Selagi asyik mengobrol dengan Pak Jaka, tiba-tiba teman guru lainnya yang sudah cukup dekat denganku masuk ke ruang guru. Dia Bu Kiki, guru Fisika. "Cieee, ada yang ngobrol berdua aja di sini." Dia yang ceplas-ceplos rada centil dengan tubuh mungil dan rambut tergerai itu nampak memandang dan menggoda kami bergantian. "Kami tidak ada kelas pagi, jadi aku dan bu Zubaidah mengobrol tentang kurikulum dan murid-murid.""Oh ya, Aku khawatir ini adalah bentuk frekuensi alam untuk mempertemukan dua orang yang sedang melajang.""Ya ampun Bu Kiki, yang benar saja...." "Hahaha. Aku benar-benar merasa kaku dengan panggilan bapak dan ibu, tapi karena kita berada di lingkungan formal... ya sudahlah. Di luar sana tidak perlu saling memanggil dengan kata itu, aneh kedengarannya karena kita masih muda." Dia masih berkata dengan kedua tangannya yang bergerak centil. "Ya aku setuju denganmu," ujar Pak Jaka sambil membalas Kiki tapi tatapan matanya terus menatap pada diri ini, kiki yang menyadarin
Dengan geramnya pria itu menatapku, wajahnya menegang dengan bola mata yang merah menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Dari balik kisi-kisi pintu halaman, aku bisa melihat dengan jelas bahwa ia benar-benar terbakar oleh kemurkaannya."Ada denganmu, kenapa kau terbakar seperti itu?!" tanyaku selepas memastikan bahwa aku telah mengunci pintu gerbang dari dalam. "Kau harusnya menjaga dirimu jawabnya dengan berapi-api."Mungkin akhirnya kau menyadari ternyata seperti itulah sakit yang kurasakan begitu mengetahui kau menikahi wanita lain tanpa izinku." Lelaki itu terbelalak, sedang aku hanya tersenyum kemudian beranjak masuk ke dalam rumah, kuajak anakku yang sejak tadi hanya menatap ayahnya dengan ekspresi tidak habis pikir. *Menjelang akhir musim penghujan, gerimis tidak pernah berhenti di pagi hari, hal demikian membuatku sedikit kesal karena berangkat kerja menggunakan motor akan menyulitkanku, sulitnya berkendara mengenakan jas hujan sementara jalan-jalan bisa saja tergenang dan
Tertegun diri ini mendengarkan jawabannya, melihat matanya yang menatapku tanpa berkedip aku langsung menundukkan kepala agar aku bisa mengendalikan diri dan perasaanku."Saya kagum atas cerita hidup dan bagai mana perjuangan Mbak Ida. Namun saya tidak akan berani untuk bersikap lebih jauh dari itu. Permisi, saya akan ke kelas dulu."Tidak kujawab ucapannya melainkan hanya kuperhatikan gerak-geriknya dan bagaimana cara ia tersenyum lalu meninggalkanku sendiri yang di ruangan guru. Setelah beberapa saat, aku kembali pada kesadaranku bahwa aku juga harus menuju ke kelas dan memberi pelajaran pada anak-anak. *Mungkin pengakuannya mengubah sudut pandang atau menciptakan kecanduan diantara kami berdua, setidaknya itu yang ku pikirkan dari pagi sampai sampai jam kelas berakhir, lalu ada jeda istirahat untuk salat dzuhur dan makan. Kupikir dia tidak akan berani menatapku lagi, tapi dari seberang lapangan tadi, saat ia berjalan bersama anak-anak didiknya, lelaki itu sempat tersenyum kepada
Lalu beberapa hari setelah kami pulang bersama.*Aku adalah tipikal anak yang selalu menceritakan segala sesuatu pada orang tuanya, apapun yang mengganggu atau terjadi dalam hidupku pasti semuanya akan kuceritakan pada ayah dan ibuku. Seperti yang terjadi sekarang, aku ke rumah mereka setelah kejadian 3 hari yang lalu, di mana guru bahasa Inggris bernama Jaka berniat untuk menghitbah diri ini. Aku pikir aku harus segera berdiskusi pada orang tuaku dan menceritakan segalanya serta mendengar pendapat mereka."Bu, Apakah salah bila ada yang menyukai saya?"ibu yang sedang menuangkan teh ke dalam cangkir langsung menatapku dia mengernyitkan alisnya lalu tersenyum beberapa detik kemudian."Kenapa, Siapa yang menyukaimu?""Ada guru bahasa Inggris di sekolah saya, tapi usianya lebih muda 2 tahun, dia duda dengan dua anak, istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu.""Oh, menurutmu dia laki-laki seperti apa?" Ibuku balik bertanya kepadaku. "Dia ramah dan santun, cerdas serta beretika.""Ba
Setelah puas bercakap-cakap dengan orang tuaku, lelaki itu kemudian meminta diri untuk izin pamit. Ayah mengizinkannya kemudian Mas Jaka menyalami orang tuaku dan berjanji akan akan datang kembali di waktu yang tepat bersama keluarga besar dan orang tuanya. "Antarkan dia ke depan," bisik ibu."Iya Bu.""Ayah dan ibu tidak ada kepadanya tapi kalian punya tugas untuk meyakinkan anak masing-masing.""Aku mengerti, Bu."Kuiringi langkah kaki Mas Jaka yang hendak meninggalkan halaman rumah ayahku, kau antarkan dia sampai trotoar di mana ia memarkirkan motor miliknya. "Saya tidak menyangka kalau Mas Jaka akan datang dengan cepat.""Aku tidak mau menunda-nunda.""Terima kasih," ucapku lirih."Apa hanya ucapan itu?" tanyanya dengan senyum dikulum."Iya, hanya itu." Aku yang tidak bisa berbahasa-basi dalam situasi cowok yang seperti itu hanya berkata dengan lirih."Uhm, baiklah," ujarnya mengangguk, tatapan matanya berseri kemudian dia naik ke motornya dan meluncur pergi. *Dan kehebohan it
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat karena khawatir tentang keadaan anakku yang katanya jatuh di jam olahraga. Tanpa mengerjakan modul ajar yang sudah kejar tayang, kupilih untuk mengakhiri jam kerja dan segera meluncur pulang ke rumah."Aku ingin ikut denganmu untuk melihat keadaan Elina.""Tidak usah sekarang.""Tidak, Kalau tidak sekarang kapan lagi?" Ucapnya dengan tegas.Lelaki itu menarik motornya dari parkiran lalu mengikuti motorku yang meluncur pulang. Aku tidak punya alasan untuk mencegah kehendaknya. Aku tidak tahu persis kapan waktu yang tepat dia akan berani kuperkenalkan pada Elina, tapi, mungkin sekarang sudah waktunya dan aku tidak punya pilihan selain pasrah dan membiarkan segala sesuatu mengalir sesuai alurnya. *Kuhentikan motorku lalu kubuka pintu gerbang rumah dan membiarkan motor Mas Jaka masuk ke dalam garasi. Lelaki itu juga mengambilkan motorku dan merapikannya sementara aku langsung meluncur masuk ke ruang tamu, kekhawatiran yang sejak tadi menggelayuti per
Baru kali ini dalam hidupku, aku benar-benar bertengkar hebat dengan Mas Hisyam, kami saling mengatai, saling berteriak dan menghina diri masing masing. Selepas ketegangan itu, pria yang tak punya alasan untuk bertahan itu, pergi meninggalkan rumah sambil menggebrak pintu gerbang dengan kasar. Tinggallah kami bertiga, aku, Jaka dan Elina. "Dek, maaf ya, Om tidak bermaksud untuk membuat Ayah dan ibumu ribut.""Ga apa, bukan salah Om." Anakku menggeleng dengan penuh pengertian. "Om berjanji ini yang pertama dan terakhir kalinya, ke depannya tidak akan ada lagi pertengkaran dan keributan, om janji," ujar Mas Jaka sambil menggenggam tangan Elina. "Iya, Om."Usai bicara dengan Elina, mas Jaka pamit undur diri dari rumah kami. Aku antarkan dia ke gerbang, dan menyaksikan kepergiannya menggunakan motor besar. "Maaf ya, kamu harus terlibat dalam konflik kami.""Itu memang tidak bisa dihindari, mau tidak mau itu pasti terjadi.""Sekali lagi Maaf."Aku yang merasa sangat malu hanya bisa mi
Sabtu sore,Mas Jaka datang menjemput kami untuk diperkenalkan pada keluarga besar dan orang tuanya, jadi sejak ashar kami sudah bersiap-siap dengan memakai baju yang pantas dan beberapa bawaan kecil untuk diberikan pada keluarga Mas Jaka. "Apa kalian sudah siap berangkat?"Tanya Mas Jaka setelah mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah kami."Sudah.""Kalau begitu ayo.""Tunggu dulu Om," ujar Elina menyela."Ada apa Nak?"Putriku yang baru mau naik kelas 6 SD itu memberi isyarat agar Mas Jaka duduk di dekatnya di sofa ruang tamu. "Katakan, apa ada sesuatu yang membuatmu terganggu.""Om kan, lebih muda dari bunda, apa tidak masalah. Apa keluarga Om tidak akan keberatan?""Om tidak tahu apa reaksi keluargaku, tapi sekarang, kita dalam rangka untuk berkenalan dan meyakinkan mereka kalau kita bisa jadi keluarga dan baik-baik saja.""Beberapa kali Ayahku menghina Om. Apa itu tidak apa-apa?""Aku akan bersabar dengan perbuatannya, tapi jika aku tidak bisa menahannya lagi maka aku akan