"Halo, Perawan Tua!"
Naima terus berjalan tanpa menggubris panggilan yang memancing emosi itu. Baginya panggilan itu seperti sudah menjadi identitas baru sejak usianya menginjak angka tiga puluh, dan dirinya masih berstatus jomblo. Dengan ekspresi datar, Naima duduk di balik meja kerjanya, siap menyambut kedatangan pelanggan yang ingin bertransaksi."Silakan, Pak Gala. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Naima dengan sikap profesional. Meski pria itu baru saja menyapanya dengan sangat tidak sopan, tetapi Naima tetap mempersilakan Gala duduk di kursi kosong yang ada di depannya.Pria yang dipanggil Gala itu mendekat, lalu menyerahkan satu bundel kertas berwarna pink ke hadapan Naima."Betah banget jadi perawan tua. Nggak ada niat untuk nikah, Bu Naima?" Kali ini suara Gala terdengar sopan, tetapi kata-katanya tetap saja terdengar tak nyaman."Maaf, Pak Gala. Bisa berhenti membahas masalah pribadi? Saya rasa, saya mau nikah atau tidak, itu bukan urusan Bapak." Naima menjawab tegas, tetapi tetap memasang senyum di wajahnya.Setelah mengatakan itu, ia kembali fokus pada lembaran invoice yang ada di tangan. Menghitung dengan teliti agar dicocokkan dengan nominal yang tertera di lembaran cek yang Gala bawa. Ia tidak peduli meski Gala terus melancarkan kalimat-kalimat yang terkadang merendahkannya."Buruan nikah, Bu. Jangan terlalu pemilih. Ntar lama-lama itunya berubah jadi asam kandis, lho. Hitam dan berkerut. Hahahaha."Tak tahan dengan kata-kata Gala yang melecehkannya, Naima pun meradang. Ia berdiri, dengan gerakan cepat melayangkan pukulan ke wajah Gala.PLAK!"Bercanda pun ada batasannya, Pak Gala. Meski kita sudah mengenal lama, tidak sewajarnya kata-kata itu Bapak lontarkan kepada saya." Naima mengatur napasnya sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Urusan Bapak sudah selesai, 'kan? Silakan pergi. Untuk seterusnya biar tim kami yang menjemput pembayaran perusahaan kalian." Naima menyerahkan satu bundel kertas berwarna putih yang sudah dibubuhi stempel lunas dan tanda tangan, lalu menunjuk pintu keluar dengan tatapan tajam.Kesabaran Naima habis. Tak pernah dia seemosi ini, terlebih lagi kepada pelanggan tetap toko mereka, tetapi kata-kata Gala tentang area pribadi di tubuhnya sungguh kelewatan.Gala yang terkejut akibat tamparan Naima, hanya bisa terpana dengan pandangan tak berkedip. Dia tidak menyangka, wanita cantik yang selalu tersenyum ramah itu bisa mengerikan juga di saat marah. Gala akui candaannya tadi memang keterlaluan, karena itu dia pun tidak mempermasalahkan tamparan Naima."Wah, ternyata Bu Naima menyeramkan juga kalau marah," ucap Gala sambil mengusap pelan pipinya yang masih panas. "Saya benar-benar hanya bercanda tadi, maaf kalau kata-kata saya menyinggung Bu Naima. Lain kali saya akan lebih berhati-hati."Naima tidak menggubris perkataan Gala. Ia lanjut menyibukkan diri dengan layar monitor yang ada di hadapannya.Sadar dirinya sudah tak dianggap ada, Gala pun beranjak meninggalkan meja kerja Naima, bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman toko.***"Wajahmu kenapa, Bro? Kayak habis kena gampar sama cewek aja." Hamdan, rekan kerjanya menyambut kepulangan Gala ke kantor dengan heran."Sok tau lo," sahut Gala keki."Ya, taulah. Lo habis ditampar kasir Qishan Furniture, 'kan?"Gala mendelik. "Kok lo bisa tau?"Hamdan terkekeh. "Ya, tau lah. Videonya aja udah nyebar ke seantero kantor. Lagian lo sih cari gara-gara dengan Naima. Masih syukur cuma ditampar. Kalau gw yang jadi Naima, udah gw laporin lo ke polisi."Gala berdecak kesal. "Kurang asem juga tuh cewe. Mungkin karena udah tua kali, ya, tamparannya kuat banget, Bro. Berasa ditabok pake barbel gw. Sumpah!"Tawa Hamdan semakin kuat membahana. "Hati-hati, Bro. Di antara kita semua, lo yang paling sering ngeledekin Naima. Ntar jadi jodoh baru tahu rasa, lo!""Idiihh, amit-amit! Dia lebih tua lima tahun, Bro. Landasan pacunya udah kering, susah mendarat.""Sialan. Lo pikir itu cewek bandara apa? Pokoknya gw udah ingatin lo, ya. Siap-siap aja traktir gw kalo omongan gw ini terbukti."Gala bersungut kesal, sementara Hamdan kembali terkekeh. Puas menertawakan Gala yang menadahkan tangan, berdoa agar terhindar berjodoh dengan Naima.***Gala baru saja sampai di rumahnya ketika mendengar suara ribut-ribut di dalam rumah. Suara yang melengking tinggi diiringi segala macam umpatan dan sumpah serapah sudah bisa ia tebak siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Maya, ibu kandungnya sendiri."Ada apa sih, Ma? Berisik banget. Suara Mama kedengaran sampe ke jalan lho. Jangan bikin malu lah!"Gala tak tahan untuk tidak bertanya saat melintasi ruang tengah di mana Maya sedang berkacak pinggang pada Gema, kakak Gala yang nomor dua."Ini Mas-mu bikin ulah lagi, Ga. Ngompas orang lagi. Kali ini yang dia kompas anak sekolah. Apesnya ... tuh bocah anaknya polisi. Mas-mu mau dipenjarain sama bapak anak itu kalau gak bayar uang damai. Gimana Mama nggak marah?"Gema yang dimarahi hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dengan senyum jahil dia justru bertanya pada Gala. "Kamu ada duit nggak, Ga? Nggak banyak, paling dua puluh juta aja, biar bisa damai dengan tuh orang."Bola mata Gala seketika membesar. "Dua puluh juta kamu bilang nggak banyak? Kamu beneran udah gila, Mas. Aku mana ada uang sebanyak itu. Minta tolong Maisya aja. Istri kamu kan karyawan bank, dia pasti bisalah mengakali uang segitu."Gema berdecak kecewa. "Istriku karyawan bank, bukan yang punya bank. Lagi pula dia juga nggak punya uang segitu, tiap bulan gajinya kan dipotong untuk bayar cicilan mobil.""Ya, mo gimana lagi. Itu sih derita lo!""GALA!" Maya membentak Gala, tidak suka melihat sikap tidak sopan Gala pada saudaranya."Mama kok bentak aku, sih? Kan yang aku bilang bener. Mas Gema tuh yang cari masalah. Nggak capek apa bolak-balik berurusan dengan hukum? Masih mending kalau bisa menyelesaikan sendiri, ini malah ngerepotin orang serumah."Gala bersungut-sungut kesal, tidak terima dirinya dibentak oleh sang ibu padahal jelas-jelas Gema-lah yang bersalah."Kira-kira Mas Gilang ada uang nggak, Ma?" Gema bertanya dengan nada putus asa.Kini giliran Maya yang berdecak kesal. "Mas-mu itu mana ada uang, Gema. Dia masih guru honor, gajinya cuma cukup untuk biaya transport sehari-hari. Kalau saja Madina nggak punya usaha sendiri entah gimana rumah tangga mereka."Gema tertunduk. Nasibnya benar-benar di ujung tanduk kali ini."Sebenarnya ada cara cepat untuk mendapatkan uang," cetus Maya tiba-tiba.Gema duduk tegak, mencondongkan tubuhnya ke ke arah Maya, sementara Gala bergeming di samping sang ibu."Tapi ... Mama butuh bantuan Gala untuk mendapatkannya," sambung Maya sambil menatap anak bungsunya itu."Aku?""Ya. Kamu.""Mama nggak nyuruh aku maling, 'kan?""Mama masih waras, Ga!""Memangnya apa yang bisa aku lakukan?"Maya sedikit memutar tubuhnya ke arah Gala. "Kamu tahu Asmita, teman arisan Mama yang suaminya pemilik toko alat musik dan bisnis karaoke itu?"Gala mengangguk. Sebenarnya ia tidak tahu sama sekali siapa yang Maya sebutkan, tetapi ia mengangguk hanya demi mengetahui apa yang ingin dikatakan ibunya."Nah, Asmita ini punya satu orang putri yang belum menikah. Kemarin waktu di arisan dia bilang sedang mencari jodoh untuk anaknya itu. Katanya terserah siapa saja, asal lelaki sehat dan bukan kriminal. Dia nggak peduli kerjanya apa, bahkan kalau laki-laki itu menganggur dia bersedia kasih modal usaha. Segitu pengennya dia putrinya itu menikah.""Ck ... pasti anaknya jelek, makanya nggak laku. Trus ... Mama mau aku nikahin wanita itu?"Maya mengangguk."Nggak mau ah. Yang bener ajalah, Ma. Masak Mama mau jual anak sendiri—aaaauuwwh." Gala mengaduh karena cubitan Maya mendarat di pahanya. "Sakit, Ma!""Makanya difilter itu mulut kalo ngomong. Sembarangan bilang Mama ngejual anak," semprot Maya dengan mata mendelik."Trus apa namanya kalau bukan?""Ga, coba dengerin Mama dulu. Ini serius. Putri Bu Asmita itu cantik, lho. Tapi pendiam. Mungkin itu sebabnya sampai umur 33 tahun masih belum menikah.""33 tahun? Lebih tua lima tahun dari aku berarti? Nggak mau ah, Ma. Masak aku mau Mama nikahin dengan nenek-nenek. Lagian ya, kalo emang orangnya cantik, masak iya nggak ada cowok yang mau. Jangan-jangan dia cacat, Ma. Makanya nggak nikah-nikah.""Hush! Jangan asal bicara kamu. Mama udah pernah ketemu kok dengan anaknya itu. Dibandingkan dengan dua putrinya yang lain, putrinya yang satu ini memang berbeda. Dandanannya lebih sederhana dan tidak banyak bicara. Kesan pertama yang Mama lihat orangnya memang pemalu. Tapi dia beneran normal."Gala memutar matanya dengan malas."Ayolah, Ga. Bantuin Mama. Masak kita harus jual rumah untuk menyelamatkan Gema?""Aku mau bantu, Ma. Tapi ya ... nggak dengan mengorbankan masa depanku juga. Gini-gini aku maunya nikah itu dengan wanita yang aku cintai, bukan karena perjodohan paksa begini. Trus wanita itu juga harus memenuhi beberapa kriteria. Pokoknya ngga bisa sembarangan deh." Gala menolak tanpa berpikir panjang."Mama minta kamu nikahin putrinya Bu Asmita, tetapi 'kan nggak maksa kamu untuk terus hidup bersamanya selama hidup. Kalau kamu merasa nggak cocok, ya udah, kalian bisa cerai lagi."Gala tertegun sejenak. "Emangnya boleh begitu?""Orang nikah kan bisa cerai. Seperti Mama dan Papa kalian. Siapa yang bilang nggak boleh?""Jadi ... maksud Mama. Aku nikah dengan putri Bu Asmita itu, trus setelah beberapa waktu aku boleh ceraikan dia?"Maya mengangguk. "Kalau kamu nggak pengen lanjut, cerai aja. Yang penting, kita udah dapat uang yang dibutuhkan untuk menyelamatkan Mas kamu."Gala manggut-manggut dengan ekspresi berpikir mendengar perkataan Maya."Udah, jangan kebanyakan mikir lo. Terima aja. Kapan lagi nikahin anak orang malah dapat duit. Aku aja waktu nikahin Maisya habis duit lima puluh juta, lho. Lo beruntung, Ga. Nggak keluar duit sepeserpun malah dapat duit. Sikat aja! Jarang-jarang lho ada kesempatan begini." Gema turut memberi semangat. Ya, iyalah dia semangat, karena dialah yang paling berkepentingan di sini."Oke, deh, Ma. Tetapi sebelum itu aku mau lihat foto orangnya dulu."Senyum lebar seketika terbentuk di bibir Maya. Dengan semangat 45, dia mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu memperlihatkan foto putri teman arisannya itu kepada Gala."Lho! Dia ...?!""Hmm ... kamu kenal? Namanya Naima."Gala tersandar lemas. Seketika bayangan wajah Naima dan Hamdan menari-nari di pelupuk matanya. "Mampus. Ketelan ludah sendiri 'kan gw."Satu bulan kemudian.Senyum tak henti-hentinya mengembang, menghiasai wajah Naima yang cantik. Bagaimana tidak, akhirnya ia bisa melepas predikat perawan tua di usia tiga puluh tiga tahun karena saat ini dirinya sudah dipersunting oleh Gala Diandra, seorang pria berparas tampan yang usianya terpaut lima tahun lebih muda. Naima sungguh tak menyangka, di saat dirinya mulai putus asa karena tak jua memiliki pacar, keluarga Gala justru datang untuk melamarnya. Gala yang sudah ia kenal cukup lama bersikap sangat manis hari itu. Menurut pengakuan Gala, selama ini selalu meledek Naima setiap bertemu adalah karena dirinya menyukai Naima. Namun, sikap dingin dan acuh Naima membuatnya ragu untuk mengungkapkan isi hati."Untung saja ibu kita saling kenal, Nai. Makanya aku jadi lebih mudah mendapatkan informasi tentang kamu. Aku harap kamu bersedia memberiku kesempatan untuk menyayangi kamu," ucap Gala di hari lamaran itu.Sikap Gala yang manis, membuat Naima seketika jatuh cinta pada pria berb
Naima semakin bingung mendengar pertanyaan Gala. Bagaimana bisa lelaki itu menuduh dirinya tidak perawan sementara Gala-lah pria pertama di dalam hidupnya. "Jaga kata-kata kamu, Mas! Kamu adalah pria pertama yang menyentuhku, bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu?" Jelas Naima tidak terima tuduhan Gala begitu saja.Gala mendengus serta menyeringai miring."Aku berkata sesuai bukti, Nai. Lihat! Tidak ada setetes pun noda darah di seprai putih ini. Kamu masih mau menyangkal?""Demi Tuhan, Mas. Aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun. Kamu adalah yang pertama. Tolong percaya padaku."Gala menggeleng dengan kuat. "Tidak, Nai. Sorry. Aku tidak percaya karena buktinya tidak sesuai dengan perkataanmu. Siapa pria itu? Apakah orang tuamu tahu? Kalau iya, aku akan menuntut kalian semua, Nai. Ini penipuan namanya, aku tidak terima."Dengan langkah tergesa, Gala memungut pakaiannya dari lantai, lalu mengenakannya dengan cepat."Mas, tunggu. Kamu mau ke mana?" cegah Naima. Mengabaikan
Dunia Naima jungkir balik dalam semalam. Gala yang ia harap akan memberi perhatian dan kasih sayang justru bersikap dingin dan tak acuh. Sikap Gala tetap tak berubah meski Naima sudah menunjukan berbagai artikel yang ia menjelaskan tentang kondisinya. Hari-hari yang Naima jalani di rumah itu bagai neraka karena dirinya benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memanjakan diri sedikit pun. Dari bangun tidur hingga tidur lagi Naima terus disuguhi pekerjaan rumah tangga yang tak habis-habisnya.Bagi Naima, seberat apa pun pekerjaan itu bisa saja ia lakukan dengan baik asal dirinya juga diperlakukan dengan baik. Namun, yang membuat dirinya kecewa adalah sikap ibu mertua dan para iparnya yang semena-mena. Hal itu membuat Naima merasa dirinya bagai babu di rumah mertuanya sendiri."Maaf, Mbak. Bukannya aku sok ngatur atau gimana. Status kita di rumah ini 'kan sama-sama menantu, tetapi mengapa hanya aku yang diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah?" Setelah menahan diri selama seminggu, sore
"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari. "Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins."Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias."Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting."Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya.""Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingi
"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi. 'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua uji
Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina."Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking."MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah sia
Gilang berdiri dengan tangan terkepal di depan Gema. Sementara sepasang matanya memindai wajah Naima dengan tajam."Jangan pedulikan kata-kata Gema, dia hanya asal bicara karena ingin merendahkan mu. Menjauhlah, biar aku yang memberinya pelajaran."Naima mengangguk terbata, tetapi ia tak membuang kesempatan itu dengan sia-sia. Tanpa memedulikan Gema yang kepalanya terluka, Naima pun lari ke kamar, mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu pergi dari rumah itu. Meskipun Gilang memintanya untuk mengabaikan perkataan Gema, tetapi hari kecilnya tetap curiga. 'Apa alasan Gema melontarkan kalimat itu? Haruskah dia mengarang cerita sejauh itu hanya untuk merendahkan mu?' pikir Naima. Untuk menuntaskan rasa ingin tahunya, Naima pun bergegas pergi ke rumah orang tuanya.Sepeninggal Naima, Gilang mencengkeram kerah baju Gema, lalu menariknya ke arah sofa."Apa yang sudah kamu lakukan, Bangsat? Kamu ingin mengacau pernikahan Gala, heh? Kamu lupa kenapa pernikahan itu sampai terjadi? Demi menyelama
Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang."Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah menget
Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan
Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertaut. Gala yang berkabut gairah beradu tatap dengan mata sayu Naima yang baru tidur. "Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apakah masih boleh menginginkan tubuhmu?" Gala mengumpat di dalam hati, jelas kalimat itu tidak berasal dari akal sehatnya melainkan didorong oleh nafsu yang mulai menyelimuti pikirannya."Terlepas dari semua yang terjadi, aku masih istrimu yang sah, Mas."Tidak perlu banyak kata untuk memvalidasi jawaban Naima, menuruti nafsu paling primitif di tubuhnya Gala pun mengakuisisi haknya malam itu. Bagai musafir yang menemukan oase di tengah padang pasir, Gala mengalami pelepasan berkali-kali malam itu. Tubuh Naima yang tak pernah lagi ia jamah sejak malam pertama seolah menjadi candu baru baginya. Gairahnya dengan mudah tersulut meski sudah mengalami pelepasan yang dahsyat."Oh, Naiiiii. Kenapa bisa senikmat iniiii," racau Gala yang kembali berada di puncak kenikmatan.Seluruh aliran darahnya seolah terkumpul di satu titik,
Pernikahan mereka memang tidak dilandasi cinta. Gala sendiri tidak memperlakukan Naima dengan baik, sebagaimana perlakuan suami pada umumnya. Akan tetapi, ketika mendengar Naima dilecehkan oleh saudara kandungnya sendiri, hatinya turut merasa sakit. Harga dirinya sebagai lelaki sangat terusik."Kurang ajar! Apa yang Mas Gema lakukan padamu?" tanya Gala dengan suara menggelegar.Naima pun menceritakan kronologi kejadian pagi tadi tanpa ada yang terlewat satu pun."Untung saja Mas Gilang pulang saat itu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pungkas Naima sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh.Dada Gala membusung menahan amarah. Ia berkacak pinggang, menatap Naima dengan tajam."Kenapa kamu tidak meneleponku saat kejadian? Kamu punya nomor ponselku, 'kan?"Kepala Naima bergerak mengangguk. "Aku panik waktu itu, nggak tahu harus berbuat apa. Aku juga lupa kalau ponselku sedang dicharge di kamar. Waktu itu di dalam kepalaku hanya ada satu kata, pergi dari hadapan Gema
"Malam ini juga, di depan kedua orang tuamu dan keluargaku ...." Gala menjeda kalimatnya beberapa saat.'Kamu aku talak!'Ingin sekali Gala mengatakan itu di depan wajah Naima, tetapi sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya. Sebuah ide yang ia yakini akan menguntungkan dirinya dan juga keluarganya yang lain. Hal itu membuat keputusannya terhadap Naima pun berubah dalam beberapa detik.Naima menunggu lanjutan kalimat Gala dengan pasrah. Diam-diam ia mulai menyusun rencana hidupnya sebagai antisipasi kalau-kalau Gala mengucapkan kalimat sakral itu."Aku beri kamu kesempatan pertama dan terakhir."Ruangan itu seketika hening. Masing-masing mencerna kalimat Gala dengan perasaan tak percaya."Ga ... kamu yakin?" tanya Maya dengan tatapan menyelidik. Ia tidak habis pikir kenapa Gala tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk menceraikan Naima. Padahal kalau dia mengambil keputusan itu tidak akan ada yang menentang. Bahkan Mahesa pun tidak akan menuntut uangnya kembali karena perceraian ini