"Aku sejak tadi malam nggak buka handphone, Pa.""Kenapa?"Vanya menunduk diam. "Kenapa?" ulang Bram."Tante Santi marah. Dia ngirim pesan dan berkata macam-macam. Vanya nggak berani membacanya." Vanya menjawab lirih."Mana ponselmu? Papa mau lihat.""Ada di kamar.""Oke. Biar papa ambil sendiri."Bram bergegas menaiki tangga dan langsung ke kamar putrinya. Diambil ponsel di meja belajar. Membuka semua pesan yang dikirimkan oleh Santi. Dada Bram bergemuruh. Sungguh keterlaluan Santi. Bisa-bisanya bicara kelewat batas pada keponakannya sendiri. Tega pada Vanya yang masih belia. Bram tidak ingin menelepon balik untuk menegurnya. Ia memilih menghapus semua pesan dan mengeluarkan SIM card dari ponselnya Vanya. Nanti bisa diganti dengan nomer lain.Jika sekarang sulit untuk berhubungan baik dengan mereka, mungkin harus mengambil jeda, sampai saling menyadari dan hubungan kekeluargaan membaik lagi. Sebelum keluar, Bram memperhatikan sejenak foto Sandra di meja belajarnya Puspa. Baru berg
PERNIKAHAN - Super Premium Puspa kaget melihat siapa yang datang. Jantungnya bertalu hebat. Antara rasa khawatir dan takut. Wajah Bram yang tadinya ceria kini tampak tegang dan tajam saat memandang sosok yang berlari kecil ke arah mereka."Assalamu'alaikum," ucap Rayyan sambil membawa payung di tangannya."Wa'alaikum salam." Empat orang menjawab serempak.Rayyan pun terkejut juga. Dia tidak menyangka akan bertemu Bram malam itu. Dia pikir, Puspa sudah kembali ke rumah suaminya. Tapi justru dia bertemu mereka berdua di sana.Bram menyambut uluran tangan Rayyan. Sekalipun dalam hati terasa panas terbakar, tapi lelaki itu masih menunjukkan senyum ramahnya. Sedangkan Puspa sudah pias dan panas dingin. Dua lelaki dengan kisah berbeda malam itu bertemu di hadapannya. Membuat serba salah."Aku mampir ngembaliin payung. Kebetulan aku baru saja bertemu klien di Restoran Andaru jadi sekalian ke sini." Rayyan pun tampak canggung sambil meletakkan payung yang sudah dilipat rapi di atas meja."
Setelah Irwan dan Indah pergi, Pak Lurah mengambilkan kasur lantai. Bu Lurah membawakan seprai dan bantal. Malam itu mereka akan tidur bersama anak-anak di depan televisi.Sedangkan Bram dan Puspa masuk kamar. Usia melaksanakan salat isya, Bram duduk di ranjang. Di dekat Puspa yang memperhatikannya. Ada keheningan yang berat di antara mereka, imbas dari pertemuan dengan Rayyan tadi."Maaf, aku nggak nyangka kalau Rayyan akan datang lagi," ujar Puspa lirih. Dengan tatapan sarat rasa bersalah.Bram menatap lekat istrinya. Jujur saja, dia cemburu berat. Jelas terlihat, tatapan Rayyan penuh rasa cinta yang mendalam. Tatapan intens Bram pada istrinya seolah meminta jaminan bahwa hubungan mereka tidak tergoyahkan oleh bayang-bayang masa lalu.Tanpa berkata, Bram menarik istrinya lebih dekat, hasrat bercampur dengan emosi yang meletup-letup. Api cemburu terus menyala, dan satu-satunya cara untuk meredamnya adalah dengan ... ah tapi Puspa belum bisa di sentuh."Sehabis subuh kita kembali ke r
Gadis itu memucat. Dia takut. Takut menghadapi eksekusi dan takut memiliki anak tanpa ayah. Semua sangat membingungkan."Kalau kamu ingin tahu pendapat mas. Mas ingin kamu mempertahankan anak itu. Pergi dari kota ini. Percayalah, mas nggak mungkin membiarkanmu sendirian. Jangan menambah dosa dengan membuang bayi yang tidak tahu apa-apa."Denik merinding. Air mata kembali menetes dipipinya. "Jika aku memilih mengasingkan diri, bagaimana aku bilangnya pada papa dan mama?""Mas yang akan ngomong sama mereka. Jangan terlalu lama mengambil keputusan. Karena mas harus segera mencarikan tempat tinggal untukmu. Sebelum papa memaksamu untuk aborsi."Air mata Denik terus berderai. "Kamu pasti bisa merawat anakmu dan menjadi ibu yang baik. Mas nggak akan diam saja, Den. Pasti membantumu.""Baiklah. Aku ikut saran mas saja."Dikri bernapas lega. Dia bisa menyelamatkan adiknya dari segala kemungkinan yang terjadi saat aborsi, juga menghindarkan dari kekejaman membunuh janin yang tidak berdosa. De
PERNIKAHAN- Honeymoon Sore itu langit memancarkan semburat warna jingga. Menyambut perjalanan baru yang akan ditempuh oleh Bram dan Puspa. Udara terasa sejuk.Tadi mereka sudah pamitan pada anak-anak. Bagi Sony dan Vanya tidak masalah. Karena dulu pun sering ditinggal papa dan mamanya keluar kota. Lagian mereka juga harus sekolah. Bu Dewi yang menemani anak-anak di rumah.Sesekali Bram menoleh ke arah Puspa yang duduk di sampingnya, tampak cantik dalam balutan gaun ringan berwarna pastel."Kita akan nginap di Batu malam ini. Besok pagi baru berangkat ke Malang Selatan," ujar Bram seraya memandang istrinya sekilas. Karena dia harus fokus untuk menyetir di jalanan yang berkelok dan menanjak. Masuk ke Ngantang, kabut mulai turun membatasi pandangan. Mobil melaju tenang, melintasi jalan-jalan yang dikelilingi pepohonan rindang. Musik lembut dari radio mengalun, menambah suasana syahdu di dalam perjalanan."Kenapa?" tanya Bram melihat Puspa duduk tak nyaman."Pinggulku kesenggol tas, Ma
Pagi itu, sinar matahari perlahan menyusup melalui celah-celah tirai. Menciptakan cahaya lembut yang membalut kamar mereka. Suara kicau burung di luar sana, menambah syahdu suasana pagi yang dingin dan masih berkabut.Bram dan Puspa duduk menikmati teh panas dan sandwich. Pengganjal lapar setelah malam panjang melelahkan. Wajah Puspa meski terlihat lebih segar dengan rambut basahnya, tapi tidak bisa menyembunyikan kelelahannya. "Anak-anak kemarin nggak sibuk nanya apa-apa saat kita pamitan, Mas," kata Puspa."Mereka sudah terbiasa," jawab Bram sambil mengunyah sandwich. Wajah Puspa sedikit berubah. Membayangkan Bram yang selalu mengajak istri pertamanya keluar kota tanpa anak-anak. Seperti ini tentunya."Empat tahun kemarin, mas sering keluar kota untuk urusan pekerjaan. Makanya Vanya dan Sony sudah terbiasa ditinggal," ralat Bram karena ia mengerti apa yang sedang dipikirkan istrinya. Walaupun itu tidak mengurangi dugaan di benak Puspa."Oh," jawab Puspa singkat.Bram bergeser duduk
"Di Madiun aku harus tinggal di mana, Mas?" tanya Denik yang terlihat begitu tertekan. Dikri yang duduk di depannya juga kebingungan. Dia awam dengan kota itu. "Nanti mas pikirkan. Yang penting kamu mendapatkan tempat yang aman di sana.""Kalau Mas sendiri nggak tahu, lebih baik aku nggak usah tinggal di sana. Aku tetap tinggal di sini saja. Dikurung dalam kamar juga nggak apa-apa," ucap Denik pasrah. "Bagaimana kalau di Malang? Mas paham kota itu dari pada kota yang lainnya. Dan besok pun kamu sudah bisa pindah ke sana. Mas ada kenalan yang bisa dipercaya."Denik diam. Di sana pun dia tetap takut keluar sendirian. Ujung-ujungnya akan tinggal di dalam rumah juga. Kalau demikian bukankah lebih baik kalau dia tidak usah pindah. Namun ia sangat kecewa dengan kedua orang tuanya. Mereka sibuk menjaga nama baik sendiri dan tidak mempedulikan bagaimana tertekannya sang anak."Baiklah, Mas. Aku pilih Malang." Akhirnya gadis itu membuat keputusan. Lebih baik menjauh dari keluarganya. "Oke.
PERNIKAHAN - Sandra"Sayang, kita pergi dari sini!" ajak Bram menyudahi makan dan mendorong piringnya menjauh. Mereka harus pergi sebelum Dikri dan perempuan itu mencari tempat duduk setelah memesan makanan.Bram tidak tahu kalau yang bersama Dikri adik dari laki-laki itu.Puspa kaget juga bingung. Kenapa harus pergi, padahal makanan mereka baru di makan beberapa suap. "Kenapa, Mas?""Kita cari makan di tempat lain saja. Di sini kurang enak." Bram mencondongkan tubuh dan membisiki istrinya.Tentu saja makin membuat Puspa merasa aneh. Selama beberapa bulan ini, mana pernah Bram protes soal rasa makanan. Dia selalu menghargai masakan yang dibuatnya atau di masak oleh ART mereka."Kita pergi."Puspa memandang makanan di piring atas meja. Sayang banget kalau ditinggal. Sebenarnya masakan restoran itu sangat enak. Aneh saja suaminya mendadak bilang tidak enak. Padahal apa yang dimasaknya jauh lebih hambar.Terpaksa Puspa mengikuti kemauan suaminya. Diraih tas dan menyambut uluran tangan B
"Balikan saja kamu sama Maya, Dik. Toh dia pun sekarang single. Dia juga wanita yang baik."Dikri tersenyum samar. "Aku dukung kalau kamu balikan sama dia. Kurasa Om dan Tante pasti setuju.""Belum tentu Maya mau, Mas.""Jangan ambil kesimpulan dulu kalau belum dicoba. Kamu nggak harus bilang sekarang. Coba deketin dengan cara sering ngajak dia ketemuan. Ngobrol dan sempatkan mengirim pesan. "Kamu nggak perlu khawatir dengan rahasia kelammu. Yang tahu hanya Om, Tante, aku, Indah, kedua mertuaku, dan Bram saja. Bahkan papa dan mamaku sampai sekarang nggak tahu. Kami nggak mungkin akan bocor ke orang lain. Selama ini kami pun diam saja. Kalau pun pada akhirnya Maya tahu, aku yakin dia nggak akan mempermasalahkan. Apalagi kamu sudah berubah. Ayolah, deketin dia lagi." Irwan antusias mendukung.***L***"Aku ketemu Maya, Ma." Dikri bicara saat ia, papa, dan mamanya bersantai di teras depan rumah malam itu. Sambil menikmati ubi rebus dan teh panas."Di mana?" "Sudah dua kali aku bertemu
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l