima yang baru tidur. "Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apakah masih boleh menginginkan tubuhmu?" Gala mengumpat di dalam hati, jelas kalimat itu tidak berasal dari akal sehatnya melainkan didorong oleh nafsu yang mulai menyelimuti pikirannya."Terlepas dari semua yang terjadi, aku masih istrimu yang sah, Mas."Tidak perlu banyak kata untuk memvalidasi jawaban Naima, menuruti nafsu paling primitif di tubuhnya Gala pun mengakuisisi haknya malam itu. Bagai musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir, Gala mengalami pelepasan berkali-kali malam itu. Tubuh Naima yang tak pernah lagi ia jamah sejak malam pertama seolah menjadi candu baru baginya. Gairahnya dengan mudah tersulut meski sudah mengalami pelepasan yang dahsyat."Oh, Naiiiii. Kenapa bisa senikmat iniiii," racau Gala yang kembali berada di puncak kenikmatan.Seluruh aliran darahnya seolah terkumpul di satu titik,
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini