Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam.
"Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelamatkan kamu dari penjara! Tapi seenaknya mulut kotormu membongkar semuanya di depan Naima!"Gilang benar-benar meradang. Tadi bisa saja dia membantah apa yang Gema katakan, tetapi Naima pasti akan tetap mencari tahu kebenarannya. Siapa orangnya yang akan berdiam diri ketika mendengar berita aneh tentang dirinya?"Aku tidak bilang apa-apa tentang pernikahan mereka, Mas. Aku cuma bilang kalau Naima itu anak angkat. Aku pikir dia sudah tahu, tetapi ternyata belum."Gilang menghela napas panjang, tak habis pikir dengan pola pikir adiknya yang satu ini. Gala meskipun cuek, tetapi tidak liar. Sementara Gema selalu berbuat sesukanya, bahkan sering melanggar hukum. Gilang bukannya tidak tahu kalau tadi Gema mencoba melecehkan Naima."Itu bukan urusanmu. Mengapa kamu ikut campur dengan masalah pribadi Naima? Mau kamu sebenarnya apa sih? Tadi kamu mencoba untuk melecehkannya, 'kan? Jujur padaku! Kamu tertarik pada Naima?""Memangnya Mas Gilang enggak? Meski tubuhnya mungil, tapi Naima itu kan seksi," jawab Gema dengan senyum mengejek. Ia memperbaiki posisi duduknya, sedikit condong ke arah Gilang. "Katakan padaku, apa yang membuat Mas Gilang tiba-tiba pulang siang ini? Mas juga ingin berduaan dengan Naima, 'kan? Nggak usah bohong deh."BUG!Pukulan Gilang kembali mendarat di wajah Gema. "Jangan samakan aku dengan dirimu, Bangsat! Aku pulang karena ada berkas yang tertinggal. Untung saja aku pulang, kalau tidak entah apa yang sudah kamu lakukan pada Naima.""Alaaaah, nggak usah munafik deh, Mas. Kamu pasti sudah dengar curhatan Gala malam itu. Ya, kan? Aku dengar kok Mas keluar kamar waktu itu." Pipinya perih, karena sudah tiga kali dipukul di area yang sama, tapi tetap tidak mengurangi sikap tengilnya.Gilang terdiam mendengar perkataan Gema. Ia tidak berkelit karena malam itu memang mendengar curhatan Gala tentang malam pertama mereka. Dia tidak percaya begitu saja karena keesokan harinya ia bisa melihat kondisi Naima yang kesulitan berjalan. Gilang bukan pria berpikiran sempit, ia juga sudah membaca banyak artikel itu jauh sebelum menikah dengan Madina. Sayangnya, Gala yang konservatif sulit diberi pengertian. Itu sebabnya Gilang bersimpati pada Naima."Aku memang dengar, tetapi otakku tidak kotor sepertimu," sahut Gilang. "Dengar, Gema. Mulai malam ini jaga sikap kamu di hadapan Naima kalau tidak ingin aku adukan pada Gala. Aku yakin, meskipun Gala sedang mendiamkan istrinya, tetapi dia pasti tidak akan terima kamu melecehkan Naima."Gema mengangguk pasrah. Di hadapan Gilang ia tak mampu berkata banyak lagi karena sudah tertangkap basah. Dari pada berurusan dengan Gala, Gema memutuskan untuk menurut saja.***Naima sampai di rumah orang tuanya. Tak sabar ingin bertemu ayah dan ibunya, Naima pun mendorong pagar rumah itu dengan kuat. Rumah tampak sepi, Naima yakin saat ini kedua saudaranya sedang pergi. Semoga saja ibunya ada di rumah, karena ayahnya juga pasti sedang berada di toko.Namun perkiraan Naima salah karena dari pintu samping ia bisa mendengar suara orang sedang berbincang di ruang tengah."Oom serius? Dia hanya anak angkat?!"Naima tertegun. "Suara Kak Yara. Dia lagi ngobrol dengan siapa?" gumam Naima sambil mendorong pintu dengan pelan. "Oh ... ada Mama juga. Tapi yang satu lagi siapa?"Naima berdiri di belakang lemari, menunggu sebentar sebelum masuk karena tidak ingin mengganggu pembicaraan yang sedang berlangsung."Iya, Yara. Oom tahu pasti karena Oom sendiri saksinya."Naima bisa mendengar jelas decak kecewa Yara. "Kenapa Mama nggak pernah cerita sih, Ma? Padahal ini berita besar, lho! Kenapa harus dirahasiakan?""Mama