Rayyan mengangguk. Kemudian pergi membawa payung yang diberikan Puspa.Puspa dan Bu Lurah menunggu sampai mobil Rayyan meninggalkan depan rumah mereka. Klakson yang dibunyikan dibalas lambaian tangan oleh Puspa."Dia mantanmu, Nduk?" tanya Bu Lurah setelah mereka masuk rumah. Membuat Puspa terkejut. Kenapa ibunya bertanya begitu."Bukan, Bu.""Jangan bohongi ibu. Waktu dia datang tadi, ibu nggak kepikiran kalau dia lelaki yang menyukaimu. Tapi setelah ibu melihat kalian ngobrol tadi, sepertinya ada sesuatu di antara kalian."Setelah Bu Lurah mengambil jemuran di belakang, dia hendak kembali ke joglo. Tapi langkahnya terhenti di balik pintu saat mendengar percakapan Puspa dan Rayyan."Bener dia mantanmu?"Puspa diam beberapa saat. Kemudian menceritakan semuanya. Bu Lurah ikut berkaca-kaca. Dia iba pada lelaki yang terlihat sangat baik tadi."Tapi sekarang kamu sudah bersuami, Puspa. Jangan lagi menoleh ke belakang. Sebaik apapun Rayyan. Bagimu saat ini, Bram yang lebih utama. Nak Bram
PERNIKAHAN - KarmaBram masuk kamar yang membuat Puspa terkejut. Wanita itu sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tubuhnya terbalut sweater warna putih. Hawa memang cukup dingin setelah turun hujan.Dia pikir suaminya akan datang larut malam."Mas." Senyuman Bram membuat dadanya berdebar. Ah, Puspa ingat kalimat yang diucapkan sang suami sebelum pergi meninggalkan rumahnya tadi siang.Lelaki itu duduk di dekat istrinya setelah mengecup kening dan kembali membuat Puspa berdebar. Antara bahagia dan khawatir. Apa Bram akan marah jika tahu dirinya baru saja bertemu dengan Rayyan."Sudah minum obat?""Iya, sudah. Mas, sudah makan?""Sebelum salat Maghrib tadi mas sudah makan bareng Sony.""Aku buatin minum dulu." "Tidak usah." Bram menahan Puspa yang hendak turun dari pembaringan. Di luar tadi mertuanya sudah menawari minum, tapi ditolak oleh Bram. Puspa kembali merona dan serba salah dipandangi seperti itu. Tatapan Bram begitu dalam."Siapa yang bertamu tadi?" tanya Bram yang me
Sejenak keheningan terasa begitu dalam. Hanya ada suara angin lembut yang menggerakkan tirai, seolah menyapu senyap di antara mereka berdua.Beberapa hari terakhir setelah Puspa kembali mengalami keguguran, hatinya dipenuhi dengan ketakutan yang tak bisa ia kendalikan. Ketakutan yang terus berbisik bahwa ia bisa kehilangan istrinya, wanita yang kini menjadi pusat dunianya.Bram sangat khawatir yang datang tadi keluarga Pak Maksum, tapi ternyata orang yang lebih membuatnya begitu resah."Mas, sudah menemui Vanya?" Puspa mengganti topik percakapan."Kalau Vanya tidak kembali ke rumah. Apa kamu juga tak ingin pulang ikut mas?""Bukan aku nggak ingin ikut. Tapi aku akan memberikan kesempatan pada Mas dan Vanya untuk memperbaiki hubungan kalian. Vanya itu putrimu, Mas. Sedangkan aku adalah orang baru. Jangan karenaku semua akan berantakan.""Dia juga harus belajar menghargai orang yang sekarang menjadi pendamping papanya. Lusa mas akan ngajak kamu kembali ke rumah. Mas yakin kamu sudah jau
Bram melihat jam tangannya. "Kamu mandi dulu. Papa yang akan nganterin kamu dan adik berangkat sekolah. Sony juga belum turun. Buruan papa tunggu untuk sarapan."Vanya mengangguk. Dengan cepat menaiki tangga sambil membawa ranselnya."Vanya benar-benar menyesal, Bram. Kemarin sepanjang hari menangis. Akhirnya dia tahu sendiri bagaimana kelakuan mereka.""Ya, Ma.""Bagaimana kondisi Puspa?""Besok saya akan mengajaknya pulang ke sini, Ma. Kalau nanti sore Vanya menemuinya, pasti Puspa tidak akan ragu untuk pulang bersama kami."Bu Dewi lega. Satu permasalahan yang menyita pikiran putranya, sudah mulai bisa di atasi. Tapi ia yakin, keluarga Bu Harso belum tentu diam saja setelah ini.Sementara Vanya yang masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk mandi, berbalik mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja.Santi menelepon. Vanya mematung lama sebelum menerima panggilan. Setelah sehari semalam, baru dia dicari. "Halo," jawabnya lirih dan takut."Bagus ya kamu main kabur saja dari rumah.
PERNIKAHAN - Maaf, Bunda"Jangan, Pa. Resikonya terlalu besar. Nyawa taruhannya," cegah Dikri yang kaget dengan keputusan papanya."Kalau sampai adikmu melahirkan tanpa suami, mau di taruh mana muka kita. Resikonya juga besar, Dik. Banyak yang kita pertaruhkan," debat Pak Maksum.Dikri berdecak lirih. Papanya lebih mementingkan harta dan nama baik daripada nyawa anak perempuannya. "Tapi resikonya terlalu besar, Pa. Denik minum pil, minum jus, minum ini itu, melakukan persis seperti yang dikatakan Mama. Tapi apa hasilnya? Janin itu tetap bertahan kan. Jadi kalau memaksakan diri, hanya akan menyakiti Denik. Bahkan dia bisa kehilangan nyawanya.""Lalu kita membiarkan anak itu lahir? Dan semua orang tahu, terus hancur semuanya. Begitu." Pak Maksum terlihat sangat stres. Wajahnya merah padam, tubuhnya tegang mondar-mandir di hadapan anak dan istrinya."Kuliah Denik juga terancam. Adikmu juga terbebani dengan omongan teman-temannya nanti. Jadi papa pikir, aborsi lebih baik. Kita cari dokt
Para asisten rumah tangga di ruang belakang hanya saling pandang saja. Mereka hanya bisa merangkai dan menebak-nebak apa yang terjadi. Semenjak kejadian siang di mana Puspa menangis di hadapan majikannya, keadaan rumah kian kacau. Apalagi Bu Maksum pernah meminta pil kontrasepsi pada salah seorang pembantunya yang memang bekerja di rumah itu sekalian sama suaminya. Driver Pak Maksum adalah suami wanita itu. Mereka prihatin pada Denik. Mereka juga melihat Dikri lebih pendiam setelah peristiwa siang itu.Dikri menarik napas panjang. Dadanya bagai dihimpit bongkahan bebatuan. Semua ini menyisakan perasaan tak berdaya yang sangat mendalam. Situasi yang mereka hadapi terasa begitu kompleks dan di luar kendali. Tekanan untuk membuat keputusan ini, di tengah situasi emosional yang penuh beban, menambah rasa frustrasi. Orang tua mungkin merasa kehilangan kontrol atas kehidupan anaknya, terjebak antara keinginan untuk melindungi dan kenyataan pahit yang tak dapat mereka ubah. Yang jelas, keeg
"Aku sejak tadi malam nggak buka handphone, Pa.""Kenapa?"Vanya menunduk diam. "Kenapa?" ulang Bram."Tante Santi marah. Dia ngirim pesan dan berkata macam-macam. Vanya nggak berani membacanya." Vanya menjawab lirih."Mana ponselmu? Papa mau lihat.""Ada di kamar.""Oke. Biar papa ambil sendiri."Bram bergegas menaiki tangga dan langsung ke kamar putrinya. Diambil ponsel di meja belajar. Membuka semua pesan yang dikirimkan oleh Santi. Dada Bram bergemuruh. Sungguh keterlaluan Santi. Bisa-bisanya bicara kelewat batas pada keponakannya sendiri. Tega pada Vanya yang masih belia. Bram tidak ingin menelepon balik untuk menegurnya. Ia memilih menghapus semua pesan dan mengeluarkan SIM card dari ponselnya Vanya. Nanti bisa diganti dengan nomer lain.Jika sekarang sulit untuk berhubungan baik dengan mereka, mungkin harus mengambil jeda, sampai saling menyadari dan hubungan kekeluargaan membaik lagi. Sebelum keluar, Bram memperhatikan sejenak foto Sandra di meja belajarnya Puspa. Baru berg
PERNIKAHAN - Super Premium Puspa kaget melihat siapa yang datang. Jantungnya bertalu hebat. Antara rasa khawatir dan takut. Wajah Bram yang tadinya ceria kini tampak tegang dan tajam saat memandang sosok yang berlari kecil ke arah mereka."Assalamu'alaikum," ucap Rayyan sambil membawa payung di tangannya."Wa'alaikum salam." Empat orang menjawab serempak.Rayyan pun terkejut juga. Dia tidak menyangka akan bertemu Bram malam itu. Dia pikir, Puspa sudah kembali ke rumah suaminya. Tapi justru dia bertemu mereka berdua di sana.Bram menyambut uluran tangan Rayyan. Sekalipun dalam hati terasa panas terbakar, tapi lelaki itu masih menunjukkan senyum ramahnya. Sedangkan Puspa sudah pias dan panas dingin. Dua lelaki dengan kisah berbeda malam itu bertemu di hadapannya. Membuat serba salah."Aku mampir ngembaliin payung. Kebetulan aku baru saja bertemu klien di Restoran Andaru jadi sekalian ke sini." Rayyan pun tampak canggung sambil meletakkan payung yang sudah dilipat rapi di atas meja."
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun