TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.
Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…
“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.
Aku sendiri tidak memberitahukan pernikahan ini kepada teman-temanku, dan hanya kepada Fien, dengan pesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun yang lain. Benar-benar hanya sebuah pernikahan rahasia agar kami dapat memiliki foto-foto prosesi pernikahan.
Tentang kuliahku? Lupakan. Sudah dua Minggu aku tidak ke kampus, dan aku juga sudah tidak perduli. Biarlah, urusan masa depan ini pun menjadi korban dari kesalahanku. Oh Tuhan, betapa mahal harga yang harus aku bayar dari kesalahan konyolku…
…
Di hari pernikahan, di balai pertemuan hotel tempat prosesi pernikahan akan diadakan, sebelum acara dimulai, aku bertemu Radit. Tentu dia termasuk keluarga inti dari pengantin pria.
“Selamat ya…” katanya mengejekku. Ya, jelas dia mengejekku, karena senyumnya benar-benar senyuman mengejek!
“Persetan kamu!” jawabku emosi.
Radit tambah tertawa. “Kamu memang pantasnya sama si culun!” ledeknya.
Aku tidak menjawab, dan membuang muka karena benci melihatnya. Fien yang juga ikut hadir untuk menemaniku, menuntunku menjauh darinya.
“Hei, jangan pergi dulu,” teriak Radit sambil menarik tanganku. “Aku ingin memberi ciuman perpisahan kepadamu!”
Setan alas benar! Teriakku dalam hati. Jelas aku bertambah malu dengan perlakuan Radit yang sama sekali tidak menghormatiku di depan banyak orang, dan hampir semua orang mendengar kata-katanya itu.
“Radit, kamu jangan keterlaluan!” bentak Fien tidak bisa menahan diri lagi.
“Apa urusanmu, mbok emban!” Radit balas membentak dan mengejek Fien. Mbok emban adalah sebutan untuk ibu pengasuh atau wanita pelayan dalam tradisi Jawa kuno.
Mungkin karena tidak tahan melihat perilaku Radit yang bertambah kurang ajar, om Aryo datang mendekati. “Teruslah berulah, sampai aku dapat menjerat lehermu…” gumam om Aryo sambil menatap Radit dengan penuh kebencian.
Melihat om Aryo ikut-ikutan menghadapinya, Radit tersenyum mengejek. “Bisa apa kamu?” katanya kurang ajar.
Om Aryo tentu tidak bisa melakukan apa-apa walaupun dia marah dan benci kepada Radit. Sepertinya Radit sengaja mengejek om Aryo untuk menantangnya.
Aku juga sempat melirik ke arah bapakku. Bapak juga diam saja mengatupkan mulutnya rapat-rapat, menahan amarahnya. Suasana menjadi tegang sekali dengan kelakuan Radit.
Acara pernikahan ini sederhana sekali, hanya aqad saja, yang dipimpin oleh petugas dari KUA (Kantor Urusan Agama). Aku memakai kebaya pengantin warna putih, dan mas Naren mengenakan jas lengkap. Tidak ada pagar ayu dan pagar bagus seperti pada resepsi pernikahan umumnya, juga tidak ada among tamu dan lain-lain.
Ketika pengucapan ijab-qabul, bapakku sempat tersendat karena sedihnya sehingga pengucapannya tidak jelas.
“Ulangi!” teriak seseorang, dan ternyata itu Radit!
Semua orang menoleh kepadanya sehingga pembacaan ijab-qabul itu menjadi terhenti.
“Ucapannya tidak jelas!” seru Radit lagi tanpa rasa bersalah.
“Baiklah, kita ulangi,” kata pak penghulu.
“Pak ustadz,” panggil om Aryo. “Cukup saksi saja yang menilai sah atau tidaknya ijab-qabul, jangan perdulikan orang lain!” tegurnya. Bagaimanapun, om Aryo adalah seorang pengacara sehingga mengetahui soal hukum, walaupun ini hukum agama.
“Iya, baik,” sahut pak penghulu.
Tetapi terdengar lagi suara Radit. “Saya bukan orang lain! Saya ini saudaranya pengantin pria!”
Om Aryo naik pitam. “Di sini sudah ada saksi dan pak penghulu. Penilaianmu tidak diperlukan di sini!”
“Sudah… sudah,” lerai pak penghulu. “Mari kita ulangi lagi.”
Ketika pembacaan ijab-qabul giliran mas Naren, kembali suara Radit mengganggu. “Ah, si culun…”
Mas Naren pun terhenti dan lupa lanjutan jawabannya.
Semua orang kembali menoleh ke Radit. “Bisa nggak sih kamu tidak mengganggu?” bentak om Aryo.
“Kok kamu yang sewot?” tantang Radit. Benar-benar anak itu sudah keterlaluan kurang ajarnya.
Mungkin semua orang kesal dengan tingkah Radit, namun ketika aku melirik pak Handoyo, papi Radit, bakal mertuaku itu hanya diam saja. Seharusnya dia melarang atau menasehati Radit, tetapi dia diam saja. Kenapa? Sebuah tanda tanya besar menyelinap ke dalam hatiku. Apakah dia kurang merestui pernikahan ini? Tetapi kenapa dia membiarkannya terjadi, dan turut hadir pula di sini bersama istrinya, mami Radit?
Tiba-tiba, tanpa aku sadari sendiri, aku berdiri. Semua mata langsung tertuju kepadaku. “Aku tidak bersedia meneruskan pernikahan ini!” kataku, membuat hampir semua orang melongo.
“Indri, duduk!” bentak bapakku. Tetapi aku tetap berdiri.
Aku melanjutkan kata-kataku sambil menunjuk Radit, “selama orang itu masih ada di sini!”
Kini semua mata melihat ke arah Radit.
Radit tertawa. Dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arahku. “Memangnya kamu siapa? Bukannya kamu yang menuntut perkawinan ini? Nggak usah sok belagu,” katanya dengan senyum mengejek.
Melihat itu, om Aryo memberi isyarat kepada teman-temannya, dan beberapa orang langsung bergerak meringkus Radit.
“Oh, kamu mau main kasar?” dengus Radit ke om Aryo.
Tetapi orang-orang itu tetap memegang Radit dan menggiringnya keluar ruangan.
“Berhenti!” tiba-tiba terdengar sebuah suara, yang ternyata suara pak Handoyo. “Dia anak saya! Dia berhak ada di sini di pernikahan kakaknya. Kalau tidak, pernikahan ini dibatalkan!”
Aku lihat, bapakku menjadi kaget dan mukanya pucat.
“Indri, tolong duduk,” perintah om Aryo.
Aku tidak mempunyai pilihan lagi. Jika pernikahan ini dibatalkan, bapakku pasti akan marah, dan semua kekacauan kembali seperti semula, atau bahkan lebih buruk lagi. Jadi, tidak ada cara lain, aku harus menurut dan terpaksa menelan pil pahit lagi.
“Hahaha…” Radit yang sudah dilepaskan tertawa terbahak-bahak. Kelihatannya dia puas sekali dengan kemenangannya terhadap kami semua.
“Jangan sok belagu kamu, gadis palsu!” cemoohnya kepadaku. “Sudah syukur ada yang mau kawin denganmu…”
Kami semua kembali menelan pil pahit tanpa bisa berbuat apa-apa mendengar cemoohan Radit. Sekarang aku mengerti, pak Handoyo rupanya menyetujui tindakan anaknya yang bergajul (kurang ajar) itu. Entah apa yang ada dalam pikiran bakal mertuaku itu sehingga menyetujui pernikahanku dengan Naren, anaknya, dan juga kakak Radit.
…
Selesai prosesi ijab-qabul, acara selanjutnya adalah pemberian salaman kepada pengantin. Kami berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari keluarga yang hadir.
Ketika giliran Radit, aku berdebar. Walaupun anak itu kurang ajar dan tidak bertanggung jawab, namun dalam hatiku pernah ada rasa mesra kepadanya, bahkan pernah ada harapan bahwa Radit lah yang berdiri di sampingku saat ini!
Radit menngucapkan selamat dan memeluk mas Naren. Kedua saudara itu tampak akrab sebagaimana seharusnya. Aku senang melihatnya.
Namun ketika giliranku, Radit juga ingin memeluk. Tentu saja aku menjadi rikuh dan menolaknya. Radit lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Heh, Indri! aku juga berhak sama kamu!”
Aku tidak begitu paham apa arti kata-kata Radit itu, namun aku menjadi ngeri dengan pradugaku akan maksudnya. Benar-benar keterlaluan, benar-benar brengsek.
Aku sampai kikuk menyambut salaman dari keluarga berikutnya, karena otakku bekerja terlalu keras memikirkan kata-kata Radit. Aku bahkan tidak sadar hingga mendapat salaman terakhir.
Setelah acara salaman selesai, aku dibawa ke ruang rias untuk ganti pakaian. Mas Naren tidak perlu mengganti pakaian karena hanya memakai jas.
Tetapi di ruang rias, ternyata sudah ada Radit menungguku!
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m
JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke
MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik