PERNIKAHAN- Patah"Nduk, ada teman kuliahmu mampir. Dia ada di joglo depan." Bu Lurah membuka pintu kamar dan bicara pada putrinya yang sedang menyisir rambut."Siapa, Bu? Dita?" tebak Puspa. Memang Dita yang paling sering datang ke rumahnya."Bukan. Nak Rayyan yang datang."Puspa terkejut. Untuk apa Rayyan datang ke rumah. "Temui dulu, Nduk. Biar ibu bikinkan teh." Bu Lurah melangkah ke dapur. Puspa masih diam di depan cermin. Kemudian segera meraih bergo yang ada di atas tempat tidur.Kenapa Rayyan menemuinya lagi. Membuat Puspa kembali merasa bersalah karena meninggalkannya tanpa penjelasan."Hai, Puspa." Rayyan berdiri saat Puspa muncul di pintu. Wanita itu tersenyum menyambut tangan Rayyan yang menyalaminya.Hati Rayyan seketika bergetar. Itu dia, wanita yang selama ini masih tinggal di sudut hatinya. "Apa kabar, Ray?""Alhamdulillah sehat. Ibumu bilang, kamu baru pulang dari rumah sakit.""Iya.""Oleh-oleh untukmu." Rayyan memberikan paper bag berisi bolu kukus dan tahu poo.
Keheningan kian terasa di antara mereka. Suara gerimis yang menerpa dedaunan dan atap rumah, menciptakan irama lembut. Hawa dingin menguar, membawa wangi ampo."Apa kamu ganti nomer, aku menghubungimu nggak bisa.""Iya," jawab Puspa singkat. Supaya Rayyan tidak minta nomer barunya. Padahal cowok itu sebenarnya sudah menyimpan nomernya Puspa yang ia ambil dari ponselnya Dita pagi itu."Aku mencarimu di jalan Majapahit setelah kita bertemu sore itu. Tapi aku nggak pernah menemukanmu lagi.""Malamnya aku pulang bersama suamiku."Rayyan manggut-manggut. Sekalipun sangat penasaran dengan kehidupan Puspa setelah menikah, tapi Rayyan menahan diri untuk tidak menanyakannya. Pada kahekatnya hanya membuat dirinya terluka.Hening."Terima kasih, Ray. Nggak nyangka kamu masih mau mampir ke sini," ucap Puspa setelah diam menjeda."Aku nggak pernah melupakan kamu." Akhirnya terucap juga. Rayyan tidak bisa menahannya. Dengan napas tertahan, Rayyan berusaha menahan gelombang emosi yang datang seperti
Rayyan mengangguk. Kemudian pergi membawa payung yang diberikan Puspa.Puspa dan Bu Lurah menunggu sampai mobil Rayyan meninggalkan depan rumah mereka. Klakson yang dibunyikan dibalas lambaian tangan oleh Puspa."Dia mantanmu, Nduk?" tanya Bu Lurah setelah mereka masuk rumah. Membuat Puspa terkejut. Kenapa ibunya bertanya begitu."Bukan, Bu.""Jangan bohongi ibu. Waktu dia datang tadi, ibu nggak kepikiran kalau dia lelaki yang menyukaimu. Tapi setelah ibu melihat kalian ngobrol tadi, sepertinya ada sesuatu di antara kalian."Setelah Bu Lurah mengambil jemuran di belakang, dia hendak kembali ke joglo. Tapi langkahnya terhenti di balik pintu saat mendengar percakapan Puspa dan Rayyan."Bener dia mantanmu?"Puspa diam beberapa saat. Kemudian menceritakan semuanya. Bu Lurah ikut berkaca-kaca. Dia iba pada lelaki yang terlihat sangat baik tadi."Tapi sekarang kamu sudah bersuami, Puspa. Jangan lagi menoleh ke belakang. Sebaik apapun Rayyan. Bagimu saat ini, Bram yang lebih utama. Nak Bram
PERNIKAHAN - KarmaBram masuk kamar yang membuat Puspa terkejut. Wanita itu sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tubuhnya terbalut sweater warna putih. Hawa memang cukup dingin setelah turun hujan.Dia pikir suaminya akan datang larut malam."Mas." Senyuman Bram membuat dadanya berdebar. Ah, Puspa ingat kalimat yang diucapkan sang suami sebelum pergi meninggalkan rumahnya tadi siang.Lelaki itu duduk di dekat istrinya setelah mengecup kening dan kembali membuat Puspa berdebar. Antara bahagia dan khawatir. Apa Bram akan marah jika tahu dirinya baru saja bertemu dengan Rayyan."Sudah minum obat?""Iya, sudah. Mas, sudah makan?""Sebelum salat Maghrib tadi mas sudah makan bareng Sony.""Aku buatin minum dulu." "Tidak usah." Bram menahan Puspa yang hendak turun dari pembaringan. Di luar tadi mertuanya sudah menawari minum, tapi ditolak oleh Bram. Puspa kembali merona dan serba salah dipandangi seperti itu. Tatapan Bram begitu dalam."Siapa yang bertamu tadi?" tanya Bram yang me
Sejenak keheningan terasa begitu dalam. Hanya ada suara angin lembut yang menggerakkan tirai, seolah menyapu senyap di antara mereka berdua.Beberapa hari terakhir setelah Puspa kembali mengalami keguguran, hatinya dipenuhi dengan ketakutan yang tak bisa ia kendalikan. Ketakutan yang terus berbisik bahwa ia bisa kehilangan istrinya, wanita yang kini menjadi pusat dunianya.Bram sangat khawatir yang datang tadi keluarga Pak Maksum, tapi ternyata orang yang lebih membuatnya begitu resah."Mas, sudah menemui Vanya?" Puspa mengganti topik percakapan."Kalau Vanya tidak kembali ke rumah. Apa kamu juga tak ingin pulang ikut mas?""Bukan aku nggak ingin ikut. Tapi aku akan memberikan kesempatan pada Mas dan Vanya untuk memperbaiki hubungan kalian. Vanya itu putrimu, Mas. Sedangkan aku adalah orang baru. Jangan karenaku semua akan berantakan.""Dia juga harus belajar menghargai orang yang sekarang menjadi pendamping papanya. Lusa mas akan ngajak kamu kembali ke rumah. Mas yakin kamu sudah jau
Bram melihat jam tangannya. "Kamu mandi dulu. Papa yang akan nganterin kamu dan adik berangkat sekolah. Sony juga belum turun. Buruan papa tunggu untuk sarapan."Vanya mengangguk. Dengan cepat menaiki tangga sambil membawa ranselnya."Vanya benar-benar menyesal, Bram. Kemarin sepanjang hari menangis. Akhirnya dia tahu sendiri bagaimana kelakuan mereka.""Ya, Ma.""Bagaimana kondisi Puspa?""Besok saya akan mengajaknya pulang ke sini, Ma. Kalau nanti sore Vanya menemuinya, pasti Puspa tidak akan ragu untuk pulang bersama kami."Bu Dewi lega. Satu permasalahan yang menyita pikiran putranya, sudah mulai bisa di atasi. Tapi ia yakin, keluarga Bu Harso belum tentu diam saja setelah ini.Sementara Vanya yang masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk mandi, berbalik mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja.Santi menelepon. Vanya mematung lama sebelum menerima panggilan. Setelah sehari semalam, baru dia dicari. "Halo," jawabnya lirih dan takut."Bagus ya kamu main kabur saja dari rumah.
PERNIKAHAN - Maaf, Bunda"Jangan, Pa. Resikonya terlalu besar. Nyawa taruhannya," cegah Dikri yang kaget dengan keputusan papanya."Kalau sampai adikmu melahirkan tanpa suami, mau di taruh mana muka kita. Resikonya juga besar, Dik. Banyak yang kita pertaruhkan," debat Pak Maksum.Dikri berdecak lirih. Papanya lebih mementingkan harta dan nama baik daripada nyawa anak perempuannya. "Tapi resikonya terlalu besar, Pa. Denik minum pil, minum jus, minum ini itu, melakukan persis seperti yang dikatakan Mama. Tapi apa hasilnya? Janin itu tetap bertahan kan. Jadi kalau memaksakan diri, hanya akan menyakiti Denik. Bahkan dia bisa kehilangan nyawanya.""Lalu kita membiarkan anak itu lahir? Dan semua orang tahu, terus hancur semuanya. Begitu." Pak Maksum terlihat sangat stres. Wajahnya merah padam, tubuhnya tegang mondar-mandir di hadapan anak dan istrinya."Kuliah Denik juga terancam. Adikmu juga terbebani dengan omongan teman-temannya nanti. Jadi papa pikir, aborsi lebih baik. Kita cari dokt
Para asisten rumah tangga di ruang belakang hanya saling pandang saja. Mereka hanya bisa merangkai dan menebak-nebak apa yang terjadi. Semenjak kejadian siang di mana Puspa menangis di hadapan majikannya, keadaan rumah kian kacau. Apalagi Bu Maksum pernah meminta pil kontrasepsi pada salah seorang pembantunya yang memang bekerja di rumah itu sekalian sama suaminya. Driver Pak Maksum adalah suami wanita itu. Mereka prihatin pada Denik. Mereka juga melihat Dikri lebih pendiam setelah peristiwa siang itu.Dikri menarik napas panjang. Dadanya bagai dihimpit bongkahan bebatuan. Semua ini menyisakan perasaan tak berdaya yang sangat mendalam. Situasi yang mereka hadapi terasa begitu kompleks dan di luar kendali. Tekanan untuk membuat keputusan ini, di tengah situasi emosional yang penuh beban, menambah rasa frustrasi. Orang tua mungkin merasa kehilangan kontrol atas kehidupan anaknya, terjebak antara keinginan untuk melindungi dan kenyataan pahit yang tak dapat mereka ubah. Yang jelas, keeg
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant