Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina.
"Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah siap di belakang kemudi.Naima masih duduk terdiam di meja makan.Rumah seketika terasa sepi setelah kepergian Gilang dan Madina. Gala tidak ada di rumah, katanya ada pekerjaan di luar kota.Begitu pun anggota keluarga yang lain. Naima tidak tahu kapan Maisya berangkat, mungkin di saat dirinya sedang ribut-ribut dengan Madina tadi wanita itu menyelinap pergi. Gema mungkin masih tidur atau mungkin tidak pulang semalam. Abang iparnya yang satu itu sangat jarang terlihat di rumah. Sesekali ada hanya saat makan siang atau makan malam. Sementara itu ibu mertuanya sedang jalan-jalan ke luar kota bersama teman-temannya.Untuk beberapa saat Naima duduk termangu di meja itu, menikmati kesepian yang kini menjadi hal yang langka dalam hidupnya. Selama ini dirinya juga tidak dekat dengan hiruk pikuk dunia, di rumah orang tuanya pun Naima lebih sering menghabiskan waktu di kamar, tetapi setidaknya ia bisa menikmati kesendirian itu dengan melakukan hal yang menyenangkan. Membaca, menulis, menggambar, atau bermain gam di ponselnya.Sementara sekarang, dari bangun tidur hingga tidur lagi dirinya sibuk dengan rutinitas rumah tangga yang seolah tidak ada habis-habisnya. Duduk sendiri, membiarkan waktu berlalu tanpa melakukan apa-apa adalah hal yang sangat mustahil ia lakukan sekarang terutama di saat anggota keluarga lainnya sedang ada di rumah.Naima menghela napas panjang."Berhenti meratapi nasibmu, Nai. Bangkitlah, lalu lihat ke sekelilingmu. Rumah masih belum disapu, tumpukan piring kotor masih menggunung, dan cucian masih menunggu untuk diputar. Tidak ada waktu untuk berleha-leha!" Naima menyemangati dirinya sendiri. Ia berdiri, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.Hampir dua jam, akhirnya Naima selesai juga mengerjakan semua pekerjaannya. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia memutuskan untuk mandi dulu, setelah itu baru masak untuk makan siang.Badan dan pikirannya terasa segar setelah selesai mandi. Masih dengan handuk membungkus kepala, Naima berjalan menuju kulkas, lalu mengeluarkan bahan-bahan yang akan ia olah hari ini.Naima fokus memilih bahan tanpa sadar sepasang mata tengah menatapnya lapar. Ia baru terkesiap kaget ketika tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang."Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Naima yang sadar kalau orang yang sedang memeluknya adalah orang asing. Meski Gala tidak pernah lagi memeluknya, tetapi ia hapal aroma parfum lelaki itu.Naima meronta, seketika berbalik untuk melihat orang itu. "Mas Gema?!" pekik Naima dengan mata membesar."Halo, Adik Ipar. Wangi banget pagi ini. Baru mandi, ya?" Tangan kurang ajar Gema terangkat, bergerak lancang membelai pipi Naima.Tentu saja Naima langsung menepis tangan itu dengan kasar. "Jangan kurang ajar, Mas! Ingat aku istri adikmu!" sergah Naima seraya mendorong tubuh Gema menjauh."Aku nggak mabok, Nai. Tentu saja tahu kamu istrinya Gala," sahutnya dengan seringai yang terlihat menjijikkan di mata Naima. "Tapi ... aku juga tahu kalau adikku itu tidak pernah lagi menyentuhmu setelah malam pertama kalian. Dia kecewa karena kamu ... ternyata ... tidak perawan." Dua kata terakhir diucapkan Gema dengan setengah berbisik membuat Naima semakin merasa jijik.Namun, rasa jijik itu kalah oleh rasa kagetnya. Naima kaget karena Gema mengetahui permasalahannya dengan Gala. 'Mas Gala keterlaluan. Katanya tidak akan mengatakan tentang malam pertama kami pada siapa pun. Tetapi kenapa Mas Gema sampai tahu?' umpat Naima di dalam hati."Wajah kamu berubah pucat, Nai. Berarti yang aku katakan benar, dong? Hahahaha ... aku pikir Gala bercanda waktu cerita malam itu. Ternyata beneran? Waaah, aku tidak menyangka ternyata kamu sudah pro, ya? Aku pikir masih amatir, lho!"Gema semakin kurang ajar. Sekarang ia memepet tubuh Naima ke dinding dapur, tangannya mulai meraba paha Naima yang hari itu cukup terbuka karena dia hanya mengenakan daster selutut."Karena Gala bukan yang pertama, berarti aku