SEBENARNYA tidak ada prosesi menjadi pacar yang resmi antara aku dan Radit, namun sejak peristiwa mesra dalam bioskop itu, aku dan Radit jadi sering berciuman. Bukan hanya cium pipi, tetapi juga ciuman bibir yang menggelora. Radit suka banget mencium dan memelukku dengan erat jika ada kesempatan tidak dilihat orang.
Kami melalui hari-hari dengan bahagia, sehingga teman-temanku sudah menganggap kami resmi berpacaran. Kami sering keluar bersama, dan makin sering nonton di bioskop karena kesempatan itu selalu digunakan untuk berciuman.
Aku menjadi semakin tahu kebiasaan Radit. Dia nafsunya besar, dan sudah ngajak-ngajak nginap di hotel. Katanya, biar kalau berciuman tidak takut kelihatan orang. Padahal aku tahu maksudnya, tetapi aku selalu menolak karena kami belum menikah.
Radit suka meraba-raba bagian tubuhku, membuat aku jadi terangsang. Dia selalu menjamah payudara, padahal itu bagian paling sensitif yang membuat aku bangkit birahi. Kalau sudah begitu aku akan mendorongnya atau melepaskan diri, takut ketahuan orang, apalagi aku juga jadi pusing.
Kadang-kadang Radit ‘ngambek’, tidak mau ketemu aku.
Pernah suatu kali, Radit dengan sengaja bercanda dengan Yulia di depanku. Jelas aku marah dan langsung pergi. Aku tahu, dia sengaja membuat aku cemburu.
Ketika kami kemudian bertemu, dia malah menyalahkanku karena pergi dan tidak menemuinya.
“Lah, kan kamu sama Yulia!” jawabku ketus.
“Aku kan hanya ngobrol dengannya,” kilah Radit.
“Terserah, bukan urusanku!”
“Kamu marah? Cemburu?”
“Masa bodoh!”
“Aduh, Indri. Masak begitu saja cemburu?” kata Radit sambil berusaha menciumku.
Tentu saja aku menghindar. Gila, masak di tempat umum mau nyosor saja. Mau bikin aku malu, apa?
Pernah juga suatu kali aku melihatnya mengajak Fani naik mobilnya. Radit tidak melihatku. Aku diberitahu Fien kalau Radit lagi bersama Fani, teman kampus kami juga. Berdua dengan Fien kami mengikuti Radit dan Fani ke tempat parkir, dan melihat mereka naik ke mobil dan pergi. Aku lalu menelepon Radit, tetapi direjek!
Mungkin waktu itu semingguan kami tidak kontak. Aku malas, marah, putus asa. Sudahlah, terserah dia mau jalan sama siapa. Aku berpikir untuk mengakhiri saja hubungan kami. Radit terlalu tinggi untukku, aku tidak bisa mengikat dia dengan kesahajaanku.
Aku juga malu kepada teman-temanku, karena nasibku seperti mengantri untuk bisa bersama Radit. Radit memang super star, sedangkan aku bukan siapa-siapa. Radit ditunggu oleh banyak perempuan, sedangkan aku hanya bisa melihat dan menyaksikannya dengan perasaan tidak berdaya.
Tetapi Radit masih selalu menemuiku, membujuk dan merayuku agar menerimanya kembali.
“Ngapain kamu mencari aku lagi? Bukankah sudah ada si Fani?”
“Indri, kamu jangan gitu dong. Aku sama Fani itu tidak ada apa-apa. Aku hanya mengantar dia menemui pak Hermawan, dosen Akuntansi,” kata Radit berkilah.
“Aku malu, Radit, sama teman-teman. Aku ini seperti salah satu wanita yang mengantri untuk kamu pacari. Aku nggak mau, mending kamu nggak usah menemui aku lagi,” kataku sewot.
“Indri, sayang… kamu jangan marah ya,” kembali Radit merajuk, dan kembali pula aku menerimanya.
Apalagi, dengan wajah tampannya itu, kalau dia membujukku, aku menjadi ‘lumer’. Dia seperti anak nakal saja, dan kita cenderung memaklumi kalau anak yang tampan dan cerdas itu nakal.
Lalu peristiwa terkutuk itu pun terjadi.
Waktu itu aku akan berulang tahun. Teman-teman sudah heboh ingin mengadakan macam-macam acara, sehingga menjadi pembicaraan di kelas --kalau pas dosen nggak ada atau lagi menunggu kuliah dimulai.
“Indri, kita ke Balekambang saja. Sudah lama nggak main ke pantai, nih…” usul Fien.
“Ah, jauh banget,” timpal Erin. “Kita ke Songgoriti saja, sekalian berenang.”
“Terserah kalian lah,” kataku tidak ambil pusing. “Tapi bayar sendiri ya…” imbuhku sambil ketawa.
“Yaa… nggak seru!” teriak teman-teman kompak. Sudah menjadi kebiasaan kami ‘menodong’ teman yang berulang tahun untuk mentraktir.
“Lho aku nggak punya modal, rek,” jawabku.
“Kan ada mas Radit…” tukas Erin.
“Lah siapa itu?” aku pura-pura bertanya. “Apa urusannya?”
“Huh, sombongnyaa…” timpal si Fien.
Ternyata, Radit menyetujui. Entah siapa yang bilang ke Radit, teman-temanku malah dikasih uang yang cukup banyak untuk biaya piknik ke Songgoriti.
Songgoriti adalah sebuah tempat wisata yang terletak antara kota Malang dan kota Batu. Salah satu fasilitas yang terkenal adalah pemandian air panas dan kolam renangnya. Namun di wilayah Songgoriti juga banyak terdapat villa dan homestay, karena hawanya yang sejuk dan pemandangan alamnya yang asri.
Hari Minggu kami berlima, cewek semua, ke Songgoriti, diantar oleh saudaranya Erin. Sebenarnya hari ulang tahunku masih besok Senin, tetapi besok kami ada kuliah.
Di Songgoriti kami benar-benar menikmati suasana gembira nan bebas merdeka. Semua mengenakan pakaian renang ketika berenang maupun berendam di kolam air panas, jadi kami bisa melihat dan membandingkan ukuran body masing-masing. Hal ini menjadi bahan canda yang tidak ada habis-habisnya.
Setelah capek berenang dan berendam, kami menikmati aneka kuliner yang banyak tersedia di sekitar lokasi, lalu berjalan-jalan melihat berbagai peninggalan sejarah yang ada di Songgoriti, seperti Candi Songgoriti, peninggalan kerajaan Singosari.
Sore harinya, ketika kami akan pulang, ternyata Radit datang menyusul.
“Cie… pangeran datang menjemput putri rupanya,” goda teman-temanku, membuat aku jadi tersipu malu.
“Kamu… ngapain nyusul ke sini?” tegurku ke Radit, merasa tidak enak dengan teman-teman. Soalnya, aku akan terpisah dengan teman-temanku.
“Halah… pakai ditanya segala, Ndri,” celetuk Fien. “Sudah kangen, kali…” sahut yang lain.
Radit hanya mesam-mesem saja. “Sorry ya, para bidadari. Salah satunya aku culik ya…” katanya malah membuat pengumuman.
“Haha… baru kali ini ada penculik minta ijin,” sahut salah seorang temanku.
Mau tidak mau aku jadi ikut Radit pulangnya, sementara teman-temanku pulang dengan kendaraan yang mengantar tadi.
“Dit, aku jadi nggak enak sama teman-teman,” protesku ke Radit.
“Aku kan sudah minta ijin tadi,” kilah Radit.
“Lagian, pakai acara jemput segala…”
“Hmm… ada yang mau aku tunjukkan,” kata Radit.
“Apa?”
“Tenang saja, nanti kamu lihat sendiri,” jawab Radit sambil mengarahkan mobilnya bukan ke arah kota Malang, tetapi malah naik ke arah kota Batu.
“Kok malah naik?” tanyaku heran.
“Iya, tempatnya di atas,” jawab Radit. Entah kenapa, jawaban Radit yang berteka-teki ini membuat hatiku menjadi tidak tenang.
“Emang kita mau ke mana?” tanyaku bertambah penasaran.
Tiba-tiba mobil Radit berbelok, keluar dari jalan raya dan memasuki jalanan yang lebih kecil. “Tidak jauh kok, masih wilayah Songgoriti juga,” katanya.
Ternyata, seperti terlintas dalam pikiranku, kami tiba di sebuah villa.
“Ngapain ke sini, Dit?”
Tetapi Radit tidak menjawab pertanyaanku. Setelah memarkir mobil, dia lalu turun. “Ayok,” ajaknya memaksa.
Dengan hati yang masih penuh tanda tanya, aku turun juga dari mobil. Kami memasuki villa yang hanya ditunggui oleh seorang bapak yang kemudian pergi setelah membukakan pintu bagi kami.
Setelah menutup pintu, Radit lalu meraihku dan memelukku.
“Selamat ulang tahun, sayang…” katanya lalu mencium bibirku dengan lahapnya, sampai-sampai aku tidak bisa bernapas.
Aku mendorongnya dan melepaskan diri. “Apa-apaan sih, Dit?”
Radit tertawa. “Aku bahagia di hari ulang tahunmu, apakah salah?”
“Ulang tahunku besok!” jawabku ketus.
“Tetapi kita merayakannya sekarang, bukan?”
Aku tidak ingin berdebat dengan Radit, percuma, jadi aku diam saja. Aku lalu duduk di sofa yang ada di ruang tamu villa itu, menunggu penjelasan Radit.
“Tadi kamu bilang mau menunjukkan sesuatu padaku, mana?”
Radit mendatangiku dan duduk di sampingku, lalu tangannya meraih tanganku. “Aku ingin menunjukkan villa ini,” katanya sambil tersenyum. “Villa ini punya kita!”
“Oh gitu, sekarang aku sudah melihatnya. Ayo kita pulang,” kataku sambil bangkit berdiri.
“Malam ini, kita nginap di sini, sayang…” jawab Radit sambil menarik tanganku sehingga aku kembali duduk di sofa.
“RADIT, aku tidak bisa menginap di sini. Sebentar lagi ibuku pasti akan telepon…”Radit masih tetap tersenyum. “Indri sayang, kita akan merayakan hari ulang tahunmu di sini. Aku sudah memesan makanan yang enak buat kita malam ini.”Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Pikiranku bekerja untuk mencari alasan jika ibuku menelepon. Hari hampir maghrib, dan jika aku belum muncul juga di rumah, ibu otomatis akan menelepon.Radit menuang segelas teh hangat untukku. Rupanya sudah disediakan di sebuah water pot. Radit pasti sudah merencanakan semua ini.“Radit, kita tidak akan nginap di sini kan, malam ini?” tanyaku masih berharap kalau semua ini hanya canda yang dibuatnya.Radit menarikku lalu memelukku dengan erat. Tangannya meraba-raba sekujur tubuhku, membuatku kadang-kadang merinding, namun lama-lama aku menikmatinya. Bibirnya mulai mengecup bibirku perlahan, namun makin lama makin ganas dan liar.Mendapat
BESOKNYA aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku. Semuanya menjadi tahu kalau aku pulang malam gara-gara ibu menelepon Fien!“Kamu ke mana sama Radit?”“Kok tidak langsung pulang?”“Kenapa tidak bisa dihubungi?”Aku terpaksa mengarang cerita, dan mencoba bersikap biasa. Padahal dalam bathinku aku sangat merana.Ketika bertemu Radit, aku tidak tahu harus senang atau marah. Sebagai wanita di kampus ini, aku mungkin dipandang beruntung karena bisa dekat dengan Radit. Radit juga seorang pria yang tampan sehingga menjadi idola semua wanita, membuat kita jatuh cinta, memberikan kasih sayang kepadanya. Tetapi Radit telah mengambil mahkota yang menjadi milikku satu-satunya! Tidak ada lagi yang akan aku jaga dan simpan, yang akan aku persembahkan kepada laki-laki yang menjadi suamiku di malam pertama, malam pengantin kami nanti.Kesimpulannya, Radit harus menjadi suamiku!Apakah bisa? M
TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!“Bengsek kamu,” kataku putus asa.Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jel
MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak
AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak u
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel
SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i
DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec
“TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda
MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d