DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit.
‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu.
“Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis.
“Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak.
“Bapak… Ndri… bapak…”
“Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik.
“Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…”
Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang.
“Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau.
“Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan.
Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec
Dear pembaca yth. Terima kasih ya sudah mengikuti cerita ini sampai sejauh ini. Jangan lupa memberi VOTE dan komen, agar saya semangat menulis lanjutannya... terima kasih.
SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i
SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel
Hai, selamat berjumpa lagi dalam sebuah novel by Almirah.Kali ini aku akan menceritakan kisahku, seorang perempuan, yang mengalami berbagai kepahitan hidup gara-gara mempunyai pacar yang brengsek. Aku 'terpaksa' menceritakan ini karena kebetulan ada lomba di GoodNovel bertajuk 'Kekasih Brengsekku', dan aku pikir kisahku ini sesuai dengan tema lomba itu. Mudah-mudahan dengan dukungan pembaca yang budiman, novel ini pantas menjadi pemenangnya.Kisahku akan kumulai dari peristiwa yang paling kusesali dalam hidupku, yaitu ketika aku positif hamil padahal aku belum menikah! Dari sinilah semua rentetan peristiwa terjadi, di mana aku ‘terpaksa’ nikah dengan kakak dari pacarku, masuk dalam keluarga terkaya di kotaku, dan tinggal serumah dengan ‘mantan’ pacarku.Alur cerita kehidupanku menjadi penuh kelok. Aku kemudian menjadi pembunuh, lalu menjadi janda, dan mengalami aneka pahitnya kehidupan. Mudah-mudahan kalian suka dengan alur kisah ini, sa
NAMAKU Indri, umur 20, masih kuliah, tetapi aku sekarang hamil. Aku sudah melakukan beberapa kali tes karena tidak percaya, tetapi hasilnya selalu positif.Aku mencurigai diriku hamil karena menstruasiku tidak kunjung muncul, dan tanda-tanda kehamilan semakin banyak. Aku jelas stres, karena aku belum menikah!Aku sudah bilang ke Radit, pacarku, tetapi Radit tidak percaya, atau tidak mau percaya.“Dit, kamu jangan gitu dong, ini gimana?” tanyaku ke Radit via telepon. Aku tidak bisa menghadapi ini sendiri.“Kalau kamu memang hamil, gugurin saja!” kata Radit. Enak sekali dia ngomong, kayak ini peristiwa biasa saja.“Radit, kamu jangan seenaknya ngomong!” aku menjadi marah. “Kamu pikir menggugurkan kandungan itu gampang, apa?”“Ya, terserah kamu!” jawab Radit.Aku jadi putus asa dan sedih. “Radit, please. Kamu jangan gitu dong, kamu kan yang berbuat, jadi kamu haru
SEBENARNYA tidak ada prosesi menjadi pacar yang resmi antara aku dan Radit, namun sejak peristiwa mesra dalam bioskop itu, aku dan Radit jadi sering berciuman. Bukan hanya cium pipi, tetapi juga ciuman bibir yang menggelora. Radit suka banget mencium dan memelukku dengan erat jika ada kesempatan tidak dilihat orang.Kami melalui hari-hari dengan bahagia, sehingga teman-temanku sudah menganggap kami resmi berpacaran. Kami sering keluar bersama, dan makin sering nonton di bioskop karena kesempatan itu selalu digunakan untuk berciuman.Aku menjadi semakin tahu kebiasaan Radit. Dia nafsunya besar, dan sudah ngajak-ngajak nginap di hotel. Katanya, biar kalau berciuman tidak takut kelihatan orang. Padahal aku tahu maksudnya, tetapi aku selalu menolak karena kami belum menikah.Radit suka meraba-raba bagian tubuhku, membuat aku jadi terangsang. Dia selalu menjamah payudara, padahal itu bagian paling sensitif yang membuat aku bangkit birahi. Kalau sudah begitu aku akan
“RADIT, aku tidak bisa menginap di sini. Sebentar lagi ibuku pasti akan telepon…”Radit masih tetap tersenyum. “Indri sayang, kita akan merayakan hari ulang tahunmu di sini. Aku sudah memesan makanan yang enak buat kita malam ini.”Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku bekerja untuk mencari alasan jika ibuku menelepon. Hari hampir maghrib, dan jika aku belum muncul juga di rumah, ibu otomatis akan menelepon.Radit menuang segelas teh hangat untukku. Rupanya sudah disediakan di sebuah water pot. Radit pasti sudah merencanakan semua ini.“Radit, kita tidak akan nginap di sini kan, malam ini?” tanyaku masih berharap kalau semua ini hanya canda yang dibuatnya.Radit menarikku lalu memelukku dengan erat. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku, membuatku kadang-kadang merinding, namun lama-lama aku menikmatinya. Bibirnya mulai mengecup bibirku perlahan, namun makin lama makin ganas dan liar.Mendapat
BESOKNYA aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku. Semuanya menjadi tahu kalau aku pulang malam gara-gara ibu menelepon Fien!“Kamu ke mana sama Radit?”“Kok tidak langsung pulang?”“Kenapa tidak bisa dihubungi?”Aku terpaksa mengarang cerita, dan mencoba bersikap biasa. Padahal dalam bathinku aku sangat merana.Ketika bertemu Radit, aku tidak tahu harus senang atau marah. Sebagai wanita di kampus ini, aku mungkin dipandang beruntung karena bisa dekat dengan Radit. Radit juga seorang pria yang tampan sehingga menjadi idola semua wanita, membuat kita jatuh cinta, memberikan kasih sayang kepadanya. Tetapi Radit telah mengambil mahkota yang menjadi milikku satu-satunya! Tidak ada lagi yang akan aku jaga dan simpan, yang akan aku persembahkan kepada laki-laki yang menjadi suamiku di malam pertama, malam pengantin kami nanti.Kesimpulannya, Radit harus menjadi suamiku!Apakah bisa? M
TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!“Bengsek kamu,” kataku putus asa.Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jel