Apa Uti dan adiknya juga marah padanya? Vanya tidak berani menelepon atau mengirimkan pesan pada utinya. Takut kalau sakit utinya mendadak kambuh.Vanya memeluk guling sambil terus menangis sepanjang malam. Dia takut menghadapi hari esok tanpa papanya.***L***"Mas, nggak pulang dulu lihat Sony?" tanya Puspa sepagi itu. Ketika jarum jam menunjukkan pukul enam pagi.Di kamar perawatan hanya ada mereka berdua saja, karena habis subuh tadi Pak Lurah dan Bu Lurah pamit pulang. Sebab pagi ini mempekerjakan beberapa orang di sawah."Mas sudah meneleponnya subuh tadi. Dia minta dijemput ke sini setelah pulang sekolah.""Bagaimana pertemuan Mas dengan Vanya kemarin sore? Apa dia ikut pulang?""Tidak perlu kamu pikirkan mengenai Vanya. Kamu fokus untuk pulih dulu, ya. Biar mas bisa segera mengajakmu kembali pulang ke rumah."Puspa mengangguk pelan. Mendengar jawaban suaminya, pasti tidak ada perubahan apapun setelah Bram datang menjemput. Sekeras itukah Vanya? Bermakna kebencian gadis itu terh
PERNIKAHAN - Pulang Puspa mengulum senyum seraya memandang keluar jendela. Deru mobil Bram sudah meninggalkan halaman rumah. Namun suaranya tadi masih terngiang dan wangi parfumnya seolah masih tertinggal di kamar. Meninggalkan pipi yang merona dalam diam, kaget dan Puspa belum sempat menjawab kalimat itu.Debaran di dadanya belum mereda. Kamar serasa dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Dari sekian waktu yang telah mereka lalui, hari ini sungguh berbeda. Kalimat ajaib akhirnya ia dengar juga dari bibir suaminya. Keguguran kemarin membuat Bram sangat frustasi. Dia harus menghadapi Vanya yang pergi dari rumah, pada saat yang bersamaan juga kehilangan calon bayi mereka.Puspa mengusap perutnya. Rata lagi sekarang. Padahal dia sangat bahagia dan tengah mempersiapkan acara empat bulanan tak lama lagi. Setiap detik ia berjuang untuk tidak tenggelam dalam kesedihan memikirkan kebencian Vanya terhadapnya. Namun beban emosional itu ternyata c
"Iya. Wong dia pernah bilang, pengen punya suami seperti suami kakaknya yang paket komplit. Jadi Santi diam-diam menyukai Mas Bram sewaktu pria itu masih menjadi suami kakaknya. Kebetulan juga Mbak Sandra meninggal karena sakit, kesempatan dong buat Santi untuk deketin mantan ipar. Sampe ada masalah sedikit sama suaminya, dibikin besar dan dia punya alasan untuk minta cere.""Astaghfirullah.""Eh, didukung pula sama Bu Harso. Klop dah. Tapi sayang gagal ngegaet ipar. Malah sekarang ponakannya dijadikan umpan untuk mendapatkan laki-laki itu. Aku sudah ngingetin dia, tapi nggak digubris. Sayang banget, dia tuh berpendidikan, cantik, dan punya usaha. Tapi kalau terus bersikap seperti ini, jadinya perempuan nggak punya harga diri."Vanya terkejut. Napasnya sampai terengah-engah mendengar percakapan mereka. Gadis remaja itu memegangi dadanya yang sesak. Air mata sudah merembes membasahi pipi.Tadi malam sebenarnya dia sudah mendengar percakapan nenek dan tantenya. Namun belum begitu paham.
Vanya tersedu-sedu di pelukan utinya. Dengan sabar Bu Dewi membelai rambut dan menenangkan sang cucu."Papa di mana, Uti? Mobilnya nggak ada di garasi.""Papamu baru saja pulang dan langsung pergi ke gudang.""Bunda?" ucap Vanya lirih sambil menunduk."Bunda sekarang ada di rumah orang tuanya. Bunda keguguran dan baru pulang dari rumah sakit setelah dirawat dua hari."Vanya terperanjat memandang Bu Dewi. Keguguran lagi? Apa dia bahagia sekarang? Adik yang tidak diharapkannya telah gugur. Vanya sibuk menghapus air mata. Pasti papanya sedih dan kesal terhadapnya. Vanya takut."Uti, Vanya mau nyusul papa ke gudang.""Tunggu saja papamu pulang, Nduk.""Biar Vanya ke gudang saja." Vanya takut papanya bertambah murka. Apalagi kelakuannya membuat Puspa keguguran. Pantas saja telepon dan pesannya tidak dibalas.Vanya bangkit dari duduknya. "Vanya ke gudang dulu, Uti.""Ya sudah, kamu minta maaf dan bicara baik-baik ya sama papa."Vanya mengangguk. Kemudian melangkah ke arah timur. Melewati ta
PERNIKAHAN- Patah"Nduk, ada teman kuliahmu mampir. Dia ada di joglo depan." Bu Lurah membuka pintu kamar dan bicara pada putrinya yang sedang menyisir rambut."Siapa, Bu? Dita?" tebak Puspa. Memang Dita yang paling sering datang ke rumahnya."Bukan. Nak Rayyan yang datang."Puspa terkejut. Untuk apa Rayyan datang ke rumah. "Temui dulu, Nduk. Biar ibu bikinkan teh." Bu Lurah melangkah ke dapur. Puspa masih diam di depan cermin. Kemudian segera meraih bergo yang ada di atas tempat tidur.Kenapa Rayyan menemuinya lagi. Membuat Puspa kembali merasa bersalah karena meninggalkannya tanpa penjelasan."Hai, Puspa." Rayyan berdiri saat Puspa muncul di pintu. Wanita itu tersenyum menyambut tangan Rayyan yang menyalaminya.Hati Rayyan seketika bergetar. Itu dia, wanita yang selama ini masih tinggal di sudut hatinya. "Apa kabar, Ray?""Alhamdulillah sehat. Ibumu bilang, kamu baru pulang dari rumah sakit.""Iya.""Oleh-oleh untukmu." Rayyan memberikan paper bag berisi bolu kukus dan tahu poo.
Keheningan kian terasa di antara mereka. Suara gerimis yang menerpa dedaunan dan atap rumah, menciptakan irama lembut. Hawa dingin menguar, membawa wangi ampo."Apa kamu ganti nomer, aku menghubungimu nggak bisa.""Iya," jawab Puspa singkat. Supaya Rayyan tidak minta nomer barunya. Padahal cowok itu sebenarnya sudah menyimpan nomernya Puspa yang ia ambil dari ponselnya Dita pagi itu."Aku mencarimu di jalan Majapahit setelah kita bertemu sore itu. Tapi aku nggak pernah menemukanmu lagi.""Malamnya aku pulang bersama suamiku."Rayyan manggut-manggut. Sekalipun sangat penasaran dengan kehidupan Puspa setelah menikah, tapi Rayyan menahan diri untuk tidak menanyakannya. Pada kahekatnya hanya membuat dirinya terluka.Hening."Terima kasih, Ray. Nggak nyangka kamu masih mau mampir ke sini," ucap Puspa setelah diam menjeda."Aku nggak pernah melupakan kamu." Akhirnya terucap juga. Rayyan tidak bisa menahannya. Dengan napas tertahan, Rayyan berusaha menahan gelombang emosi yang datang seperti
Rayyan mengangguk. Kemudian pergi membawa payung yang diberikan Puspa.Puspa dan Bu Lurah menunggu sampai mobil Rayyan meninggalkan depan rumah mereka. Klakson yang dibunyikan dibalas lambaian tangan oleh Puspa."Dia mantanmu, Nduk?" tanya Bu Lurah setelah mereka masuk rumah. Membuat Puspa terkejut. Kenapa ibunya bertanya begitu."Bukan, Bu.""Jangan bohongi ibu. Waktu dia datang tadi, ibu nggak kepikiran kalau dia lelaki yang menyukaimu. Tapi setelah ibu melihat kalian ngobrol tadi, sepertinya ada sesuatu di antara kalian."Setelah Bu Lurah mengambil jemuran di belakang, dia hendak kembali ke joglo. Tapi langkahnya terhenti di balik pintu saat mendengar percakapan Puspa dan Rayyan."Bener dia mantanmu?"Puspa diam beberapa saat. Kemudian menceritakan semuanya. Bu Lurah ikut berkaca-kaca. Dia iba pada lelaki yang terlihat sangat baik tadi."Tapi sekarang kamu sudah bersuami, Puspa. Jangan lagi menoleh ke belakang. Sebaik apapun Rayyan. Bagimu saat ini, Bram yang lebih utama. Nak Bram
PERNIKAHAN - KarmaBram masuk kamar yang membuat Puspa terkejut. Wanita itu sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tubuhnya terbalut sweater warna putih. Hawa memang cukup dingin setelah turun hujan.Dia pikir suaminya akan datang larut malam."Mas." Senyuman Bram membuat dadanya berdebar. Ah, Puspa ingat kalimat yang diucapkan sang suami sebelum pergi meninggalkan rumahnya tadi siang.Lelaki itu duduk di dekat istrinya setelah mengecup kening dan kembali membuat Puspa berdebar. Antara bahagia dan khawatir. Apa Bram akan marah jika tahu dirinya baru saja bertemu dengan Rayyan."Sudah minum obat?""Iya, sudah. Mas, sudah makan?""Sebelum salat Maghrib tadi mas sudah makan bareng Sony.""Aku buatin minum dulu." "Tidak usah." Bram menahan Puspa yang hendak turun dari pembaringan. Di luar tadi mertuanya sudah menawari minum, tapi ditolak oleh Bram. Puspa kembali merona dan serba salah dipandangi seperti itu. Tatapan Bram begitu dalam."Siapa yang bertamu tadi?" tanya Bram yang me
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun