Setelah Irwan dan Indah pergi, Pak Lurah mengambilkan kasur lantai. Bu Lurah membawakan seprai dan bantal. Malam itu mereka akan tidur bersama anak-anak di depan televisi.Sedangkan Bram dan Puspa masuk kamar. Usia melaksanakan salat isya, Bram duduk di ranjang. Di dekat Puspa yang memperhatikannya. Ada keheningan yang berat di antara mereka, imbas dari pertemuan dengan Rayyan tadi."Maaf, aku nggak nyangka kalau Rayyan akan datang lagi," ujar Puspa lirih. Dengan tatapan sarat rasa bersalah.Bram menatap lekat istrinya. Jujur saja, dia cemburu berat. Jelas terlihat, tatapan Rayyan penuh rasa cinta yang mendalam. Tatapan intens Bram pada istrinya seolah meminta jaminan bahwa hubungan mereka tidak tergoyahkan oleh bayang-bayang masa lalu.Tanpa berkata, Bram menarik istrinya lebih dekat, hasrat bercampur dengan emosi yang meletup-letup. Api cemburu terus menyala, dan satu-satunya cara untuk meredamnya adalah dengan ... ah tapi Puspa belum bisa di sentuh."Sehabis subuh kita kembali ke r
Gadis itu memucat. Dia takut. Takut menghadapi eksekusi dan takut memiliki anak tanpa ayah. Semua sangat membingungkan."Kalau kamu ingin tahu pendapat mas. Mas ingin kamu mempertahankan anak itu. Pergi dari kota ini. Percayalah, mas nggak mungkin membiarkanmu sendirian. Jangan menambah dosa dengan membuang bayi yang tidak tahu apa-apa."Denik merinding. Air mata kembali menetes dipipinya. "Jika aku memilih mengasingkan diri, bagaimana aku bilangnya pada papa dan mama?""Mas yang akan ngomong sama mereka. Jangan terlalu lama mengambil keputusan. Karena mas harus segera mencarikan tempat tinggal untukmu. Sebelum papa memaksamu untuk aborsi."Air mata Denik terus berderai. "Kamu pasti bisa merawat anakmu dan menjadi ibu yang baik. Mas nggak akan diam saja, Den. Pasti membantumu.""Baiklah. Aku ikut saran mas saja."Dikri bernapas lega. Dia bisa menyelamatkan adiknya dari segala kemungkinan yang terjadi saat aborsi, juga menghindarkan dari kekejaman membunuh janin yang tidak berdosa. De
PERNIKAHAN- Honeymoon Sore itu langit memancarkan semburat warna jingga. Menyambut perjalanan baru yang akan ditempuh oleh Bram dan Puspa. Udara terasa sejuk.Tadi mereka sudah pamitan pada anak-anak. Bagi Sony dan Vanya tidak masalah. Karena dulu pun sering ditinggal papa dan mamanya keluar kota. Lagian mereka juga harus sekolah. Bu Dewi yang menemani anak-anak di rumah.Sesekali Bram menoleh ke arah Puspa yang duduk di sampingnya, tampak cantik dalam balutan gaun ringan berwarna pastel."Kita akan nginap di Batu malam ini. Besok pagi baru berangkat ke Malang Selatan," ujar Bram seraya memandang istrinya sekilas. Karena dia harus fokus untuk menyetir di jalanan yang berkelok dan menanjak. Masuk ke Ngantang, kabut mulai turun membatasi pandangan. Mobil melaju tenang, melintasi jalan-jalan yang dikelilingi pepohonan rindang. Musik lembut dari radio mengalun, menambah suasana syahdu di dalam perjalanan."Kenapa?" tanya Bram melihat Puspa duduk tak nyaman."Pinggulku kesenggol tas, Ma
Pagi itu, sinar matahari perlahan menyusup melalui celah-celah tirai. Menciptakan cahaya lembut yang membalut kamar mereka. Suara kicau burung di luar sana, menambah syahdu suasana pagi yang dingin dan masih berkabut.Bram dan Puspa duduk menikmati teh panas dan sandwich. Pengganjal lapar setelah malam panjang melelahkan. Wajah Puspa meski terlihat lebih segar dengan rambut basahnya, tapi tidak bisa menyembunyikan kelelahannya. "Anak-anak kemarin nggak sibuk nanya apa-apa saat kita pamitan, Mas," kata Puspa."Mereka sudah terbiasa," jawab Bram sambil mengunyah sandwich. Wajah Puspa sedikit berubah. Membayangkan Bram yang selalu mengajak istri pertamanya keluar kota tanpa anak-anak. Seperti ini tentunya."Empat tahun kemarin, mas sering keluar kota untuk urusan pekerjaan. Makanya Vanya dan Sony sudah terbiasa ditinggal," ralat Bram karena ia mengerti apa yang sedang dipikirkan istrinya. Walaupun itu tidak mengurangi dugaan di benak Puspa."Oh," jawab Puspa singkat.Bram bergeser duduk
"Di Madiun aku harus tinggal di mana, Mas?" tanya Denik yang terlihat begitu tertekan. Dikri yang duduk di depannya juga kebingungan. Dia awam dengan kota itu. "Nanti mas pikirkan. Yang penting kamu mendapatkan tempat yang aman di sana.""Kalau Mas sendiri nggak tahu, lebih baik aku nggak usah tinggal di sana. Aku tetap tinggal di sini saja. Dikurung dalam kamar juga nggak apa-apa," ucap Denik pasrah. "Bagaimana kalau di Malang? Mas paham kota itu dari pada kota yang lainnya. Dan besok pun kamu sudah bisa pindah ke sana. Mas ada kenalan yang bisa dipercaya."Denik diam. Di sana pun dia tetap takut keluar sendirian. Ujung-ujungnya akan tinggal di dalam rumah juga. Kalau demikian bukankah lebih baik kalau dia tidak usah pindah. Namun ia sangat kecewa dengan kedua orang tuanya. Mereka sibuk menjaga nama baik sendiri dan tidak mempedulikan bagaimana tertekannya sang anak."Baiklah, Mas. Aku pilih Malang." Akhirnya gadis itu membuat keputusan. Lebih baik menjauh dari keluarganya. "Oke.
PERNIKAHAN - Sandra"Sayang, kita pergi dari sini!" ajak Bram menyudahi makan dan mendorong piringnya menjauh. Mereka harus pergi sebelum Dikri dan perempuan itu mencari tempat duduk setelah memesan makanan.Bram tidak tahu kalau yang bersama Dikri adik dari laki-laki itu.Puspa kaget juga bingung. Kenapa harus pergi, padahal makanan mereka baru di makan beberapa suap. "Kenapa, Mas?""Kita cari makan di tempat lain saja. Di sini kurang enak." Bram mencondongkan tubuh dan membisiki istrinya.Tentu saja makin membuat Puspa merasa aneh. Selama beberapa bulan ini, mana pernah Bram protes soal rasa makanan. Dia selalu menghargai masakan yang dibuatnya atau di masak oleh ART mereka."Kita pergi."Puspa memandang makanan di piring atas meja. Sayang banget kalau ditinggal. Sebenarnya masakan restoran itu sangat enak. Aneh saja suaminya mendadak bilang tidak enak. Padahal apa yang dimasaknya jauh lebih hambar.Terpaksa Puspa mengikuti kemauan suaminya. Diraih tas dan menyambut uluran tangan B
"Buruan di makan. Setelah itu kita belanja kebutuhan rumah. Besok pagi orang yang menemanimu datang. Dia saudara teman mas. Jadi kamu nggak usah khawatir. Mas kenal baik sama mereka.""Ya," jawab Denik lirih sambil menyuap nasinya.Perasaan Dikri tak kalah kalang kabut. Dia sedih melihat kondisi adiknya. Benarkah ini imbas dari kesalahannya? Atau kesalahan orang tuanya. ***L***"Mas, makanan di mall tadi jauh lebih enak loh daripada di sini," bisik Puspa. Bram membawa istrinya makan di sebuah restoran yang jauh dari mall tadi. Sengaja mengajak berkeliling dulu, sebelum memutuskan berbelok di sebuah restoran."Kenapa tiba-tiba Mas ngajak pergi. Mubazir makanan yang kita pesan tadi," lanjut Puspa. Wajahnya tampak menyesal. Sayang banget padahal tadi baru beberapa suap saja menikmati sup iga."Ada apa sih, Mas?""Tidak ada apa-apa.""Pasti Mas punya alasan," kejar Puspa."Rame banget di sana tadi. Jadi tak leluasa mau makan sambil ngobrol."Alasan kali ini masuk akal. Walaupun mereka
Bram menarik napas dalam-dalam. Dia tidak ingin mengingatnya lagi. Dia sudah menutup rapat-rapat masa lalunya. Makanya tak salah dia bilang ke Puspa, kalau dia sudah selesai dengan masa lalunya. Benar. Bagi Bram memang sudah selesai dengan Sandra.Puspa mengerjab dan perlahan membuka mata. Bram tersenyum menatapnya. Kemudian mengecup bibir ranum yang sejak tadi ingin dilumatnya."Mas, nggak tidur?"Bram menyentuhkan hidungnya ke ujung hidung Puspa. "Kamu cantik."Puspa membalasnya dengan mencubit perut liat suaminya, membuat Bram sedikit berjingkat. Tatapan mereka saling bertaut, mesra dan romantis. Sentuhan jemari berbicara tanpa kata. Setiap desah napas menyatu dalam irama yang sama, menciptakan suasana intim di mana hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam kebahagiaan yang menyelimuti hati. Seakan-akan dunia luar tak lagi penting, hanya keberadaan satu sama lain yang menjadi pusat segalanya.Ini bukan kali pertama Bram jatuh cinta. Namun kebahagiaan yang dulu, hanya bertahan bebera