Share

7. Pelecehan

Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina.

"Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."

Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking.

"MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.

Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah siap di belakang kemudi.

Naima masih duduk terdiam di meja makan.

Rumah seketika terasa sepi setelah kepergian Gilang dan Madina. Gala tidak ada di rumah, katanya ada pekerjaan di luar kota.

Begitu pun anggota keluarga yang lain. Naima tidak tahu kapan Maisya berangkat, mungkin di saat dirinya sedang ribut-ribut dengan Madina tadi wanita itu menyelinap pergi. Gema mungkin masih tidur atau mungkin tidak pulang semalam. Abang iparnya yang satu itu sangat jarang terlihat di rumah. Sesekali ada hanya saat makan siang atau makan malam. Sementara itu ibu mertuanya sedang jalan-jalan ke luar kota bersama teman-temannya.

Untuk beberapa saat Naima duduk termangu di meja itu, menikmati kesepian yang kini menjadi hal yang langka dalam hidupnya. Selama ini dirinya juga tidak dekat dengan hiruk pikuk dunia, di rumah orang tuanya pun Naima lebih sering menghabiskan waktu di kamar, tetapi setidaknya ia bisa menikmati kesendirian itu dengan melakukan hal yang menyenangkan. Membaca, menulis, menggambar, atau bermain gam di ponselnya.

Sementara sekarang, dari bangun tidur hingga tidur lagi dirinya sibuk dengan rutinitas rumah tangga yang seolah tidak ada habis-habisnya. Duduk sendiri, membiarkan waktu berlalu tanpa melakukan apa-apa adalah hal yang sangat mustahil ia lakukan sekarang terutama di saat anggota keluarga lainnya sedang ada di rumah.

Naima menghela napas panjang.

"Berhenti meratapi nasibmu, Nai. Bangkitlah, lalu lihat ke sekelilingmu. Rumah masih belum disapu, tumpukan piring kotor masih menggunung, dan cucian masih menunggu untuk diputar. Tidak ada waktu untuk berleha-leha!" Naima menyemangati dirinya sendiri. Ia berdiri, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Hampir dua jam, akhirnya Naima selesai juga mengerjakan semua pekerjaannya. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia memutuskan untuk mandi dulu, setelah itu baru masak untuk makan siang.

Badan dan pikirannya terasa segar setelah selesai mandi. Masih dengan handuk membungkus kepala, Naima berjalan menuju kulkas, lalu mengeluarkan bahan-bahan yang akan ia olah hari ini.

Naima fokus memilih bahan tanpa sadar sepasang mata tengah menatapnya lapar. Ia baru terkesiap kaget ketika tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang.

"Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Naima yang sadar kalau orang yang sedang memeluknya adalah orang asing. Meski Gala tidak pernah lagi memeluknya, tetapi ia hapal aroma parfum lelaki itu.

Naima meronta, seketika berbalik untuk melihat orang itu. "Mas Gema?!" pekik Naima dengan mata membesar.

"Halo, Adik Ipar. Wangi banget pagi ini. Baru mandi, ya?" Tangan kurang ajar Gema terangkat, bergerak lancang membelai pipi Naima.

Tentu saja Naima langsung menepis tangan itu dengan kasar. "Jangan kurang ajar, Mas! Ingat aku istri adikmu!" sergah Naima seraya mendorong tubuh Gema menjauh.

"Aku nggak mabok, Nai. Tentu saja tahu kamu istrinya Gala," sahutnya dengan seringai yang terlihat menjijikkan di mata Naima. "Tapi ... aku juga tahu kalau adikku itu tidak pernah lagi menyentuhmu setelah malam pertama kalian. Dia kecewa karena kamu ... ternyata ... tidak perawan." Dua kata terakhir diucapkan Gema dengan setengah berbisik membuat Naima semakin merasa jijik.

Namun, rasa jijik itu kalah oleh rasa kagetnya. Naima kaget karena Gema mengetahui permasalahannya dengan Gala. 'Mas Gala keterlaluan. Katanya tidak akan mengatakan tentang malam pertama kami pada siapa pun. Tetapi kenapa Mas Gema sampai tahu?' umpat Naima di dalam hati.

"Wajah kamu berubah pucat, Nai. Berarti yang aku katakan benar, dong? Hahahaha ... aku pikir Gala bercanda waktu cerita malam itu. Ternyata beneran? Waaah, aku tidak menyangka ternyata kamu sudah pro, ya? Aku pikir masih amatir, lho!"

Gema semakin kurang ajar. Sekarang ia memepet tubuh Naima ke dinding dapur, tangannya mulai meraba paha Naima yang hari itu cukup terbuka karena dia hanya mengenakan daster selutut.

"Karena Gala bukan yang pertama, berarti aku juga boleh mencicipi kamu dong, Nai. Aku penasaran pengen ngerasain tubuh kamu yang sintal ini."

PLAK!

Tangan Naima mendarat di wajah Gema.

"Berengsek kamu, Mas! Menjauh dariku atau aku akan teriak!" ancam Naima. Tangannya kembali mendorong tubuh Gema untuk menjauh, tetapi kali ini gagal. Gema semakin merapatkan dirinya ke tubuh Naima, membuat Naima semakin terpojok.

"Teriak aja, Nai. Yang akan rugi kamu, bukan aku. Nanti aku tinggal bongkar semua aib kamu di hadapan orang-orang. Kamu pikir warga di perumahan ini akan lebih mendengar kamu atau aku?"

Gema tak peduli dengan ancaman Naima, tangannya kembali menyusuri paha Naima, kali ini bergerak liar menuju area pribadinya, sementara bibirnya sibuk meraih bibir Naima yang terus meronta dan menghindar.

Naima panik. Ia tidak mau diperkosa oleh lelaki ini. Akan tetapi, ia juga tidak berdaya. Kedua kakinya ditahan oleh kaki Gema, sementara jari lelaki itu mulai menyusup ke celana dalamnya.

"Tidak! Jangan sentuh aku. Lepaskan!" pekik Naima berurai air mata.

Dalam keadaan genting itu, sudut mata Naima menangkap sebuah gelas yang terletak di atas kulkas. Ia yakin gelas itu berada di dalam jangkauannya. Membulatkan tekad, Naima meraih gelas itu lalu memukulkannya ke kepala Gema.

PRANG!

Gelas itu hancur seketika, sementara Gema mengaduh sambil memegangi kepalanya yang luka.

"Sialan! Dasar perempuan jalang!"

"Diaaam! Aku bukan perempuan jalang! Aku wanita baik-baik, bukan wanita murahan yang bisa kamu jamah sesuka hati!"

Tanpa Naima duga, Gema justru tertawa terbahak-bahak.

"Kamu pikir kami di rumah ini tidak tahu siapa kamu, heh? Kamu itu hanya anak angkat yang tidak tahu diri. Kamu adalah anak pelacur yang diselamatkan oleh Mahesa! Apa yang kamu banggakan, heh? Kamu tidak beda dengan ibumu yang pelacur itu. Jalang murahan yang dengan suka rela membuka kakinya di depan banyak pria."

PLAK!

Gema tersungkur, tetapi bukan karena Naima, melainkan karena pukulan seseorang yang kini berdiri dengan sepasang mata yang menatapnya tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status