BESOKNYA aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku. Semuanya menjadi tahu kalau aku pulang malam gara-gara ibu menelepon Fien!
“Kamu ke mana sama Radit?”
“Kok tidak langsung pulang?”
“Kenapa tidak bisa dihubungi?”
Aku terpaksa mengarang cerita, dan mencoba bersikap biasa. Padahal dalam bathinku aku sangat merana.
Ketika bertemu Radit, aku tidak tahu harus senang atau marah. Sebagai wanita di kampus ini, aku mungkin dipandang beruntung karena bisa dekat dengan Radit. Radit juga seorang pria yang tampan sehingga menjadi idola semua wanita, membuat kita jatuh cinta, memberikan kasih sayang kepadanya. Tetapi Radit telah mengambil mahkota yang menjadi milikku satu-satunya! Tidak ada lagi yang akan aku jaga dan simpan, yang akan aku persembahkan kepada laki-laki yang menjadi suamiku di malam pertama, malam pengantin kami nanti.
Kesimpulannya, Radit harus menjadi suamiku!
Apakah bisa? Mengingat Radit tidak pernah berkomitmen apa-apa, dan masih bebas ke sana kemari, bahkan menggandeng perempuan lain di depan mataku!
“Sialan kamu!” Mau tidak mau, aku terpaksa memakinya ketika bertemu. Dia telah mencuri sesuatu yang sangat berharga dariku.
Radit hanya tertawa, tampaknya penuh kemenangan.
“Aku lupa membuat video betapa ganasnya dirimu,” katanya tanpa rasa bersalah.
“Brengsek!”
“Silahkan kamu maki aku sepuasmu, tetapi kamu sekarang milikku,” katanya lagi. “Kamu sebenarnya menikmatinya juga!”
“Aku tidak sadar. Kamu memasukkan obat perangsang dalam minuman itu!” tuduhku langsung.
“Aku juga meminumnya, jadi kita sama-sama…”
“Brengsek!”
Tetapi setelah itu, entah bagaimana prosesnya aku sendiri lupa, kami akhirnya sering melakukan hubungan itu! Kami sering menyewa hotel, walaupun hanya untuk short time, termasuk di siang hari ketika harus kuliah, atau kami ke villa itu lagi, villa milik keluarga Radit di Songgoriti.
Aku sudah putus asa, merasa tidak ada yang perlu dijaga dan disimpan lagi, jadi aku pun hanyut dalam kenikmatan yang diberikan oleh hubungan seksual itu.
Sebulan berlalu, dan aku masih mendapatkan mens. Artinya hubungan kami tidak menyebabkan aku hamil. Aku senang, namun jadi berhati-hati jika melakukan hubungan, agar jangan sampai aku hamil.
Tetapi Tuhan mungkin berkata lain. Sudah hampir sebulan aku tidak mendapatkan mens. Aku langsung kuatir, tetapi masih berharap-harap kalau keterlambatan ini karena gangguan hormonal, seperti yang aku baca di Internet --karena seringnya kami melakukan hubungan.
Tetapi gejala lain juga muncul. Aku menjadi males, sering merasa mual, dan lain-lain gejala wanita hamil. Jadi, aku memutuskan membeli alat tes kehamilan. Ketika aku melakukan tes secara diam-diam di kamar mandi, aku terkejut karena hasilnya positif. Aku sebenarnya sudah menduganya, tetapi ketika alat tes itu menunjukkan hasilnya, denyut jantungku terasa seperti berhenti.
Awalnya aku masih tidak mau percaya dengan hasil tes yang aku lakukan. Mungkin ada yang salah dalam prosedurnya, harapku dalam hati. Lalu aku membeli alat tes lagi.
Tes kedua aku lakukan besoknya, dan seperti dapat diduga, hasilnya pun positif!
Gila ini! Aku sudah kebablasan! Bagaimana aku bisa menghadapi-nya? Tidak mungkin memberitahukannya ke ibu!
Seminggu kemudian aku melakukan tes lagi, dengan harapan hasil tes yang sudah dilakukan itu memang palsu. Selama seminggu aku terus meminum pil KB --yang sebenarnya sudah rutin aku minum sejak kami mulai berhubungan dulu.
Tetapi hasil tes yang ketiga ini pun positif. Jadi benar, aku positif hamil!
Seperti telah aku ceritakan, Radit tidak mau tahu dengan kehamilanku ini, bahkan menuduhku melakukan hubungan dengan orang lain juga! Sialan!
…
Sudah seminggu ini aku ogah-ogahan ke kampus. Perasaan badanku selalu tidak enak, bawaannya malas saja, apalagi yang mual itu, benar-benar tidak enak. Di samping itu, masalah mental kejiwaan juga. Aku merasa kotor, merasa paling berdosa, putus asa. Aku malu berhadapan dengan teman-temanku.
Namun kalau aku tidak kuliah, aku akan berhadapan dengan ibu. Aku belum siap jika ibu mengetahui keadaanku. Aku harus berhati-hati jika berhadapan dengan ibu, karena mata ibu sangat tajam dan akan segera tahu perubahan bentuk badanku!
