MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.
Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.
“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”
Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.
Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak yang tidak berdosa ini tumbuh dan lahir, walaupun aku tidak menikah? Aku bisa pergi saja dari kota ini, menumpang di tempat saudara yang jauh, dan melahirkannya sendiri. Aku akan menjadi single parent. Aku tahu sudah banyak yang melakukan hal itu, melahirkan walaupun tanpa suami!
Atau pilihan kedua yang lebih cepat dan singkat. Aku bunuh diri, dan mengakhiri semuanya tanpa susah-susah lagi. Tetapi, pilihan ini hanya akan menunjukkan kerapuhanku, akan membuat diriku ditertawakan oleh Yulia dan yang lainnya, dan jelas akan membuat orang tuaku menjadi sedih dan kehilangan. Tidak, ini bukan pilihan. Masih banyak yang ingin aku lakukan di dunia ini, termasuk membalas dendam kepada Radit!
Adakah alternatif pilihan ketiga? Menikah dengan Radit? Alternatif ini cepat-cepat aku buang, karena tidak mungkin. Radit tidak mungkin mau.
Tetapi benar-benar ada hal di luar kekuasaan kita. Seperti ibuku hari ini, tiba-tiba saja masuk ke kamarku dan langsung menodongku dengan pertanyaan, “Nduk, apa yang kamu sembunyikan dari ibu?”
Bagi anda yang belum tahu, ‘nduk’ atau lengkapnya ‘genduk’ adalah panggilan orang tua suku Jawa kepada anak perempuan.
Jelas aku sama sekali tidak menduga ibu akan bertanya seperti itu, hari ini.
“Ibu, aku tidak tahu apa maksud ibu,” sahutku pura-pura tidak mengerti.
Ibu menatapku tajam, ada kemarahan dalam sorot mata itu yang membuat aku tidak berani balas menatapnya. Aku menunduk, membiarkan rambutku menutupi sebagian mukaku untuk menyembunyikannya.
Tiba-tiba ibu memegang perutku. “Kamu hamil?” tanyanya tanpa ampun.
Bagaimana aku bisa menjawabnya? Jadi aku diam saja, rasa takut mengungkungku. Dan tiba-tiba, sebuah tamparan keras membuat pipiku menjadi panas. Ibu menamparku!
Rasa kagetku lebih besar dari rasa sakitku karena ditampar. Aku langsung menangis sejadi-jadinya di kaki ibu, tanpa bisa berkata apa-apa lagi selain “ampun ibu… ampun… maafkan Indri…”
Lama aku menangis terisak-isak sambil memeluk kaki ibu yang duduk di tempat tidur. Aku jelas salah, bagaimanapun. Aku salah dalam bergaul, aku salah dalam mengenal Radit, aku salah telah mengharapkan dan menerimanya menjadi pacarku. Aku salah dalam semua hal. Pokoknya akulah yang bersalah atas nasib yang menimpaku.
Ibu diam saja. Aku tahu ibu sedang berjuang keras menahan amarah, menahan kesedihannya, menahan rasa sakit hatinya, menahan kekecewaannya terhadap anak gadisnya yang kehormatannya sudah direnggut orang, dan kini hamil sebelum menikah! Anak gadisnya ini sudah nista, kotor, dan tidak mempunyai kehormatan lagi. Bagaimana dia akan menikah?
Tanpa menghiraukanku, ibu lalu bangkit dan berjalan keluar kamar. Aku yang memeluk kakinya terseret oleh langkahnya, sampai aku harus melepaskan kaki ibu yang terus melangkah tanpa memperdulikan aku sama sekali.
Tidak lama kemudian bapakku masuk kamar. Pintu kamar ditendangnya dengan penuh amarah.
“Indri, jelaskan!” teriak bapak.
Tidak ada lagi keberanianku, semuanya sudah terbang dan lenyap entah ke mana. Aku yang masih duduk bersimpuh di lantai kamar, langsung merangkak dan memeluk kaki bapak.
“Ampun… pak… ampuni Indri pak… Indri salah, ampun…”
Aku menangis tanpa bisa menahan diri lagi. Rasanya sudah lama aku tidak menangis, dan kini semua air mata dan penyesalanku tumpah-ruah. Aku pasrah, aku bersalah. Aku berdosa. Jika bapak dan ibu menghendaki, aku dibunuh pun akan rela.
“Setan kamu! Iblis apa yang membuatmu melakukan perbuatan terkutuk itu? Apa kurangnya kami menjagamu?”
“Ampun pak, maafkan Indri. Indri salah, Indri mohon maaf kepada bapak dan ibu…” kataku menghiba sambil menangis.
