Freza hanya berdiam diri sambil berbaring di samping Rere. Tubuhnya dimiringkan untuk memandangi istrinya.Tiap tingkah istrinya yang begitu gugup, mampu membuatnya senyum-senyum sendiri.“Kamu bisa napas di bantal kayak gitu? Nggak ngap-ngapan?”Kegugupannya membuat Rere tetap bergeming. Tidak merespon.Begitu yakin istrinya akan berbalik badan, Freza menghitung hingga sepuluh di dalam hati.Sembilan …Sepuluh …Dan …“Huah! Hah … hah ….” Rere membalik badan dan mengatur napasnya.“Hahaha.” Begitu senang Freza melihat Rere seperti itu.“Tuh, kan … dibilangin nanti nggak bisa napas. Ngapain sih tengkurep gitu?”Rere menarik selimutnya lalu memandang kesal kepada suaminya.“Nggak usah sok perhatian. Ini baju apaan, sih? Kecil banget!" gerutu Rere.“Oh, ya? Padahal tadi aku beli ukuran jumbo. Jangan-jangan salah masukin tuh penjualnya. Sini aku liat?” Freza berusaha membuka selimut Rere.Kelakuan suaminya membuat Rere memukul tangan Freza seketika.“Heh, mau cari kesempatan, ya? Nggak u
Melihat hasil pekerjaannya yang tidak mengecewakan, Merlyn merasa puas.Usainya pertunjukkan kembang api menjadi pertanda bahwa sudah waktunya pulang.[Tugas saya selesai, Tuan Muda.][Saya ijin pulang.]Selesai mengirim pesan singkat ke Freza, wanita itu meninggalkan area parkir hotel dengan mobil merahnya.Menikmati kesendiriannya yang tak pernah usai.Kesendirian yang sudah menjadi teman, serta kebahagiaan tersendiri baginya selama ini.“Siapa wanita yang bisa meluluhkan hatinya? Pasti dia wanita yang istimewa,” gumam Merlyn.Dia membayangkan bagaimana Tuan Mudanya merancang malam ini, dan harus sempurna.***"Sesil, beberapa hari ini kamu keliatan nggak semangat gitu?" tanya Kevin cemas. "Sayang, kamu makan, ya? Kalau nggak mau makan, setidaknya diminum susunya." Azra ikut menimpali di tengah sarapan mereka. Kali ini Sesil menuruti saran ibunya. Susu putih yang disajikan di hadapannya, dia habiskan tanpa sisa. "Aku ke kamar dulu." Azra dan Kevin hanya mampu mengawasi saat tubu
Suasana di ruang rapat begitu mencekam. Sudah dua ide yang dipresentasikan di depan, tetapi keduanya mendapat kritik pedas dari Freza.“Kalau yang terakhir ini juga tidak bagus. Jangan harap kalian pulang malam ini,” ujar Freza.Kali ini giliran Gina melakukan presentasi mewakili timnya.Wajah Direktur begitu datar, masih belum terlihat tanda-tanda dia tertarik dengan bahan presentasi.Sedang fokus mendengar presentasi, terasa getaran dari kantung kemejanya. Berasal dari ponselnya.Freza mengambil ponsel itu dan membaca pesan yang masuk. Ternyata itu adalah sebuah foto disertai tulisan di bawahnya.[Foto Rere mencium bunga yang dikirim oleh Freza.][Thank you, Mas. Semoga nggak lembur, ya? Aku mau telepon.]Pesan itu seakan bantuan dari semesta untuk para karyawan di dalam ruang meeting.Senyum yang baru saja terlihat di wajah Freza, layaknya pelangi, pertanda badai berakhir.Saat presentasi Gina berakhir, semua wajah kembali menatap Freza, menanti kritik dan saran.“Saya mau benefitn
Sebuah mobil merah memasuki area parkir di Cake Shop Pujangga.Wanita dengan setelan celana serta blazer berwarna kuning keluar dari mobil. Langkahnya yang anggun melenggang menuju ke dalam toko kue.“Selamat datang.” Beberapa karyawan berkata serempak saat ada pelanggan yang datang.Siang itu, toko masih tampak sepi. Kebetulan, hanya Merlyn sendiri sebagai pelanggan.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Zeega yang sedang ikut berjaga.“Saya ingin memesan semua cheese cake yang dijual di sini. Ada berapa jumlah ready stocknya?”“Wah, ada acara ya, Nona? Mmm … berdasarkan system, kami punya sekitar 30 cup saja yang ready sekarang. Dengan berbagai macam topping.”“Ok. Saya ambil semua. Creme brulee, ada berapa stock?”“Tidak banyak, hanya ada 20 cup,” jawab Zeega singkat.“Saya ambil semua juga. Tolong pisahkan ya antara cheese cake dan creme bruleenya. Punya kartu ucapan?”“Ada. Mau dituliskan sekalian?”“Tidak usah, saya tulis sendiri. Sudah itu saja. Berapa semuanya?”Transkasi jual bel
“Oh, I see. Aku pikir Mas Freza sama Rere. Baguslah,” ucap Freza dengan senyum mengembang.“Apaan, sih? Enggak, enggak.” Akhirnya Freza bisa melepas paksa genggaman tangan Sesil.“Nggak usah ngarang, deh.” Mata Freza melotot menatap Sesil.“Freza, kok, gitu sih? Freza ngajak Sesil keluar karena mau ngomongin tunangan kita, kan?” rajuk Sesil.“Diam!” Kali ini Freza emosi dan berteriak ke Sesil.“Dan kamu, Zeega, jangan coba-coba mendekati Rere,” tegas Freza dengan menunjuk wajah Zeega.Dengan begitu kesal, Freza keluar dari toko tanpa menunggu Sesil.Dibukanya pintu mobil, lalu segera masuk ke dalam. Perasaannya sudah tidak karuan. Moodnya sudah rusak seketika.Tanpa mengambil pesanannya, Sesil berlari menyusul Freza keluar toko dengan air mata berurai.Beruntung mobil sedan hitam yang tadi dia naiki masih di sana, tidak meninggalkan dirinya. Dia menyusul masuk ke dalam mobil.“Fre, kamu kenapa, sih? Kenapa teriak sama Sesil?” Suaranya sedikit terbata-bata karena menangis.“Pakai seatb
“Mas, kamu tadi ketus banget sama Mba Rere. Jangan gitu, ah.” Gina memulai obrolan di kamar, setelah selesai bersih-bersih diri.“Ketus gimana? Aku bilang kayak gitu biar dia nggak sembarangan sering keluar. Apalagi malam-malam begini. Kalau ada masalah, kita juga yang kena.” Pandangan Bram tetap menghadap ponsel di tangannya.“Iya, sih. Tapi bisa ngomong baik-baik. Nggak usah ketus, maksudku.” Kalimat Gina tidak ditanggapi lagi oleh Bram.Karena lelah, Gina menunda makan malamnya. Dia berbaring di sebelah suaminya.Teringat bagaimana pembantunya membantu menyelesaikan tugasnya, dia menceritakannya ke Bram. Meskipun Bram sepertinya tidak antusias mendengarnya.“Kebetulan saja, mungkin. Atau pekerjaanmu yang memang terlalu gampang, jadi pembantu juga bisa ngerjain,” ujar Bram dengan malas.Mendengar itu, Gina hanya mengedikkan bahu, malas berdebat. Tidak penting.Akhir-akhir ini, karena kesibukan di kantor, keduanya jarang ngobrol berlama-lama. Kali ini Gina ingin bercerita keluh-kesah
Zeega mengangkat tubuh Rere untuk bisa berdiri dari trotoar.Isakan Rere belum berhenti hingga tubuhnya dibawa masuk ke dalam mobil Zeega. Hijabnya basah karena air mata. Tangannya gemetar, tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tangan Zeega menyentuh pundak Rere.“Re?”“Hah?!” kaget dengan sentuhan Zeega, tubuh Rere bergerak menjauh.“Maaf, maaf. Kamu mau diantar pulang ke mana?”“Oh, maaf. Aku kaget. Jalan saja dulu Zee, nanti aku tunjukkan jalannya.”City car Zeega mulai melaju di jalanan. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di depan rumah yang ditunjukkan oleh Rere.“Sudah, Zee, aku turun di sini.”“Lho, kamu tinggal di sini?”“Iya.”“Bukannya yang punya rumah ini namanya Bram?” tanya Zeega lagi.“Iya. Aku kerja di rumah ini. Sudah ya, aku harus masuk. Sudah malam. Sekali lagi, terima kasih banyak, ya?” Rere turun dari mobil dan segera menuju gerbang rumah.Walaupun sudah malam, untungnya Pak Mamat belum tidur, sehingga tidak sulit memintanya membuka pagar.“Mbak Rere? Kata
Waktu seakan berjalan lambat. Rumma dan Silvia belum bereaksi. Masih mencoba mencerna ucapan Freza.“Freza, jangan bercanda! Pernikahan itu hal serius.” Rumma masih berusaha menjaga emosi.“Tidak, aku tidak bercanda. Aku serius.”“Freza!” Kali ini Rumma berteriak. Tidak mampu lagi menyembunyikan emosi serta rasa kecewanya.“Apakah kamu ini sudah tidak menganggap kami orang tua? Atau kamu anggap kami sudah mati? Bagaimana mungkin kami tidak tau saat anak kami menikah?” Tubuh Rumma bangkit dari duduknya.Perasaannya tidak menentu kini. Kakinya bergerak ke sana kemari di dalam ruang kerja. Tangan Rumma memegangi keningnya.Freza hanya diam. Menahan diri agar tidak bertengkar dengan ayahnya.Tidak mampu menahan air yang menggenang di matanya, Silvia mulai terisak.Dia mendekati anak semata wayangnya itu. Tangannya membelai lembut tangan Freza.“Dear, apa kamu yakin dengan yang kamu katakan barusan? Kamu tidak bohong?”“Tidak, Bu. Aku yakin dengan yang aku katakan.”“Kenapa, Nak? Kenapa ka