Untunglah aku mempunyai teman Fien. Fien kayaknya sudah mencium adanya perubahanku, namun dia juga masih menjaga perasaanku.
“Ndri, kamu lemas banget,” komennya hati-hati.
Aku memandangnya cukup lama, rasanya aku ingin berteriak dan menceritakan masalahku padanya, pada seseorang… tetapi aku tidak berani dengan konsekwensinya. Belum. Aku harus mencari cara dulu untuk mengatasi ini sendiri. Ya, menggugurkan! Benar seperti saran Radit, aku harus menggugurkan kandungan ini, segera, sebelum dia tambah besar, atau sebelum semua orang tahu.
“Ndri, kalau kamu punya masalah, kamu bisa ceritakan ke aku. Aku akan membantumu, dan merahasiakan masalahmu jika kamu mau,” bujuk Fien.
“Aku nggak apa-apa, Fien…” jawabku mencoba biasa.
“Masalah Radit, ya?” kejar Fien penasaran.
Aku terpaksa senyum, biarlah Fien mengartikan sendiri arti senyumku itu.
Dan memang benar, Fien mampu mengartikannya dengan tepat. Katanya, “kalau masalah Radit, mungkin sebaiknya kamu lupakan dia…”
Aku mengerenyit tanda tidak mengerti.
Fien mencoba menjelaskannya. “Sudah menjadi rahasia umum, dia sekarang dengan Yulia!”
“Ah, masak?”
Aku sendiri tidak tahu bagaimana kedengarannya komenku itu, apakah terdengar seperti orang yang kaget dan tidak percaya, atau seperti teriakan frustasi orang yang dicampakkan?
“Sabar, ya, Ndri…” kata Fien hendak memelukku.
Tetapi aku menghindari pelukannya. Tidak! Belum waktunya. Aku tidak boleh terlihat seperti orang yang ditinggalkan. Malu dong. Aku tidak mau menjadi anggota barisan mantan Radit! Apalagi ada sesuatu di dalam perutku ini… bekasnya… bekas Radit! Sialan benar. Sekarang Indri termasuk salah satu perempuan bekas pacar Radit… dan lebih sialnya, sekarang mengandung anaknya Radit, dan Radit tidak memperdulikannya!
“Aku tidak apa-apa, Fien. Biar saja Radit sama siapa saja, toh bukan suamiku!” kataku hampa.
Pertanyaannya sekarang, di mana aku bisa menggugurkan kandunganku? Dan… siapa yang mengantar ke sana?? Fien? Tidak mungkin. Kalau begitu, seseorang yang lain. Siapa? Kalau orang lain boleh tahu masalahku, kenapa Fien tidak boleh? Bukankah tadi Fien sudah berjanji akan menyimpan rahasiaku??
Mungkin karena melihatku sedang galau --apakah terlihat di wajah dan sikapku?-- Fien lalu berkata, “ya sudah, memang sebaiknya seperti itu…”
“Apa?” aku jadi kurang fokus. Yang mana yang dimaksud oleh Fien?
“Aku setuju sikapmu, biar saja si Radit itu, tidak usah dipedulikan,” jelas Fien.
“Oh…”
Tentu saja Fien tidak bisa membaca pikiranku. Karena gamang, aku tadi sempat bingung dengan komen si Fien. Aku pikir dia menyetujui aku menggugurkan kandunganku…
…
Ketika aku dan Fien berjalan melintasi tempat parkir di samping gedung utama menuju gedung kuliah, kami melihat Radit dan Yulia. Jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Perasaanku campur-aduk, marah, cemburu, benci, dan senang bertemu Radit.
“Indri,” panggil Radit ketika melihatku.
Aku berhenti berjalan, menunggunya mendatangiku. Aku melihat wajah Yulia yang masam melihat Radit yang berjalan ke arahku dan meninggalkannya begitu saja.
Ketika berhadapan denganku dan Fien, Radit mengeluarkan dompetnya, menarik sejumlah uang ratusan ribu, dan memberikannya kepadaku. “Ini,” katanya.
Aku melongo, tidak mengerti. Aku tidak menerima uang yang diulurkannya.
Melihat aku diam saja tidak menerima uang itu, Radit tampak kesal. “Ini, bukankah ini yang kamu maksud?” katanya menghina.
“Apa-apaan kamu!” bentakku merasa terhina.
Radit tersenyum mencemooh. “Sudahlah, kamu tidak usah bilang-bilang kalau kamu hamil! Kamu ingin memerasku, kan?”
Mendengar kata-kata Radit itu, aku seperti ditampar dan diludahi. Aku merasakan sendiri bagaimana mukaku menjadi pucat.
“Setan kamu Radit!” makiku dengan suara keras. Aku tidak perduli lagi pada Fien, Yulia, atau orang-orang lain yang ada di situ yang menjadi bengong mendengarkan teriakanku. Radit telah menyebutkan kata hamil!
TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!“Bengsek kamu,” kataku putus asa.Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jel
MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak
AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak u
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d
SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel
SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i
DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec
“TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda
MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d