juga boleh mencicipi kamu dong, Nai. Aku penasaran pengen ngerasain tubuh kamu yang sintal ini."PLAK!Tangan Naima mendarat di wajah Gema."Berengsek kamu, Mas! Menjauh dariku atau aku akan teriak!" ancam Naima. Tangannya kembali mendorong tubuh Gema untuk menjauh, tetapi kali ini gagal. Gema semakin merapatkan dirinya ke tubuh Naima, membuat Naima semakin terpojok."Teriak aja, Nai. Yang akan rugi kamu, bukan aku. Nanti aku tinggal bongkar semua aib kamu di hadapan orang-orang. Kamu pikir warga di perumahan ini akan lebih mendengar kamu atau aku?"Gema tak peduli dengan ancaman Naima, tangannya kembali menyusuri paha Naima, kali ini bergerak liar menuju area pribadinya, sementara bibirnya sibuk meraih bibir Naima yang terus meronta dan menghindar.Naima panik. Ia tidak mau diperkosa oleh lelaki ini. Akan tetapi, ia juga tidak berdaya. Kedua kakinya ditahan oleh kaki Gema, sementara jari lelaki itu mulai menyusup ke celana dalamnya."Tidak! Jangan sentuh aku. Lepaskan!" pekik Naima berurai air mata.Dalam keadaan genting itu, sudut mata Naima menangkap sebuah gelas yang terletak di atas kulkas. Ia yakin gelas itu berada di dalam jangkauannya. Membulatkan tekad, Naima meraih gelas itu lalu memukulkannya ke kepala Gema.PRANG!Gelas itu hancur seketika, sementara Gema mengaduh sambil memegangi kepalanya yang luka."Sialan! Dasar perempuan jalang!""Diaaam! Aku bukan perempuan jalang! Aku wanita baik-baik, bukan wanita murahan yang bisa kamu jamah sesuka hati!"Tanpa Naima duga, Gema justru tertawa terbahak-bahak."Kamu pikir kami di rumah ini tidak tahu siapa kamu, heh? Kamu itu hanya anak angkat yang tidak tahu diri. Kamu adalah anak pelacur yang diselamatkan oleh Mahesa! Apa yang kamu banggakan, heh? Kamu tidak beda dengan ibumu yang pelacur itu. Jalang murahan yang dengan suka rela membuka kakinya di depan banyak pria."PLAK!Gema tersungkur, tetapi bukan karena Naima, melainkan karena pukulan seseorang yang kini berdiri dengan sepasang mata yang menatapnya tajam.Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp
Pria itu kaget spontan menoleh ke belakang ke arah Naima. "Mama kenal wanita ini?""Bukan kenal lagi, Sena. Dia sudah Mama anggap putri sendiri. Masak kamu nggak ingat, dia Naima, kasir di Qishan Furniture," jawab wanita paruh baya yang ternyata adalah Maharani, pemilik toko tempat Naima berkerja.Pria bernama Sena itu menatap Naima dari kaca tengah lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku sudah lama nggak mampir ke toko Mama, jadi mana mungkin ingat."Maharani mengangguk. "Ya, sudah. Buruan nyetirnya, Mama khawatir dia kenapa-napa, mana wajahnya pucat gitu," ujar Maharani cemas. "Perasaan dia baru nikah, deh. Tapi penampilannya kenapa kayak gembel begini?" Maharani bergumam dengan mata yang tak lepas memandangi Naima.Mereka sampai di rumah sakit, Sena kembali membopong Naima, langsung membawanya ke IGD."Pasien mengalami dehidrasi cukup parah ini, Pak. Sepertinya dia juga belum makan. Saya rasa itu yang membuatnya pingsan," jelas dokter yang memeriksa Naima."Jadi bukan karena benturan d
Naima memegangi pipinya yang panas karena tamparan Gala. "Dasar perempuan murahan!"PLAK!Tamparan Gala kembali mendarat untuk yang kedua kalinya."Stop, Mas! Stop!" teriak Naima yang kali ini menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Cukup pipinya ditampar dua kali, Naima tidak ingin dijadikan samsak hidup begitu saja oleh Gala."Tidak ada stop-stop! Kamu memang layak dihukum karena beraninya pergi dari rumah seharian tanpa izin suami, lalu pulang dengan laki-laki lain."Gala masih meradang. Dengan kasar ia menarik Naima masuk ke dalam rumah di mana Maya dan anggota keluarga lainnya duduk menunggu di ruang keluarga."Ini menantu Mama sudah pulang. Silakan Mama hukum dia agar besok tidak mengulangi lagi perbuatannya," kata Gala.Maya yang tadi duduk bersilang tangan bergegas berdiri lalu menjambak rambut Naima."Ke mana saja kamu seharian ini, heh? Lihat! Rumah tidak disapu, makan siang, makan malam tidak dimasak. Tumpukan piring kotor segunung. Apa saja yang kamu lakukan di luar sana,