“RADIT, aku tidak bisa menginap di sini. Sebentar lagi ibuku pasti akan telepon…”
Radit masih tetap tersenyum. “Indri sayang, kita akan merayakan hari ulang tahunmu di sini. Aku sudah memesan makanan yang enak buat kita malam ini.”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku bekerja untuk mencari alasan jika ibuku menelepon. Hari hampir maghrib, dan jika aku belum muncul juga di rumah, ibu otomatis akan menelepon.
Radit menuang segelas teh hangat untukku. Rupanya sudah disediakan di sebuah water pot. Radit pasti sudah merencanakan semua ini.
“Radit, kita tidak akan nginap di sini kan, malam ini?” tanyaku masih berharap kalau semua ini hanya canda yang dibuatnya.
Radit menarikku lalu memelukku dengan erat. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku, membuatku kadang-kadang merinding, namun lama-lama aku menikmatinya. Bibirnya mulai mengecup bibirku perlahan, namun makin lama makin ganas dan liar.
Mendapat perlakuan mesra itu, secara naluri aku pun mulai membalasnya. Terus-terang, aku menikmati setiap ciuman dan rabaan Radit. Aku cewek normal, dan mungkin termasuk yang ‘doyan’, seperti kata teman-temanku, karena lekukan-lekukan tubuhku -kata teman-teman- menunjukkan itu.
“Kamu ini termasuk yang gairah tinggi”, kata Erin suatu ketika.
“Maksudmu?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Ya, itu… doyan… hahaha…”
“Doyan apa?”
“Doyan begituan lah… doyan seks!”
“Hush, ngawur saja kamu. Dari mana tahunya?”
“Ya, itu… payudaramu yang montok, bokongmu yang semok, dan ini nih… bulu-bulu halus di tangan dan kakimu…” jelas Erin sok tahu, atau mungkin dia membacanya di Internet atau di mana.
“Ah, kamu sok tahu saja,” kataku waktu itu, walaupun aku sendiri merasakan ada benarnya apa yang disampaikan Erin itu.
Lama aku dan Radit berpelukan dan berciuman di atas sofa itu. Nafsu kami sudah menggebu-gebu. Apalagi sepanjang hari tadi aku sudah menikmati refreshing sehingga badanku kembali bugar, maka gairahku memang mudah untuk dipicu.
Tiba-tiba terdengar suara azan maghrib di kejauhan. Aku mendorong Radit lalu bangkit merapikan bajuku kembali.
“Ayo kita pulang,” ajakku sambil mengatur napas. Aku rasa, sudah cukuplah bermesraan kali ini, sudah puas. Tidak ada yang melihat dan mengganggu.
Tetapi Radit kelihatan seperti orang putus asa. Rupanya nafsu birahinya sudah sampai di ubun-ubun. Bahaya! Makanya aku harus memaksa Radit pulang.
Tiba-tiba ponselku berdering. Pasti ibuku yang menelepon.
“Iya, ibu. Ini aku lagi mampir ke rumah teman dulu. Habis maghrib baru pulang…” hanya itu yang bisa aku katakan kepada ibu. Untunglah aku sudah sempat mengatur napas tadi, sehingga suaraku tidak terdengar ngos-ngosan. Dan untung juga, ibu tahu kalau aku sama teman-temanku main ke Songgoriti hari ini dalam rangka ulang tahunku.
Setelah maghrib, bapak penjaga villa tadi datang bersama beberapa orang mengantarkan makanan yang dipesan Radit. Ternyata banyak sekali, dan ada kue ulang tahun juga!
Aku foto kue ulang tahun dan makanan yang banyak itu, lalu aku kirim ke ibu via W******p. Aku tulis pesannya, “Teman-teman sudah menyediakan kue dan makanan. Aku pulang agak malaman ya bu.”
Dengan gambar dan pesan itu, aku jadi mempunyai waktu yang cukup longgar, tidak perlu memaksa Radit pulang sekarang juga.
Sepeninggal bapak penjaga dan teman-temannya, kami lalu makan bersama. Tidak lupa kami juga mengadakan acara tiup lilin di kue ultah. Kali ini, aku akui Radit cukup romantis.
Tetapi ketika aku mengajaknya pulang, Radit tetap tidak mau.
“Indri, kita kan baru selesai makan,” jawabnya.
“Iya, tapi ini sudah malam banget…”
Sejenak Radit terdiam. “Oke, kita ke atas dulu,” katanya mengajak ke lantai atas villa. “Kita nikmati pemandangan malam yang indah di situ.”
Kami lalu ke lantai atas dan duduk di teras. Luar biasa view kota Malang yang gemerlap nun jauh di bawah sana.
“Bagus, kan?” tanya Radit.
“Iya…”
Radit lalu mengambil minuman hangat. “Nih minum, biar nggak masuk angin.”
“Apa ini?” tanyaku karena mencium aroma seperti rempah dalam minuman itu.
“Itu seperti jamu, biasa kita minum kalau malam-malam di sini,” jelas Radit.
Aku lalu mencicipinya, terasa enak, manis dan segar, dan aroma rempahnya yang khas itu memberi sugesti yang lain.
“Ayo habisin,” desak Radit. Dia juga meminum dari gelasnya -dalam beberapa teguk sampai habis.
Setelah minuman habis, aku merasakan aliran darahku menjadi lebih kencang, dadaku berdebar, dan kepalaku agak pusing. Apakah karena minuman itu?
“Radit, aku kok pusing setelah meminum itu…”
Radit mendekatiku, lalu menuntunku ke dalam. “Mungkin karena kamu baru pertama mencobanya,” kata Radit.
Karena kepalaku agak pusing, Radit membaringkanku di tempat tidur dalam kamar. Dia sendiri berbaring di sebelahku sambil meraba-raba badanku dan menciumi bibirku.
Mungkin benar ada sesuatu di dalam minuman itu, jadi aku merasa seperti fly, melayang. Ciuman dan rabaan Radit yang mesra membuatku merasa nyaman, dan aku menikmatinya.
Di situlah malapetaka itu kemudian terjadi.
Kami berdua kemudian berlomba di dalam badai asmara yang sangat menghanyutkan. Semuanya menjadi terangkat, terhempas, berkejar-kejaran, hingga kami berdua kelelahan dan lemas.
Ketika aku sadar dari mimpi yang melelahkan itu, aku mendapatkan diriku dalam keadaan telanjang, begitu juga Radit yang tergolek di sebelahku!
“Radit! Radit! Apa yang kamu lakukan?” teriakku membangunkan Radit. Seketika aku pun menangis karena aku tahu apa yang sudah terjadi. Aku memukuli dan mencakari Radit, lalu memaksanya mengantarkanku pulang malam itu juga.
Tengah malam kami sampai di rumahku, dan Radit tidak mau mengantar sampai ke rumah. Dia tidak turun dari mobil.
Bapak dan ibuku yang terbangun membukakan pintu, hanya bisa bingung karena aku mengetok pintu dengan keras, lalu langsung lari ke dalam kamar.
Ibu yang menyusulku ke kamar tidak bisa masuk karena pintu kamar langsung aku kunci.
“Ndri… Indri…” panggil ibuku sambil mengetok pintu kamar, tetapi aku tidak punya tenaga dan keberanian untuk menjawabnya, apalagi membukakan pintu.
Aku telah rusak! Aku sudah tidak perawan lagi! Aku sudah melakukan perbuatan itu dengan Radit! Aku kotor! Aku berdosa!
Demikianlah aku berteriak-teriak tanpa suara, menangis, membenamkan mukaku ke dalam bantal, dan rasanya seperti ingin menembus bantal dan kasurku untuk pergi ke dunia lain di mana tidak ada Radit, tidak ada teman-temanku, dan juga tidak ada orang tuaku!
Entah berapa lama aku dalam keadaan putus asa dan menyesal, sehingga aku tertidur --atau mungkin pingsan-- sampai aku terbangun oleh ketukan pintu dan panggilan dari ibuku.
“Indri… Indri… buka pintunya, nduk…”
Aku kasihan pada ibuku. Aku sudah ternoda. Kasihan kepada ibu yang selalu merawat dan menjagaku selama ini…
Sebelum membuka pintu kamar, aku merapikan wajah dan rambutku agar tidak terlihat kusut oleh ibu.
“Bu, maaf… semalam anak-anak ngerjain aku, jadi aku marah…”
“Duh, anak-anak ini…” hanya itu keluhan dari mulut ibu. Mungkin ibu maklum kelakuan anak-anak muda sekarang, suka membully dan prank terhadap temannya di saat ultah. Bukannya berpesta yang menyenangkan, tetapi malah menjadi ajang untuk ngerjain teman!
Tetapi hari itu, Senin, aku tidak bisa masuk kuliah! Aku tidak punya keberanian untuk bertemu teman-temanku. Kata ibu, karena semalam tidak bisa menghubungi aku, maka ibu menelepon Fien. Fien bilang kalau mereka pulangnya terpisah dari aku yang dijemput Radit!
Ah, apakah sebenarnya ibu tahu kalau aku tidak berpesta dengan teman-temanku? Sampai sekarang, aku belum tahu apa yang sebenarnya ibu ketahui, karena aku tidak pernah berani menanyakannya.
Sialan si Radit! Ternyata dia mematikan ponselku sehingga ibu tidak bisa meneleponku!
Hari Selasa, aku masih belum mempunyai keberanian untuk ke kampus. Aku tidak ingin ketemu Radit!
“Nduk, kamu kok nggak kuliah?” tanya ibu.
“Mmm… anu, bu, aku masih marah sama teman-temanku!”
“Jangan begitu, kan kamu yang rugi sendiri…” kata ibu.
“Iya, bu. Besok aku masuk, kok.”
Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata Radit!
“Indri sayang… jangan lama-lama dong marahnya. Udah kangen nih…” rayunya via telepon, membuat aku jadi galau!
BESOKNYA aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku. Semuanya menjadi tahu kalau aku pulang malam gara-gara ibu menelepon Fien!“Kamu ke mana sama Radit?”“Kok tidak langsung pulang?”“Kenapa tidak bisa dihubungi?”Aku terpaksa mengarang cerita, dan mencoba bersikap biasa. Padahal dalam bathinku aku sangat merana.Ketika bertemu Radit, aku tidak tahu harus senang atau marah. Sebagai wanita di kampus ini, aku mungkin dipandang beruntung karena bisa dekat dengan Radit. Radit juga seorang pria yang tampan sehingga menjadi idola semua wanita, membuat kita jatuh cinta, memberikan kasih sayang kepadanya. Tetapi Radit telah mengambil mahkota yang menjadi milikku satu-satunya! Tidak ada lagi yang akan aku jaga dan simpan, yang akan aku persembahkan kepada laki-laki yang menjadi suamiku di malam pertama, malam pengantin kami nanti.Kesimpulannya, Radit harus menjadi suamiku!Apakah bisa? M
TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!“Bengsek kamu,” kataku putus asa.Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jel
MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak
AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak u
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel
SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i
DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec
“TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda
MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d