“Siapa yang melakukannya Indri?” akhirnya bapak bertanya dengan nada getir. Aku tahu, bapakku sangat terpukul dengan keadaanku ini. Aku anak perempuan satu-satunya. Kakak dan adikku laki-laki.
Dengan terpaksa aku menceritakan semua peristiwa yang aku alami. Aku sudah pasrah. Bapak dan ibu sudah tahu, apalagi yang perlu aku sembunyikan? Biarlah nasibku di tangan mereka, aku pasrah. Aku sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
…
Malamnya, om Aryo datang ke rumah. Aku tahu kedatangan om Aryo pasti karena disuruh bapak. Om Aryo adalah adik bapak yang berprofesi sebagai pengacara. Kami biasa memanggilnya om, bukan pakle (paklik) sebagaimana seharusnya orang Jawa, karena om Aryo sering membahasakan dirinya sendiri dengan sebutan ‘om’.
Kali ini kedatangannya adalah karena ‘kasusku’. Setelah mereka ngobrol cukup lama, aku dipanggil.
“Indri, apa khabar?” tanya om Aryo berbasa-basi. Dia biasa akrab dengan kami, para ponakannya, dan pembawaannya memang ceria. Tetapi pertanyaannya kali ini sulit sekali aku jawab, karena aku kikuk bukan main. Apa mungkin aku jawab ‘baik, om’ seperti biasanya, sedangkan keadaanku jauh dari baik-baik saja?
Karena aku tidak kunjung menjawab, om Aryo lalu berkata, “kali ini kamu kebablasan, ya…”
Aku menunduk. Aku malu sama om Aryo.
“Begini, Indri,” kata om Aryo serius sambil memperbaiki posisi duduknya. “Menurut kami, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan keluarga kita, selain kamu kawin!”
Entah bagaimana perasaanku mendengar itu, aku gamang. Solusi itu mungkin paling rasional, karena jika dua orang berhubungan intim --dan akhirnya hamil, maka harus dikawinkan!
Tetapi dengan Radit? Orang yang telah merenggut kegadisanku secara curang, yang kemudian tanpa perasaan menghinaku di depan orang?? Tunggu dulu, aku tidak mau! Aku sudah mati rasa terhadap orang itu!
‘Menyelamatkan keluarga’? Aduh, om Aryo telah mengeluarkan mantra sakti. Kalau sudah demikian alasannya, bagaimana aku menolak? Aku sudah bersalah, dan kehormatan keluargaku sedang terancam oleh perbuatanku. Alangkah egoisnya aku jika tidak bersedia!
“Apa mungkin, om?” tanyaku penuh keraguan. Seharusnya pertanyaanku itu berbunyi, ‘apakah Radit mau?’
Om Aryo mencoba bersikap optimis. “Yah, kita harus berusaha, Indri. itu satu-satunya jalan. Apakah kamu mempunyai jalan lain?”
Om Aryo ini pintar sekali dalam berbicara, dan pertanyaannya itu sangat memojokkan, membuat aku tidak berkutik. Pantas saja karir om Aryo sebagai pengacara sangat sukses. Jika demikian, bisa diharapkan solusi yang diambil om Aryo akan berhasil. Aku jadi berdebar ingin melihat hasilnya.
“Baik, om” sahutku. Rasanya ada sedikit kelegaan menyeruak masuk ke dalam hatiku. Ada harapan. Harapanku keluar dari kesulitan ini, dan harapan keluargaku agar nama baik keluarga tidak tercemar di masyarakat.
…
Tiga hari berlalu hingga om Aryo datang ke rumah kami lagi.
“Memang pacarmu yang bernama Radit itu brengsek!” kata om Aryo kepadaku. Tampak benar dia kesal.
“Aku tidak bekerja sendiri,” lanjutnya. “Aku bersama team mendatangi rumahnya untuk bertemu dan berunding, tetapi dia tidak tahu ke mana. Orang tuanya pun mengaku tidak tahu, dan tidak bisa dihubungi. Kita dikejar waktu. Kandunganmu semakin tua dan akan kelihatan! Dan lagi, kalau nanti melahirkan, jaraknya terlalu dekat dengan hari pernikahanmu. Orang pasti curiga.”
“Lalu bagaimana, om?” tanyaku ikut cemas.
“Kamu tetap harus menikah!”
“Tetapi Radit?”
“Persetan dengan dia! Nanti kita akan mencari cara untuk memberi pelajaran anak itu.”
“Lalu?”
“Kamu akan kawin dengan kakaknya!”
“Hahh!!”
Jelas aku sangat kaget dengan pernyataan om Aryo itu. Kawin dengan kakaknya Radit? Mas Naren?
Ah, ini sudah di luar kemampuanku untuk membayangkannya.
“Kok gitu, om?” tanyaku dalam kebingungan.
“Iya, dan ini sudah diputuskan!” tegas om Aryo.
AKU kenal mas Naren, kakaknya Radit, karena pernah bertemu waktu Radit mengajakku ke rumahnya. Mas Naren orangnya pendiam, slow, tidak seperti Radit yang grusa-grusu (bahasa Jawa yang artinya suka tergesa-gesa tanpa banyak berpikir).Mas Naren tampak lebih kurus dari Radit, mungkin karena badannya tinggi dengan rambut panjang yang kadang menutupi mukanya. Dia juga berkacamata, dan lebih suka pakai kemeja --kata Radit mencemooh kakaknya. Radit bahkan sering menyebut kakaknya itu ‘si culun’.Jadi, aku akan kawin dengan ‘si culun’? Betapa akan bahagianya Radit menertawakan aku nanti!“Om, aku tidak mengerti…” gumamku setengah sadar, karena aku sibuk membayangkan si culun Naren.“Begini Indri. Seperti yang tadi aku bilang, kita dikejar waktu, karena umur kehamilanmu yang terus bertambah. Jadi kami menuntut pertanggungjawaban dari orang tua Radit. Orang tua Radit, pak Handoyo, tadinya menolak u
TERNYATA, seperti dugaanku, Radit tidak bersedia menikah denganku. Om Aryo memberitahu kami bahwa rencana pernikahanku dengan Naren tetap akan dilakukan. Waktunya hari Minggu, jadi tinggal tiga hari lagi. Pernikahan akan dilakukan di sebuah hotel di pusat kota.Kami tidak membuat undangan karena yang akan hadir hanya beberapa orang keluarga inti saja. Tidak cukup waktu untuk melakukan berbagai prosesi acara pernikahan, seperti lamaran, siraman, midodareni, dan lain-lain. Karena kesalahan yang telah aku lakukan, semua keindahan prosesi pernikahan itu tidak akan pernah aku alami, selamanya…“Ini saja kamu harus bersyukur, Ndri, ada orang yang mau menikahimu dan menyelamatkan keluarga kita!” kata bapak seperti tanpa perasaan. Yah, aku harus menelan pil pahit dari kesalahan pergaulanku. Pernikahan di hotel ini pun agar kami tidak malu, karena merayakan pernikahan dengan mendadak akan menimbulkan kecurigaan orang.Aku sendiri tidak memberitahukan p
“RADIT, ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.Radit mendatangiku, lalu tiba-tiba memeluk dan menciumku, bahkan di depan mbak-mbak tukang rias pengantin!“Radit, apa-apaan sih kamu!” bentakku sambil mendorongnya.“Tidak usah pura-pura, Indri. kamu maunya aku, kan?” sahut Radit sambil cengegesan.Mungkin teriakanku cukup keras tadi sehingga terdengar sampai di luar. Beberapa orang masuk, termasuk om Aryo. Melihat banyak orang mendatangi, Radit menyeringai lalu keluar dari ruang rias.…Ketika acara pernikahan selesai, aku dan mas Naren di antar ke kamar pengantin di hotel itu. Aku merasa lega telah melewati prosesi pernikahan, dan kini aku bisa mengganti baju dengan baju biasa dan merasa bebas.“Mas, maafkan aku ya, dan terima kasih kamu bersedia menikahi aku,” kataku kepada mas Naren dengan penuh rasa terima kasih.Mas Naren menatapku sejenak, lalu berkata biasa, “Tida
AKU masygul mendengar jawaban mas Naren itu. Tidak? Lalu kenapa dia mau melakukan pernikahan ini?Sekarang, akulah yang duduk diam membisu. Kata apalagi yang bisa aku katakan? Pertanyaan apalagi yang bisa aku ajukan? Jawabannya sudah jelas dan tegas: tidak!Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Duduk diam saja menelan kata pahit yang baru didengar? Atau bangkit berdiri dan mengambil makanan? Semuanya tidak ada yang pantas lagi. Aku sudah dijerumuskan ke lobang sempit yang gelap, tidak mampu berkutik lagi. Aku sangat malu! MALU! Bagaimana aku bisa mengharapkan apapun dari orang yang sudah tegas berkata tidak?Tidak terasa, air sudah menggenangi kelopak mataku. Inilah seorang perempuan, akhirnya menangis juga. Putus asa, bingung, malu, rendah diri, dicampakkan. Mau apa lagi? Betapa hina dan tidak berharganya diri ini. Betapa tidak berdayanya seorang perempuan dalam keadaan seperti ini, hanya menjadi korban dari seorang laki-laki karena rasa cinta. Karena asmara. Kar
BUKAN hanya Radit yang tercengang mendengar penolakanku, tetapi semua yang ada di meja makan itu, termasuk mas Naren.Karena aku melihat pak Handoyo dan mami Rita juga tercengang, aku menjadi serba salah. Secara spontan aku pun mencoba meredakan ketegangan yang muncul.“Eh… maaf. Ini kan sudah dibawakan mbak Murni,” kataku sambil mengambil sirop dari mbak Murni dan meletakkannya di depan Radit.Untunglah ketegangan itu tidak berlangsung lama. Mami Rita lalu tertawa dan berkata, “nah, rasain kamu. Hahaha…”…Selesai makan, kami pindah ke ruang keluarga. Sambil makan buah iris, pak Handoyo bertanya kepadaku. “Indri, apa rencanamu. Meneruskan kuliah atau bagaimana?”Aku menjadi repot menjawab pertanyaan ini. Aku bahkan belum memikirkannya, atau lebih tepatnya, aku tidak berani memikirkannya. Rasanya tidak mungkin aku ke kampus lagi dan bertemu dengan teman-temanku, apalagi nanti perutku a
AKU terpaku. Masygul. Kayaknya, inilah kunci dari semua keanehan sikap mas Naren kepadaku. Kenapa dia seakan tidak berdaya menghadapi Radit, dan sebagainya.“Maaf, mas,” aku merasa bersalah telah membuat mas Naren terpaksa membuka rahasia jati dirinya.Mas Naren tersenyum pahit. “Aku baru bilang ini hanya kepada kamu, Indri. Jangan sampai kamu bilang lagi kepada orang lain. Papi mami pun tidak tahu kalau aku sudah mengetahui hal ini. Radit juga. Dia tidak tahu tentang ini.”“Oh…”“Aku tidak ingin suasana di rumah ini jadi berubah. Biarlah tetap seperti apa adanya.”“Maaf, mas. Apakah karena itu mas Naren membiarkan Radit berlaku semaunya, bahkan menginjak-injak harga diri mas sebagai kakaknya?”Mas Naren menghela napas. “Radit memang begitu, bukan sekarang saja. Dia dimanja oleh mami papi, dibiarkan semaunya. Mungkin mami papi sangat menyayanginya karena dia anak yang d
MAMI RITA berbalik tanpa menjawab pertanyaanku dan melangkah ke teras belakang, yang menghadap ke kolam renang. Aku menyusulnya sambil menata debaran jantungku yang mendadak lebih kencang.Aku masih berdiri ketika mami Rita sudah duduk di kursi teras. Dengan anggukan kepala, mami menyuruhku duduk di kursi di sampingnya, diselang oleh sebuah meja kecil.Karena mami Rita masih diam saja, aku memberanikan diri membuka pembicaraan. “Maaf, mami, saya ajak bicara sebentar…”“Langsung saja,” sahut mami Rita datar.Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan mami dan papi menerima saya…”“Oke, Indri. Kamu bisa langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?” potong mami tidak sabar.“Begini, mi, Indri mohon maaf sebelumnya. Semalam saya sudah bicara dengan mas Naren. Kalau dibolehkan, kami ingin tinggal di rumah se
PAK DAHLAN adalah manager personalia di perusahaan pak Handoyo. Ketika aku menemuinya, pak Dahlan sudah mendapat instruksi dari pak Handoyo untuk langsung memberikan posisi yang aku inginkan.“Non Indri silahkan pilih saja posisi yang masih lowong, dan hari ini sudah bisa mulai aktif,” kata pak Dahlan.“Saya belum pernah bekerja pak. Saya dikasih pekerjaan apa saja boleh, asal saya bisa bekerja,” jawabku bingung.“Tetapi tuan menyuruh saya untuk memberikan posisi manager bagi non Indri.”“Pak, jangan panggil saya ‘non’. Saya kikuk jadinya…”“Eh, baik, non… eh, mbak Indri…”“Nah, begitu lebih baik. Saya ini orang Jawa, pak.”“Iya mbak, silahkan. Ini ada posisi Manager Pemasaran, jika mbak Indri mau,” kata pak Dahlan menunjuk struktur organisasi perusahaan. “Kebetulan orangnya belum lama ini resign, dan kami belum m