Gala tampak terkejut. Beberapa saat mulutnya terbuka tanpa suara. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku akan mengetahui rahasia itu. Jujur Naima sangat menikmati momen ini. Sayangnya, ia tidak bisa berlama-lama menikmati ekspresi kaget Gala karena beberapa saat kemudian ia justru mendengar suara bentakan Maya."Heh, bicara apa kamu, Naima?"Naima memutar tubuhnya dengan tatapan dingin ke arah Maya. "Apa kata-kataku salah? Kalian menerima uang 'kan dari keluargaku? Gala menikahiku bukan karena suka, tetapi karena dia dibayar. Mengaku saja, tidak perlu ditutupi lagi!""Jangan keterlaluan kamu, Naima! Kamu pikir aku laki-laki seperti apa? Kamu meragukan ketulusanku saat melamarmu? Astaga, ternyata selain pembohong kamu juga nggak tau diri, ya. Sudah dinikahi, malah menuduh suami yang bukan-bukan. Kamu menghinaku, Nai!""Aku tidak pernah menghina kamu, Mas. Justru kamu yang setiap saat menghinaku. Apa aku pernah membalas penghinaanmu? Tidak, 'kan? Aku berusaha untuk tetap berpikir positif
"Pa!" sahut Naima dengan tatapan terluka. "Papa juga tidak percaya kalau aku masih suci?" Naima berharap kedua orang tua angkatnya itu bisa membela harga dirinya yang sedang diinjak-injak oleh suami dan keluarganya.Alih-alih bersimpati Mahesa justru mendengus kesal. "Bagaimana Papa bisa percaya kalau suamimu sendiri tidak percaya? Gala itu lelaki dewasa, Nai. Bukan anak SD yang bisa kamu bohongi. Dia pasti tahu setelah malam pertama kalian." Mahesa mengusap wajahnya sambil mendesah kecewa. "Benar-benar memalukan. Teganya kamu mencoreng arang ke wajah kami, Nai!"Naima semakin terluka. Bahkan Mahesa pun sudah tidak mempercayainya lagi, padahal lelaki itu yang paling mengerti bagaimana karakter Naima selama ini. Jangankan berhubungan intim dengan laki-laki, pacaran pun Naima tidak pernah. Gala adalah lelaki pertama yang Naima percaya untuk memiliki hati dan tubuhnya, tetapi justru hinaan yang ia terima."Kamu pikir mau sampai kapan merahasiakan keadaan kamu itu?" sela Asmita. "Benar ya
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema
Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertaut. Gala yang berkabut gairah beradu tatap dengan mata sayu Naima yang baru tidur. "Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apakah masih boleh menginginkan tubuhmu?" Gala mengumpat di dalam hati, jelas kalimat itu tidak berasal dari akal sehatnya melainkan didorong oleh nafsu yang mulai menyelimuti pikirannya."Terlepas dari semua yang terjadi, aku masih istrimu yang sah, Mas."Tidak perlu banyak kata untuk memvalidasi jawaban Naima, menuruti nafsu paling primitif di tubuhnya Gala pun mengakuisisi haknya malam itu. Bagai musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir, Gala mengalami pelepasan berkali-kali malam itu. Tubuh Naima yang tak pernah lagi ia jamah sejak malam pertama seolah menjadi candu baru baginya. Gairahnya dengan mudah tersulut meski sudah mengalami pelepasan yang dahsyat."Oh, Naiiiii. Kenapa bisa senikmat iniiii," racau Gala yang kembali berada di puncak kenikmatan.Seluruh aliran darahnya seolah terkumpul di satu titik,
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak