"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."
Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini.""Tapi, Ma ....""Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima."Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya."Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merendahkan kamu kalau tahu kamu hanya anak haram yang diangkat anak oleh Mahesa."*****Naima melangkah gamang menuju toko alat musik milik ayahnya. Seumur hidup belum pernah ia menemui sang ayah di sana. Itu sebabnya ia merasa canggung mendatangi toko besar itu. Kalau saja bukan karena permintaan Asmita, Naima pasti tidak akan datang. Namun, rasa penasaran akan sosok ibunya membuat Naima memutuskan untuk menemui Mahesa di toko itu. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala Naima menuntut penjelasan.'Siapa ibunya?''Benarkah dirinya anak haram seperti yang disebut Asmita?''Mengapa Asmita bersikeras meminta dirinya untuk membujuk Mahesa perihal harta?'"Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Pramuniaga toko menyambut kedatangan Naima dengan ramah. Wanita muda itu adalah karyawan baru jadi tidak tahu jika Naima adalah putri dari sang pemilik toko tersebut."Hmm ... Pak Mahesa-nya ada? Saya ada perlu dengan beliau," tanya Naima dengan sedikit ragu.Kening pramuniaga itu berkerut, seraya menatap Naima dari ujung kaki hingga kepala. "Mbak sudah buat janji? Maaf, kalau saya boleh tahu ada keperluan apa ya?""Saya putrinya. Bilang saja, Naima ingin bertemu."Pramuniaga itu kembali menilik penampilan Naima untuk kedua kalinya. Mungkin dia meragukan perkataan Naima karena penampilan Naima siang itu tidak mencerminkan putri pemilik toko, melainkan seorang babu. Daster kumal, sepasang sandal jepit yang warnanya pun sudah pudar. Belum lagi rambut Naima yang hanya diikat asal ke belakang sehingga sebagian besar rambutnya tidak terikat sempurna."Kenapa tidak telepon saja, Mbak? Mbak punya nomor telepon Pak Mahesa, 'kan?" Pramuniaga itu tetap keberatan memberi Naima akses bertemu bosnya."Saya tidak bawa hape, Mbak. Kalau bawa, saya tidak perlu datang ke sini, tinggal telepon aja. Mbak tinggal bilang Pak Mahesa saja, 'kan, apa susahnya sih?" Naima mulai kesal.Ekspresi mengejek seketika tercipta di wajah pramuniaga bernama Sherly itu. "Nggak usah banyak alasan, deh. Penampilan kamu itu mencurigakan makanya saya nggak turuti permintaan kamu. Kamu pasti modus mau minta sumbangan, 'kan? Ngaku aja deh."Emosi Naima semakin tersulut sekarang. "Mbak hati-hati ya bicaranya, jangan tidak sopan begitu. Saya Naima, putri Pak Mahesa. Kalau Mbak tidak percaya kenapa tidak buktikan sendiri dengan menelepon Pak Mahesa!""Udah-udah! Nggak usah banyak gaya. Pergi sana, kami bukan yayasan amal!" Sherly mendorong Naima hingga terduduk.Naima kaget, tidak menyangka jika karyawan toko ayahnya itu akan bertindak lancang. Masih dengan jantung yang berdegup kencang, Naima berdiri lalu merapikan dasternya yang tersingkap.Melihat Naima yang kembali hendak berbicara, Sherly terlebih dahulu menarik tangan Naima, lalu membawanya keluar. "Jangan buat kesabaran saya habis. Kalau saya bilang pergi, kamu seharusnya pergi, jangan keras kepala!"Dorongan Sherly kali ini tidak sekuat tadi, tetapi tetap saja berhasil membuat tubuh Naima oleng. Ditambah dengan tempat kakinya berpijak tidak rata. Untung saja sebuah tangan dengan sigap menahan tubuh Naima sehingga tidak terjatuh."Lho! Non Naima?" Sebuah suara yang cukup familiar menyapa indera pendengaran Naima."Pak Danang," sahut Naima setelah mengenali sosok yang menyelamatkannya kali ini. Danang adalah karyawan senior di toko itu, jadi dia sudah mengenali Naima."Non baik-baik saja, 'kan? Ada yang terluka? Kenapa sampai jatuh?" cecar Danang seraya memeriksa tangan dan kaki Naima."Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih.""Non ada perlu apa ke sini? Mau ketemu Bapak?"Naima mengangguk. "Aku lupa bawa hape, jadi nggak bisa menelepon Papa. Tapi Mbak ini melarang aku masuk." Naima menunjuk Sherly dengan raut kecewa.Paras Danang pun ikutan berubah. "Kamu melarang Non Naima bertemu Pak Mahesa? Lancang sekali kamu! Kamu tidak tahu siapa dia? Dia ini Naima, putri Pak Mahesa!" bentaknya dengan tatapan tajam.Perkataan Danang sukses membuat Sherly menciut. Danang adalah orang kepercayaan Mahesa, jadi dia juga memiliki pengaruh yang besar di toko itu. "Ma-maaf, Pak. Saya tidak tahu. Saya pikir wanita ini pengemis yang meminta sumbangan." Suara Sherly bergetar, takut sekali membayangkan kemarahan Mahesa jika tahu dia telah memperlakukan Naima dengan buruk."Kalau tidak tahu, kamu cari tahu dulu. Jangan berbuat semena-mena hanya karena penampilannya tidak seperti yang kamu harapkan." Danang terus mencecar Sherly dengan kemarahan. "Minta maaf kamu! Setelah itu antarkan Naima ke ruangan Pak Mahesa."Sherly mengangguk. Ia bergegas mendekati Naima lalu membungkukkan badan dengan penuh hormat. "Maafkan saya, Mbak. Saya sudah bersikap tidak sopan tadi. Saya benar-benar tidak tahu kalau Mbak anaknya Pak Mahesa.""Kalaupun saya bukan anak Pak Mahesa, tidak sepantasnya juga kamu mengusir saya hanya karena penampilan saya yang lusuh. Setahu saya Pak Mahesa bukan tipikal orang yang tinggi hati. Dia selalu menyambut baik siapa saja yang datang ke toko ini. Jangan sampai karena tingkah pongah kamu membuat nama toko ini menjadi buruk."Sherly hanya bisa mengangguk sambil terus mengatakan kata maaf sebagai bentuk penyesalannya."Baik, Mbak. Saya akan ingat nasihat Mbak Naima untuk seterusnya. Mari saya antar ke ruangan Pak Mahesa."Naima menghela napas panjang. Tak ingin lagi memperpanjang masalah ia pun kembali masuk ke toko besar itu setelah mengucapkan terima kasih pada Danang.Tok! Tok! Tok!Sherly mengetuk pintu ruangan Mahesa beberapa kali."Ya, masuk saja, tidak dikunci," sahut Mahesa dari dalam.Sherly membuka pintu, segera membungkuk penuh hormat pada Mahesa. "Selamat siang, Pak. Ini ada pu—" Sherly belum selesai mengucapkan kalimatnya, tetapi Mahesa keburu memotongnya lebih dulu begitu melihat Naima di belakangnya."Lho, Naima?! Kamu kapan datang? Sini masuk."Naima mendorong pintu lebih lebar, lalu melangkah ke dalam ruangan Mahesa."Buatkan minuman dingin, ya," pinta Mahesa pada Sherly sebelum wanita itu pergi.Dengan berat hati, Sherly mengangguk. Ia pun meninggalkan ruangan Mahesa sambil menahan rasa kesal yang teramat besar."Tidak biasanya kamu mampir ke sini. Gimana-gimana? Gala memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?"Naima tersenyum tipis. "Baik kok, Pa."Mahesa mengangguk puas. "Bagus. Papa sudah keluar uang banyak untuk keluarganya, jadi sudah sepatutnya Gala memperlakukan kamu dengan baik."Tubuh Naima seketika membeku. "Apa maksud Papa? Papa membayar Gala untuk menikahiku?"Naima merasa dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Menahan emosi yang bergejolak di dalam dada, Naima meremas daster yang ia kenakan hingga tangannya memutih, lalu bertanya dengan suara bergetar. "Jadi ... semua yang Gala katakan saat melamarku adalah kebohongan? Dia menikahiku bukan karena cinta, tetapi karena uang? Begitu, Pa?"Mahesa yang salah bicara menjadi gelagapan sendiri. Ia lupa jika hal itu harus dirahasiakan dari Naima. Mahesa terlalu percaya diri dengan ancaman yang ia berikan pada Gala, sehingga ia pun keceplosan."Ah ... bukan begitu, Nak. Kamu salah paham. Mana mungkin Gala berbohong akan perasaannya. Dari yang Papa lihat, Gala tulus mencintai kamu.""Lalu apa maksud perkataan Papa tadi? Pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik, jadi aku tidak mungkin salah dengar, Pa.""Hmm ... begini." Mahesa bangkit dari kursi kerjanya, berpindah ke sofa di samping Naima. Ia harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan hal itu agar Naima percaya bahwa dirin
Naima cukup terkejut melihat reaksi Mahesa. "Tidak penting siapa yang memberitahu padaku, Pa. Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Apa benar ibuku seorang wanita malam?"Mahesa menghembuskan napas kuat dengan rahang mengeras. "Ibu kamu bukan wanita malam, Nai. Ibu kamu adalah wanita baik-baik, sayangnya ... dia jatuh cinta dengan pria yang salah."Raut wajah Mahesa berubah saat mengenang sosok ibu Naima. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju lemari di mana sebuah brankas berada. Tak lama kemudian ia kembali dengan satu buah amplop berwarna coklat."Namanya Arsavina Gayatri, tetapi ia lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan nama panggung Arsha Gaya."Mahesa menyerahkan amplop itu ke tangan Naima yang menatapnya dengan sorot tak percaya. "Maksud Papa, ibu kandungku seorang artis?""Hmm ... artis pendatang baru yang cukup terkenal saat itu.""Jadi ... ibuku adalah artis yang Papa manajeri waktu itu?""Benar. Papa berkerja di sebuah agensi, sebelum ibumu masuk, Papa adalah
"Papa!" jerit Naima dengan tubuh bergetar. Tangannya yang memegang handle pintu tampak memitih karena Naima mencengkeram handle itu dengan sangat kuat.Jeritan Naima spontan membuat sepasang manusia itu membuat jarak. Mahesa bergegas menaikkan celananya, sementara sang wanita sibuk memasang bajunya kembali."Na-naima ... ini ... tidak seperti yang kamu pikirkan, Nak," ucap Mahesa dengan napas tersengal. Suara pria yang selama ini selalu berhasil menenangkan Naima di saat gundah, kali ini terdengar menjijikkan baginya. Apa lagi dengan matanya sendiri Naima menyaksikan betapa susahnya Mahesa menetralkan napasnya yang masih memburu akibat pelepasannya yang tertunda."Memangnya apa yang harus aku pikirkan saat melihat pemandangan ini? Tidak mungkin Papa sedang beribadah, 'kan?" balas Naima. "Aku tak mengerti, Pa. Apa kurangnya Mama Asmita sampai Papa tega mengkhianatinya.""Apa yang terjadi antara Papa dan Asmita bukan urusan kamu, Nai. Sebagai orang luar, Papa harap kamu tidak ikut camp
Pria itu kaget spontan menoleh ke belakang ke arah Naima. "Mama kenal wanita ini?""Bukan kenal lagi, Sena. Dia sudah Mama anggap putri sendiri. Masak kamu nggak ingat, dia Naima, kasir di Qishan Furniture," jawab wanita paruh baya yang ternyata adalah Maharani, pemilik toko tempat Naima berkerja.Pria bernama Sena itu menatap Naima dari kaca tengah lalu mengangkat kedua bahunya. "Aku sudah lama nggak mampir ke toko Mama, jadi mana mungkin ingat."Maharani mengangguk. "Ya, sudah. Buruan nyetirnya, Mama khawatir dia kenapa-napa, mana wajahnya pucat gitu," ujar Maharani cemas. "Perasaan dia baru nikah, deh. Tapi penampilannya kenapa kayak gembel begini?" Maharani bergumam dengan mata yang tak lepas memandangi Naima.Mereka sampai di rumah sakit, Sena kembali membopong Naima, langsung membawanya ke IGD."Pasien mengalami dehidrasi cukup parah ini, Pak. Sepertinya dia juga belum makan. Saya rasa itu yang membuatnya pingsan," jelas dokter yang memeriksa Naima."Jadi bukan karena benturan d
Naima memegangi pipinya yang panas karena tamparan Gala. "Dasar perempuan murahan!"PLAK!Tamparan Gala kembali mendarat untuk yang kedua kalinya."Stop, Mas! Stop!" teriak Naima yang kali ini menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Cukup pipinya ditampar dua kali, Naima tidak ingin dijadikan samsak hidup begitu saja oleh Gala."Tidak ada stop-stop! Kamu memang layak dihukum karena beraninya pergi dari rumah seharian tanpa izin suami, lalu pulang dengan laki-laki lain."Gala masih meradang. Dengan kasar ia menarik Naima masuk ke dalam rumah di mana Maya dan anggota keluarga lainnya duduk menunggu di ruang keluarga."Ini menantu Mama sudah pulang. Silakan Mama hukum dia agar besok tidak mengulangi lagi perbuatannya," kata Gala.Maya yang tadi duduk bersilang tangan bergegas berdiri lalu menjambak rambut Naima."Ke mana saja kamu seharian ini, heh? Lihat! Rumah tidak disapu, makan siang, makan malam tidak dimasak. Tumpukan piring kotor segunung. Apa saja yang kamu lakukan di luar sana,
Gala tampak terkejut. Beberapa saat mulutnya terbuka tanpa suara. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku akan mengetahui rahasia itu. Jujur Naima sangat menikmati momen ini. Sayangnya, ia tidak bisa berlama-lama menikmati ekspresi kaget Gala karena beberapa saat kemudian ia justru mendengar suara bentakan Maya."Heh, bicara apa kamu, Naima?"Naima memutar tubuhnya dengan tatapan dingin ke arah Maya. "Apa kata-kataku salah? Kalian menerima uang 'kan dari keluargaku? Gala menikahiku bukan karena suka, tetapi karena dia dibayar. Mengaku saja, tidak perlu ditutupi lagi!""Jangan keterlaluan kamu, Naima! Kamu pikir aku laki-laki seperti apa? Kamu meragukan ketulusanku saat melamarmu? Astaga, ternyata selain pembohong kamu juga nggak tau diri, ya. Sudah dinikahi, malah menuduh suami yang bukan-bukan. Kamu menghinaku, Nai!""Aku tidak pernah menghina kamu, Mas. Justru kamu yang setiap saat menghinaku. Apa aku pernah membalas penghinaanmu? Tidak, 'kan? Aku berusaha untuk tetap berpikir positif
"Pa!" sahut Naima dengan tatapan terluka. "Papa juga tidak percaya kalau aku masih suci?" Naima berharap kedua orang tua angkatnya itu bisa membela harga dirinya yang sedang diinjak-injak oleh suami dan keluarganya.Alih-alih bersimpati Mahesa justru mendengus kesal. "Bagaimana Papa bisa percaya kalau suamimu sendiri tidak percaya? Gala itu lelaki dewasa, Nai. Bukan anak SD yang bisa kamu bohongi. Dia pasti tahu setelah malam pertama kalian." Mahesa mengusap wajahnya sambil mendesah kecewa. "Benar-benar memalukan. Teganya kamu mencoreng arang ke wajah kami, Nai!"Naima semakin terluka. Bahkan Mahesa pun sudah tidak mempercayainya lagi, padahal lelaki itu yang paling mengerti bagaimana karakter Naima selama ini. Jangankan berhubungan intim dengan laki-laki, pacaran pun Naima tidak pernah. Gala adalah lelaki pertama yang Naima percaya untuk memiliki hati dan tubuhnya, tetapi justru hinaan yang ia terima."Kamu pikir mau sampai kapan merahasiakan keadaan kamu itu?" sela Asmita. "Benar ya
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini