AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).
Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.
Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!
“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.
“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak urusan ini karena dia tidak tahu-menahu perbuatan anaknya. Lagi pula mereka tidak bisa mengkonfirmasi kebenaran informasi yang sepihak. Tetapi, entah bagaimana, muncul Naren yang menyatakan bahwa dia akan mewakili adiknya, mengambil alih tanggung jawab itu untuk menikahimu.” Papar om Aryo panjang lebar.
Aku terdiam cukup lama untuk dapat mencerna informasi itu, membuat bapakku menjadi tidak sabar. “Apalagi yang kamu pikirkan, Indri? Kamu sudah melakukan kesalahan, dan sekarang kamu harus menanggung akibatnya!”
“Tapi, pak…” aku ingin membantah, aku tidak bisa menerima pernikahan yang tidak karuan ini.
“Tapi apa?” sergah bapakku tidak senang.
Aku tidak bisa meneruskan kata-kataku. Bagi bapak, aku sudah tidak berhak lagi atas kehidupanku, dan harus menerima nasib apa adanya. Aku menjadi sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Bapakku benar-benar sudah ingin membuang anaknya yang berdosa ini, dan lebih mementingkan nama baik keluarga…
Untunglah ibuku masih ada hati dan mau membelaku. “Pak, Indri nanti yang akan menjalani kehidupan rumah-tangganya. Bagaimana bisa kita serahkan dia kepada orang yang asing baginya?”
Namun bapakku tidak mau mengalah. “Seharusnya dia memikirkan itu sebelum dia melakukan perbuatan nista itu!”
Ibu masih berusaha. “Iya pak, Indri bersalah. Tetapi kita akan…”
“Ah, sudah!” bentak bapak sehingga ibu menjadi terdiam. “Pokoknya Indri secepatnya menikah, punya suami, sebelum dia melahirkan anak haramnya itu!”
Ibu menghela napas. Lalu kepada om Aryo, ibu berkata, “Dik Aryo, apakah tidak bisa diusahakan lagi… menemukan nak Radit. Bujuk dia baik-baik agar mempertanggung-jawabkan perbuatannya.”
Om Aryo menjawab, “Iya, mbakyu. Sebenarnya team kami masih terus memburu Radit. Mudah-mudahan secepatnya ditemukan, dan dia mau bertanggung jawab. Tetapi Radit ini sudah menghilang sejak dua hari yang lalu, tidak pulang ke rumah, dan juga tidak bisa dihubungi. Mungkin benar dia kabur setelah tahu kami akan datang ke rumahnya untuk menuntut tanggung jawabnya. Bahkan dia tidak terlihat di kampus juga. Teman-temannya juga tidak tahu dia di mana!”
Hening. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya sesekali terdengar suara helaan napas bapak yang tidak sabar.
“Apakah orang tuanya… Radit, eh… siapa, Naren… sudah setuju?” tanya bapak ingin ketegasan.
“Iya, betul, mas. Pak Handoyo, orang tua Radit dan Naren, sudah setuju,” jawab om Aryo.
“Tapi… kok aneh juga, ya…” gumam bapak pelan.
“Maksud mas?” tanya om Aryo.
“Pak Handoyo itu… yang punya perusahaan Handy Jaya, kan?” bapak malah terus bertanya.
“Betul, mas,” jawab om Aryo. “Dia juga memiliki beberapa BPR di kota-kota di wilayah Jawa Timur!”
“Mengapa dia begitu mudah menyetujui anaknya kawin begitu saja?”
“Wah, kalau yang itu aku kurang tahu, mas. Memang jika dipikir itu terlalu mudah. Kami hanya sedikit menggertaknya untuk membawa perkara ini ke wilayah hukum pidana, yaitu perkosaan, jika apa yang diceritakan Indri itu benar. Tetapi itu lemah sekali, karena tidak ada bukti visum, dan tidak ada saksi.”
“Hmm… jadi seperti apa perkawinan yang mereka inginkan?” tanya bapak lagi.
“Hal yang itu belum kami rumuskan. Malam ini aku ingin mendapat persetujuan Indri dulu, dan juga keinginan mas dan mbakyu,” jawab om Aryo.
Bapak degan cepat menyahut. “Jelas Indri harus mau!”
“Pak…” tegur ibu.
“Apa lagi? Ini satu-satunya jalan keluar!” tegas bapak.
Aku memberanikan diri bertanya kepada om Aryo. “Om, apakah… pernikahan ini hanya sandiwara saja?”
Mendengar pertanyaanku, om Aryo tersenyum. Aku merasakan kasih sayangnya masih tetap ada dalam senyum pamanku itu. “Nduk… aku kasihan padamu. Om juga kan punya anak perempuan, Fitri. Om akan lebih ketat lagi mengawasi dia, supaya tidak terulang kejadian yang menimpamu ini.”
Om Aryo menarik napas dulu sebelum melanjutkan. “Kamu cerdas. Kita bisa membuat pernikahan ini sebagai sandiwara saja, jika itu yang kamu mau, hanya untuk menutupi rasa malu karena kehamilanmu yang di luar nikah.”
“Terima kasih, om,” sahutku tulus berterima kasih.
“Apa bisa begitu?” tanya bapak kepada om Aryo.
“Aku akan mencoba membicarakan ini dengan Naren dan pak Handoyo. Tetapi, bagaimanapun, pernikahan ini adalah resmi, baik berdasarkan agama maupun negara. Terserah nanti Indri memperlakukannya seperti apa, itu terserah mereka nanti.”
“Nduk…” panggil ibu sambil meraihku. Aku tahu ibu mulai merasa sedih akan kehilangan anak perempuannya, meskipun pernikahan ini hanya sandiwara dan terpaksa dilakukan. Ibu pasti sedih, pasti trenyuh hatinya melihat nasibku yang malang.
“Yah, ini semua apa boleh buat,” gumam bapak. Bagaimanapun tegar dan kerasnya pendirian bapak, namun tetaplah hatinya akan iba juga melepaskan anak perempuannya, menikah sebelum waktunya, dan dalam keadaan yang demikian ternoda. Bapak tentu malu dengan keluarga besarnya, namun akan lebih malu lagi jika anaknya melahirkan seorang diri tanpa suami. Itu benar-benar akan mencoreng mukanya di mata keluarga maupun masyarakat.
“Nasi sudah menjadi bubur…” terdengar ayah bergumam lagi. “Kamu tentu tidak bisa mendapatkan pernikahan yang istimewa, Ndri. Bapak tidak siap, dan bapak juga malu untuk merayakannya pernikahan yang mendadak ini…”
Kini bapak berlinang air mata. Ketegarannya sudah sampai ambang batas. Deburan ombak dan gelombang yang melandanya dengan keras, mengikis karang di hati dan egonya.
Aku menyesal… menyesal… tetapi apa yang bisa aku lakukan untuk membalikkan waktu dan memperbaiki kesalahanku?
“Sudahlah mas, mbakyu, dan kamu juga Indri… kita berharap semua bisa berjalan lancar…” ujar om Aryo menasehati.
Tiba-tiba ponsel om Aryo berdering. “Ya… " jawab om Aryo mengangkat teleponnya. Namun mendadak om Aryo seperti berteriak kaget. "Apa??”
Om Aryo menutup telepon itu setelah mendengarkan berita dari penelepon. Dia terlihat tegang. Katanya, “Radit ditemukan!”
Aku ikut berdebar mendengar khabar itu. Bisakah om Aryo dan kawan-kawannya membujuk Radit untuk mau menikah denganku? Jika memang harus nikah, tentu aku lebih memilih nikah dengan Radit ketimbang dengan mas Naren. Paling tidak, anakku yang akan lahir nanti mempunyai ayah yang sebenarnya.
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke