TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!
Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.
Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!
“Bengsek kamu,” kataku putus asa.
Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.
Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!
“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jelas. Semua orang yang tidak tuli pasti bisa mendengarnya dengan jelas.
“Radit!” hanya itu kata yang mampu aku keluarkan dari mulutku. Aku menjadi lemas, dan jika tidak langsung dipegang oleh Fien, mungkin aku akan jatuh ke tanah.
Teganya Radit bicara seperti itu kepadaku, di depan banyak orang lagi. Aku mendekatinya? Oh Tuhan… kok bisa dia menuduhku seperti itu.
Untuk mendapatkan uang? Ya Tuhan… aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu. Aku tidak membutuhkan uang dari Radit. Aku belum pernah kekurangan uang karena masih tinggal dengan orang tuaku, dan kami cukup mampu, walaupun tidak sekaya keluarga Radit.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan Radit telah mendengar fitnah orang tentang aku! ‘Semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!’ Semua orang? Gila banget… semua orang tahu?
“Radit!” aku memberanikan diri dan berjuang menenangkan diriku. “Jangan memfitnah aku!”
“Fitnah?” sahut Radit. “Kan kamu yang telepon aku dan bilang kalau kamu hamil!”
Oh my God! Radit, please… kenapa kamu semakin memperjelasnya?
Aku menepis uang yang diberikan Radit sehingga berhamburan ke tanah. “Brengsek,” sungutku sambil bergegas melangkah pergi. Aku tidak ingin --atau tidak kuat-- untuk berlama-lama berhadapan dengan Radit. Adegan tadi pasti telah menjadi tontonan menarik bagi semua orang yang akhirnya ramai di tempat itu.
“Hahaha…” terdengar suara ketawa Radit menikam punggungku dengan sejuta anak panah. “Indri, kalau masih kurang, kamu tinggal bilang, yaa…” teriaknya lagi, dan kakiku benar-benar tersandung sesuatu sehingga aku terhuyung.
Brengsek! Setan!
Aku berjalan secepat aku mampu ke arah motorku, pengin cepat-cepat menghilang dari tempat itu. Tetapi Fien mencegahku naik motor.
“Sini, biar aku yang bawa motornya,” kata Fien sambil mengambil kunci motor dari tanganku.
Aku mengerenyit. “Motormu bagaimana?”
“Sudah, biar saja, biar ditinggal di sini dulu,” sahut Fien. “Aku tidak mungkin membiarkan kamu membawa motor dalam keadaan seperti itu,” katanya.
Aku sadar apa yang dikatakan Fien itu benar. Badanku gemetar, dan tenagaku sebenarnya sudah tidak ada. Dari semula badanku memang terasa lemas --atau lemah, mungkin karena aku hamil.
Aku bilang kepada Fien agar mengantarku pulang ke rumah. Aku mau pulang… Tetapi, di tengah jalan aku berubah pikiran. Tidak, sebaiknya Fien tidak mengantarku ke rumah. Nanti akan berhadapan dengan ibu, dan mungkin nanti akan berkembang menjadi sebuah kecurigaan dan interogasi. Jangan! Aku belum siap!
“Fien, kita ke warung Bejo saja,” kataku kepada Fien.
Fien menjadi heran, dan terasa dia ragu ketika mengemudikan motor. Fien lalu berhenti di pinggir jalan.
“Kenapa?” tanya Fien heran.
“Kita ke situ saja, aku mau cool down sebentar. Nanti kan kita masih ada kuliah, dan motormu masih di kampus,” jawabku berdalih.
Kami lalu menuju warung Bejo, tidak jauh dari kampus. Warung Bejo cukup populer di antara kami karena sering dipakai nongkrong bersahaja sambil menunggu waktu kuliah berikutnya. Warung Bejo sendiri sebenarnya julukan, bukan nama aslinya, karena di depan warung ada spanduk iklan sebuah produk herbal dengan tulisan “Bejo” yang besar. Kami lalu menyebutnya warung “Bejo”.
Di warung bejo aku memesan kopi, dan ini membuat Fien heran lagi. “Sejak kapan kamu minum kopi?” tanyanya.
Aku mencoba tersenyum, berusaha membiasakan diriku lagi karena syok yang kualami tadi. “Aku biasa kok, minum kopi,” jawabku memberi alasan. Jelas Fien tahu kalau alasan itu mengada-ada, tetapi dia diam saja.
“Indri…” panggil Fien setelah kami mencicipi minuman masing-masing. Aku tahu, kini saatnya Fien akan bertanya-tanya.
“Yang dibilang Radit tadi…” Fien tidak bisa melanjutkan pertanyaannya, tetapi aku sudah paham.
Berat aku harus menjawab pertanyaan Fien. Tetapi hal ini pasti tidak bisa disimpan lama-lama. Kalau aku menjawab tidak, toh nanti Fien akan tahu juga, dan tentunya aku akan dicap telah berbohong.
“Fien,” aku meraih tangan Fien. Aku butuh sebuah pegangan. Aku merasa, mataku pasti sudah berkaca-kaca. Ada genangan hangat di kelopak mataku. Dan, tanganku gemetar.
Fien lalu memegang tanganku juga, seakan meyakinkan bahwa dia tetap bersamaku.
Dengan seluruh kekuatan yang ada aku berkata, “benar… aku hamil.”
Aku merasakan pegangan tangan Fien seketika mengencang ketika mendengar pernyataanku. Aku tahu dia sudah bisa menduganya, namun ketika pernyataan itu keluar dari mulutku, dia tetap merasakan kaget juga.
Lama kami terdiam, berpegangan tangan di atas meja. Ketika Fien akhirnya melepaskan tangannya, dia tetap tidak bisa berkata apa-apa.
Aku menyadarkan diriku, mengumpulkan semua semangat dan tenaga yang aku miliki. Aku lalu tersenyum. “Tidak apa-apa, Fien. Aku akan mengatasinya,” kataku memperlihatkan kepercayaan diri. Paling tidak, aku tidak boleh terlihat begitu rapuh di mata Fien setelah apa yang aku alami.
“Radit?” tanya Fien lagi berusaha untuk yakin.
“Iya, siapa lagi,” jawabku sedikit tersinggung.
“Kok bisa?”
Entah kenapa, aku menjadi geli dan ingin tertawa mendengar pertanyaan Fien yang tidak percaya itu. Mungkin karena aku sudah merasa lega telah mengakui keadaanku kepada seseorang, atau mungkin juga karena sarafku sudah ada yang terputus.
“Radit meracuni minumanku, memberiku obat perangsang!” jelasku mencoba memberi dalih.
“Ya?”
“Di Songgoriti, waktu itu…”
Sekarang aku melihat wajah Fien puas dengan jawaban-jawabanku. Semua sudah jelas, sudah terbuka. Pertanyaan-pertanyaannya yang lama pun, ketika waktu itu ibuku meneleponnya menanyakanku yang belum pulang dan tidak bisa dihubungi, menjadi terjawab juga. Baginya, semua sudah clear.
“Lalu apa rencanamu?” tanya Fien lagi.
“Aku akan menggugurkan kandunganku!”
“Hahh?”
Jelas Fien terkejut dan bingung.
“Aku nggak bisa Fien, menghadapi ini…” kataku memohon pengertiannya.
“Tetapi… itu… berdosa besar!”
“Ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah bilang ke Radit, tetapi kamu lihat sendiri sikapnya. Dia yang menyuruh aku menggugurkan kandunganku. Dan sekarang dia malah sama si Yulia. Aku tidak bisa bilang ini ke orang tuaku…”
“Tapi bagaimana caranya?” Fien malah bertanya.
“Fien, bantu aku. Carikan tempat di mana aku bisa menggugurkan kandunganku…”
“Aku tidak tahu…”
Kami memang sama-sama tidak tahu, tidak ada pengalaman, dan sebenarnya tidak pernah terlintas dalam pikiran kami --tepatnya aku-- akan perlu menggugurkan kandungan. Tetapi kami, atau aku, pernah mendengar bahwa di sebuah desa di luar kota ada praktek untuk menggugurkan kandungan secara tradisional.
“Tapi itu berbahaya!” sanggah Fien.
“Mungkin itu pantas bagiku,” kataku pasrah.
“Tidak,” tegas Fien. “Mungkin kita bisa minta bantuan dokter atau bidan. Mungkin mereka mau mengerti. Berapa sih usia kandunganmu?”
“Kayaknya dua bulan.”
“Oke, aku akan tanya-tanya mungkin ada dokter atau bidan yang bisa membantu. Tetapi, apakah tidak sebaiknya kalian menikah?”
“Dengan Radit? Hmm… Waktu aku kasih tahu kalau aku hamil saja dia tidak perduli. Apalagi setelah perlakuannya tadi. Tidak, Fien. Aku sekarang yang tidak mau!” jawabku tegas.
MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak
AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak u
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se