Setelah salat subuh, Freza berniat untuk tidur, tetapi matanya tetap tidak mau dipejamkan.Padahal, kejadian semalam begitu menguras emosi dan energinya. Namun, tubuhnya tidak mau diajak istirahat, walaupun sejenak.Sambil tetap membaringkan diri di atas kasurnya, pikirannya kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi.Semua berputar di otaknya layaknya kilatan pita film yang terus berganti-ganti gambarnya.“Ah, Rere. Aku lupa. Bagaimana kondisinya?” Dia menegakkan tubuh tiba-tiba, saat teringat wajah istrinya yang terjatuh di trotoar tadi malam.Segera dia turun dari kasur, mencari ponselnya di pakaian kotornya di tempat baju kotor. Tidak ada.Kemudian dia berlari keluar, mencari di ruangan kerja ayahnya, terus menelusuri hingga kembali ke teras rumah. Tetap tidak ada.Bagaimana mungkin ponselnya tidak bisa ditemukan di mana pun?Pasti ponselnya terjatuh saat kejadian tarik-menarik semalam, di pinggir jalan.Bagaimana cara dia menghubungi Rere?Merasa begitu bo*oh karena tidak
“Mau kopi, Zee?” tanya Rere kepada Zeega yang sudah duduk kembali di salah satu kursi makan.“Boleh.”Rere segera berkutat dengan alat pembuat kopi, untuk membuatkan secangkir kopi untuk tamunya.Untuk menghambat waktu, dia bekerja pelan-pelan. Sebenarnya tidak ada masalah jika Zeega tahu dia bekerja sebagai pembantu.Namun, alasan di belakang itu, serta keterkaitan Freza dengannya, pasti menjadi tanda tanya tersendiri bagi Zeega.Tidak mungkin temannya itu hanya akan bertanya kabarnya saja. Pastilah sudah begitu banyak pertanyaan yang akan dilontarkan Zeega kepadanya.“Di rumah sepi, ya?” Zeega mencoba memecah keheningan.“Iya. Pak Bram dan Bu Gina sering pulang malam. Kalau Mbak Fika, sebentar lagi juga pulang.”Jawaban itu menutup obrolan mereka sementara waktu. Hening kembali menyeruak di ruangan dapur.“Silakan, Zee.”Kopi sudah selesai dibuat, kemudian disodorkan kepada Zeega. Rere pun bergabung bersama temannya di meja makan.“Thanks,” ujar Zeega singkat.Terlihat uap panas men
Langkah-langkah kaki bergerak cepat dari lobby menuju lift. Mereka bergerak ke lantai atas, menuju sebuah ruang rapat.“Bagaimana bisa mereka yang mendapat proyek ini?” Ivo berdecak heran sambil berpangku dagu di salah satu kursi di dalam ruang rapat.Selama Freza tidak bisa hadir ke kantor, Ivo kembali diminta untuk menduduki kursi Direktur di kantor di Surabaya.Beberapa karyawan lain, termasuk Gina, ikut duduk mengitari meja. Wajah mereka terlihat pucat. Masih tidak percaya dengan hasil yang barusan mereka tahu. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara.Tidak lama, Rumma muncul dari luar, dan segera duduk di sebuah kursi di ujung meja.“Bagaimana hasilnya?” tanya Rumma langsung saja.Pandangannya menyapu seluruh orang yang ada di ruangan itu.“Maaf, Rumma. Kita tidak bisa mendapatkan proyek perumahan rakyat itu.”“Siapa yang mendapatkan proyeknya?”“Amerta Group.”“Apakah idenya lebih baik dari kita? Yang aku tahu, ide kita sudah sangat memberi banyak benefit bagi masyarak
Ruangan mereka berbicara kini berganti. Silvia menarik keduanya untuk menuju tempat lain, menjauh dari area ruang intensif.“Kalian ini terus saja berdebat. Kita ini sedang di rumah sakit. Tolong, mengertilah. Eyang sedang sakit.” Silvia tidak mampu menahan gelombang tangisannya.“Aku tidak berdebat, Ibu. Ayah saja yang tiba-tiba datang sambil membicarakan pekerjaan. Bukannya bertanya bagaimana kabar Eyang.” Freza memegangi ibunya yang terus terisak.“Aku ke sini juga untuk melihat Eyang, bukan untuk berdebat. Tapi, hasil kerjamu yang belum lama ini, sangat mengejutkan.” Rumma juga ikut berargumen membela dirinya.“Sudah, sudah. Berhenti! Kalian keluar dari rumah sakit, jika masih berdebat.” Suara Silvia bergetar saat mengatakannya.“Iya, Bu. Sudah, jangan menangis lagi. Ibu pulang saja dengan Ayah. Aku akan kembali menemani Eyang.”Awalnya ide itu tidak ditanggapi oleh Silvia. Namun, melihat pertengkaran barusan, sebaiknya dia menurut.Menjauhkan Rumma dan Freza sementara waktu seper
Pertanyaan yang masuk ke telinga Rere barusan membuat syok.“Maksudnya? Siapa yang jalan sama Zeega?” bantah Rere.“Tunggu, Mas, aku bisa jelaskan.” Zeega ikut angkat bicara.Namun, belum sempat Zeega menjelaskan, Freza sudah menarik Rere ke sisinya dan memberikan tatapan tajam ke rival di hadapannya.“Aduh, Mas, sakit.” Rere meringis kesakitan.“Mas, kasian Rere. Lepaskan!” Tubuh Zeega mendekat, tetapi langsung dihalangi oleh Freza.Merasa kasihan dengan istrinya, Freza pun melonggarkan pegangannya, tetapi tidak melepaskan tangannya dari Rere.“Kamu jangan ikut campur. Kenapa, sih, kamu itu selalu saja mendekati Rere? Selalu muncul di mana-mana.”“Aku tidak ikut campur. Dan kebetulan saja aku bertemu Rere, bukan mengejar-ngejar dia. Jangan salah paham,” ujar Zeega membela diri.Terlihat ada keributan di bagian dalam supermarket, seorang satpam mendekati mereka.“Sudah, sudah. Itu ada Satpam ke sini. Kecilkan suara kalian,” pinta Rere.Namun, meskipun mereka meredam suara, Satpam itu
Rere teringat pesan ibunya dulu. Seberapa pun tingginya karir seorang wanita di luar rumah. Atau semarah apa pun seorang wanita terhadap suaminya. Suami itu tetap harus dihormati.Walaupun susah, sebisa mungkin kita menunjukkan rasa hormat kita terhadap imam kita itu.Jadilah seorang istri yang mampu menjadi penyejuk bagi suaminya.Jadilah istri yang sekaligus bisa dijadikan teman dan sahabat.Bukan karena wanita itu lemah, melainkan semua itu menunjukkan betapa mulianya seorang istri.Tidak ada kesuksesan seorang lelaki beristri, tanpa dukungan yang kuat dari istrinya.Doa dan kekuatan seorang istri yang kadang tidak terlihat mata pun mampu menjadi senjata bagi kemuliaan keluarganya. Bagi kebahagiaan dan kutuhan rumah tangganya.Selain itu, hanya doa yang mampu menggerakkan hati seorang suami yang keras. Hanya doa yang mampu melunakkan perasaannya.Rere beranjak dari sofa, menuju tepi tempat tidur di mana Freza berada.Dengan bertumpu pada kedua lutunya, Rere berada dekat dengan kaki
Di ruangan gelap itu, manik mata biru Sesil terlihat paling terang. Pipinya basah karena air mata yang tak mampu terbendung.Barang-barang di kamarnya sudah berhamburan di atas lantai.Tubuh rampingnya terduduk di atas karpet kamarnya. Tubuhnya bergetar hebat. Rambutnya terurai berantakan.“Sesil, kamu kenapa? Bilang sama Kakak.”Kevin duduk di atas karpet, di sebelah adiknya.Azra berjalan dari pintu dengan perlahan. Tangannya menutup mulutnya untuk menahan suara isakannya. Dia harus kuat, agar mampu mendukung putrinya.“Sesil, Sayang. Ini Mama, Nak. Sesil mau apa?”Pertanyaan Azra barusan tidak mendapat tanggapan dari Sesil. Gadis cantik itu terus terisak dan mengeluarkan air mata.Tubuh kuat Kevin berusaha mengangkat Sesil untuk membantunya duduk di tempat tidur. Sedangkan Azra, dengan perasaan yang masih terpukul, mengikuti Sesil ke tempat tidur.Dipeluknya putri kecilnya itu. Membiarkan Sesil menangis di bahunya.Segera Kevin nyalakan lampu kamar adiknya, agar kemuraman itu berla
“Dari mana, Mbak Rere? Saya pulang, tapi Mbak nggak ada. Fika juga di rumah sendirian,” ucap Gina dari ruang makan.Seperti tebakan Rere, pasti majikannya sudah pulang saat dia kembali. Mau tidak mau, dia harus menghadapi kondisi ini.“Maaf, Bu, tadi mendadak saya diminta saudara saya untuk membantu dia. Dia mengalami kesulitan,” kata Rere menjelaskan.“Siapa, sih, saudara Mbak? Jangan bohong. Jangan-jangan kamu ini pacaran, ya? Sampai-sampai kabur saat kerja.” Bram ikut berbicara.“Dan belum siap juga makan malamnya waktu saya pulang. Gimana, sih, Mbak? Nggak bisa, dong, kayak gitu.” Gina tampak kesal dengan pembantunya.Yang dikatakan majikannya tidaklah salah. Memang Rere yang salah.Tanpa izin terlebih dahulu, dia pergi di jam kerja. Selain itu, dia pun meninggalkan majikan kecilnya sendiri di rumah. Bahkan, dia belum menyiapkan makan malam.Hati kecil Rere sudah pasrah. Apa pun yang diputuskan majikannya, dia akan terima.“Maaf, Pak, Bu. Saya memang salah. Saya tidak punya alasan