nggak mau kalian dimarahi Papa. Mama yakin kalau kalian tahu sejak dulu, kalian pasti akan bersikap buruk padanya. Mama tidak mau itu terjadi."Naima masih belum paham siapa yang sedang mereka bicarakan, ia pun penasaran ingin tahu, tetapi tetap memilih untuk bertahan di balik lemari itu.Beberapa saat, ruangan itu sunyi. Ketiga orang itu seperti larut dalam pikiran masing-masing."Jadi sekarang sudah amanlah ya, Mbak. Naima 'kan sudah nggak tinggal di sini lagi, nggak ada lagi yang menghalangi Mbak memiliki harta Mahesa," kata sosok yang wajahnya masih terhalang lemari.Kening Naima berkerut mendengar percakapan itu. 'Apa maksud orang itu? Aneh, Mama 'kan istri Papa, mengapa tidak bisa memiliki harta Papa? Lalu apa hubungannya denganku? Aku tidak mengerti.'"Tetap saja nggak bisa langsung diambil alih." Kali ini suara Asmita yang menjawab. "Mas Mahesa pasti nggak mau mengubah nama pemilik rumah ini.""Tapi kasihan putri kandungmu dong, Mbak. Toko sudah milik Naima, masak rumah juga? Mahesa keterlaluan sekali kalau tidak memberikan sedikitpun untuk Yara dan Yana."DEG!Jantung Naima seolah berhenti berdetak mendengar perkataan pria itu. Ia masih sangat terkejut mendengar perkataan pria itu, tetapi ia menahan diri karena masih ingin mendengar lebih banyak."Iya, Ma. Masak semuanya atas nama Naima. Lalu aku dan Yana dapat apa?" Dari rengekan manjanya tentu saja Naima tahu kalau yang baru saja berbicara adalah Ayara.Naima kembali mendengar suara decakan kesal dari mulut Asmita. "Itu yang sedang Mama perjuangkan untuk kalian. Makanya kalian bantuin Mama dong, ngomong sama Papa kalian, minta dia bagi hak kalian sekarang. Kalian itu anak kandungnya, masak iya kalah dari anak angkat yang nggak jelas juntrungannya itu!"Dada Naima seketika bergemuruh mendengar perkataan Asmita. Ia tidak bisa melihat raut wajah wanita itu, tetapi ia bisa membayangkan ekspresinya.'Jadi benar yang dikatakan Mas Gema tadi. Aku hanya anak angkat? Pantas saja sikap Mama selama ini berbeda terhadapku. Tetapi kenapa mereka merahasiakannya? Mengapa tidak jujur saja padaku?'Pertanyaan Naima belum terjawab, ia kembali mendengar suara Yara."Aku nggak berani, Ma. Mama tahu sendiri gimana sifat Papa. Dia selalu marah setiap kami meminta sesuatu. Aku minta dibeliin mobil aja dari zaman kuliah sampai sekarang nggak dikabulkan. Katanya aku nggak boleh manja. Bus kampus ada, kenapa nggak pake itu aja kayak mahasiswa lainnya? Itu cuma mobil, lho. Apa lagi kalo aku minta warisan, bisa-bisa digantung leher aku, Ma! Aku pikir selama ini Papa cuma pelit, ternyata karena dia mau kasih semua miliknya pada Naima? Kok bisa gitu sih, Ma? Nggak masuk akal banget lho!""Tidak akan Mama biarkan. Enak saja semua mau diberi pada anak itu? Mama yang merawat dan membesarkannya dengan susah payah, seharusnya Papa kamu berterima kasih pada Mama. Karena Mama tidak membedakannya dengan kalian."Decak kesal Ayara kembali terdengar. "Aku heran deh, Ma. Naima 'kan cuma anak angkat, tetapi kenapa Papa sayang banget sama dia? Jangan-jangan Papa selingkuh dengan ibu kandung Naima, dan Naima itu anak kandungnya.""Itu tidak benar. Papamu adalah pria yang setia." Suara pria itu kembali terdengar."Emangnya Oom bersama Papa setiap saat? Papa juga laki-laki, Oom. Bisa saja dia tergoda oleh perempuan itu."Beberapa saat hening, baik Asmita ataupun pria itu tidak menanggapi kata-kata Yara. Hal itu membuat Naima yang bersembunyi balik lemari menjadi curiga."Tidak, Yara. Papamu ... bukan pria seperti itu. Naima bukan anaknya." Suara tegas Asmita menjawab."Tetap aja aku penasaran. Apa sih hubungan Papa dengan ibu kandung Naima? Kenapa dia mau dititipkan anak? Ini anak lho, Ma. Bukan sekaleng rengginang yang bisa ditaruh di sudut ruangan tanpa perawatan apa pun. Kenapa juga Mama mau bantuin Papa menerima Naima jadi anak Mama? Aku mengerti kalau Papa dan Mama belum punya anak, tetapi saat itu kalian 'kan sudah punya aku. Aku lebih tua tiga tahun dari Naima, berarti aku udah lahir dong waktu Naima dibawa ke rumah ini?""Papamu dulu adalah ma—" Kalimat Asmita terputus karena tiba-tiba terdengar suara ART-nya dari pintu samping, sedang menyapa seseorang."Lho, Non Naima pulang? Kapan nyampenya, kok Bibi nggak tau. Silakan masuk, Non. Jangan berdiri aja."Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merend
Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp
Pria itu kaget spontan menoleh ke belakang ke arah Naima. "Mama kenal wanita ini?""Bukan kenal lagi, Sena. Dia sudah Mama anggap putri sendiri. Masak kamu nggak ingat, dia Naima, kasir di Qishan Furniture," jawab wanita paruh baya yang ternyata adalah Maharani, pemilik toko tempat Naima berkerja.Pria bernama Sena itu menatap Naima dari kaca tengah lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku sudah lama nggak mampir ke toko Mama, jadi mana mungkin ingat."Maharani mengangguk. "Ya, sudah. Buruan nyetirnya, Mama khawatir dia kenapa-napa, mana wajahnya pucat gitu," ujar Maharani cemas. "Perasaan dia baru nikah, deh. Tapi penampilannya kenapa kayak gembel begini?" Maharani bergumam dengan mata yang tak lepas memandangi Naima.Mereka sampai di rumah sakit, Sena kembali membopong Naima, langsung membawanya ke IGD."Pasien mengalami dehidrasi cukup parah ini, Pak. Sepertinya dia juga belum makan. Saya rasa itu yang membuatnya pingsan," jelas dokter yang memeriksa Naima."Jadi bukan karena benturan d
Naima memegangi pipinya yang panas karena tamparan Gala. "Dasar perempuan murahan!"PLAK!Tamparan Gala kembali mendarat untuk yang kedua kalinya."Stop, Mas! Stop!" teriak Naima yang kali ini menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Cukup pipinya ditampar dua kali, Naima tidak ingin dijadikan samsak hidup begitu saja oleh Gala."Tidak ada stop-stop! Kamu memang layak dihukum karena beraninya pergi dari rumah seharian tanpa izin suami, lalu pulang dengan laki-laki lain."Gala masih meradang. Dengan kasar ia menarik Naima masuk ke dalam rumah di mana Maya dan anggota keluarga lainnya duduk menunggu di ruang keluarga."Ini menantu Mama sudah pulang. Silakan Mama hukum dia agar besok tidak mengulangi lagi perbuatannya," kata Gala.Maya yang tadi duduk bersilang tangan bergegas berdiri lalu menjambak rambut Naima."Ke mana saja kamu seharian ini, heh? Lihat! Rumah tidak disapu, makan siang, makan malam tidak dimasak. Tumpukan piring kotor segunung. Apa saja yang kamu lakukan di luar sana,
Gala tampak terkejut. Beberapa saat mulutnya terbuka tanpa suara. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku akan mengetahui rahasia itu. Jujur Naima sangat menikmati momen ini. Sayangnya, ia tidak bisa berlama-lama menikmati ekspresi kaget Gala karena beberapa saat kemudian ia justru mendengar suara bentakan Maya."Heh, bicara apa kamu, Naima?"Naima memutar tubuhnya dengan tatapan dingin ke arah Maya. "Apa kata-kataku salah? Kalian menerima uang 'kan dari keluargaku? Gala menikahiku bukan karena suka, tetapi karena dia dibayar. Mengaku saja, tidak perlu ditutupi lagi!""Jangan keterlaluan kamu, Naima! Kamu pikir aku laki-laki seperti apa? Kamu meragukan ketulusanku saat melamarmu? Astaga, ternyata selain pembohong kamu juga nggak tau diri, ya. Sudah dinikahi, malah menuduh suami yang bukan-bukan. Kamu menghinaku, Nai!""Aku tidak pernah menghina kamu, Mas. Justru kamu yang setiap saat menghinaku. Apa aku pernah membalas penghinaanmu? Tidak, 'kan? Aku berusaha untuk tetap berpikir positif