Langkah-langkah kaki bergerak cepat dari lobby menuju lift. Mereka bergerak ke lantai atas, menuju sebuah ruang rapat.“Bagaimana bisa mereka yang mendapat proyek ini?” Ivo berdecak heran sambil berpangku dagu di salah satu kursi di dalam ruang rapat.Selama Freza tidak bisa hadir ke kantor, Ivo kembali diminta untuk menduduki kursi Direktur di kantor di Surabaya.Beberapa karyawan lain, termasuk Gina, ikut duduk mengitari meja. Wajah mereka terlihat pucat. Masih tidak percaya dengan hasil yang barusan mereka tahu. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara.Tidak lama, Rumma muncul dari luar, dan segera duduk di sebuah kursi di ujung meja.“Bagaimana hasilnya?” tanya Rumma langsung saja.Pandangannya menyapu seluruh orang yang ada di ruangan itu.“Maaf, Rumma. Kita tidak bisa mendapatkan proyek perumahan rakyat itu.”“Siapa yang mendapatkan proyeknya?”“Amerta Group.”“Apakah idenya lebih baik dari kita? Yang aku tahu, ide kita sudah sangat memberi banyak benefit bagi masyarak
Ruangan mereka berbicara kini berganti. Silvia menarik keduanya untuk menuju tempat lain, menjauh dari area ruang intensif.“Kalian ini terus saja berdebat. Kita ini sedang di rumah sakit. Tolong, mengertilah. Eyang sedang sakit.” Silvia tidak mampu menahan gelombang tangisannya.“Aku tidak berdebat, Ibu. Ayah saja yang tiba-tiba datang sambil membicarakan pekerjaan. Bukannya bertanya bagaimana kabar Eyang.” Freza memegangi ibunya yang terus terisak.“Aku ke sini juga untuk melihat Eyang, bukan untuk berdebat. Tapi, hasil kerjamu yang belum lama ini, sangat mengejutkan.” Rumma juga ikut berargumen membela dirinya.“Sudah, sudah. Berhenti! Kalian keluar dari rumah sakit, jika masih berdebat.” Suara Silvia bergetar saat mengatakannya.“Iya, Bu. Sudah, jangan menangis lagi. Ibu pulang saja dengan Ayah. Aku akan kembali menemani Eyang.”Awalnya ide itu tidak ditanggapi oleh Silvia. Namun, melihat pertengkaran barusan, sebaiknya dia menurut.Menjauhkan Rumma dan Freza sementara waktu seper
Pertanyaan yang masuk ke telinga Rere barusan membuat syok.“Maksudnya? Siapa yang jalan sama Zeega?” bantah Rere.“Tunggu, Mas, aku bisa jelaskan.” Zeega ikut angkat bicara.Namun, belum sempat Zeega menjelaskan, Freza sudah menarik Rere ke sisinya dan memberikan tatapan tajam ke rival di hadapannya.“Aduh, Mas, sakit.” Rere meringis kesakitan.“Mas, kasian Rere. Lepaskan!” Tubuh Zeega mendekat, tetapi langsung dihalangi oleh Freza.Merasa kasihan dengan istrinya, Freza pun melonggarkan pegangannya, tetapi tidak melepaskan tangannya dari Rere.“Kamu jangan ikut campur. Kenapa, sih, kamu itu selalu saja mendekati Rere? Selalu muncul di mana-mana.”“Aku tidak ikut campur. Dan kebetulan saja aku bertemu Rere, bukan mengejar-ngejar dia. Jangan salah paham,” ujar Zeega membela diri.Terlihat ada keributan di bagian dalam supermarket, seorang satpam mendekati mereka.“Sudah, sudah. Itu ada Satpam ke sini. Kecilkan suara kalian,” pinta Rere.Namun, meskipun mereka meredam suara, Satpam itu
Rere teringat pesan ibunya dulu. Seberapa pun tingginya karir seorang wanita di luar rumah. Atau semarah apa pun seorang wanita terhadap suaminya. Suami itu tetap harus dihormati.Walaupun susah, sebisa mungkin kita menunjukkan rasa hormat kita terhadap imam kita itu.Jadilah seorang istri yang mampu menjadi penyejuk bagi suaminya.Jadilah istri yang sekaligus bisa dijadikan teman dan sahabat.Bukan karena wanita itu lemah, melainkan semua itu menunjukkan betapa mulianya seorang istri.Tidak ada kesuksesan seorang lelaki beristri, tanpa dukungan yang kuat dari istrinya.Doa dan kekuatan seorang istri yang kadang tidak terlihat mata pun mampu menjadi senjata bagi kemuliaan keluarganya. Bagi kebahagiaan dan kutuhan rumah tangganya.Selain itu, hanya doa yang mampu menggerakkan hati seorang suami yang keras. Hanya doa yang mampu melunakkan perasaannya.Rere beranjak dari sofa, menuju tepi tempat tidur di mana Freza berada.Dengan bertumpu pada kedua lutunya, Rere berada dekat dengan kaki
Di ruangan gelap itu, manik mata biru Sesil terlihat paling terang. Pipinya basah karena air mata yang tak mampu terbendung.Barang-barang di kamarnya sudah berhamburan di atas lantai.Tubuh rampingnya terduduk di atas karpet kamarnya. Tubuhnya bergetar hebat. Rambutnya terurai berantakan.“Sesil, kamu kenapa? Bilang sama Kakak.”Kevin duduk di atas karpet, di sebelah adiknya.Azra berjalan dari pintu dengan perlahan. Tangannya menutup mulutnya untuk menahan suara isakannya. Dia harus kuat, agar mampu mendukung putrinya.“Sesil, Sayang. Ini Mama, Nak. Sesil mau apa?”Pertanyaan Azra barusan tidak mendapat tanggapan dari Sesil. Gadis cantik itu terus terisak dan mengeluarkan air mata.Tubuh kuat Kevin berusaha mengangkat Sesil untuk membantunya duduk di tempat tidur. Sedangkan Azra, dengan perasaan yang masih terpukul, mengikuti Sesil ke tempat tidur.Dipeluknya putri kecilnya itu. Membiarkan Sesil menangis di bahunya.Segera Kevin nyalakan lampu kamar adiknya, agar kemuraman itu berla
“Dari mana, Mbak Rere? Saya pulang, tapi Mbak nggak ada. Fika juga di rumah sendirian,” ucap Gina dari ruang makan.Seperti tebakan Rere, pasti majikannya sudah pulang saat dia kembali. Mau tidak mau, dia harus menghadapi kondisi ini.“Maaf, Bu, tadi mendadak saya diminta saudara saya untuk membantu dia. Dia mengalami kesulitan,” kata Rere menjelaskan.“Siapa, sih, saudara Mbak? Jangan bohong. Jangan-jangan kamu ini pacaran, ya? Sampai-sampai kabur saat kerja.” Bram ikut berbicara.“Dan belum siap juga makan malamnya waktu saya pulang. Gimana, sih, Mbak? Nggak bisa, dong, kayak gitu.” Gina tampak kesal dengan pembantunya.Yang dikatakan majikannya tidaklah salah. Memang Rere yang salah.Tanpa izin terlebih dahulu, dia pergi di jam kerja. Selain itu, dia pun meninggalkan majikan kecilnya sendiri di rumah. Bahkan, dia belum menyiapkan makan malam.Hati kecil Rere sudah pasrah. Apa pun yang diputuskan majikannya, dia akan terima.“Maaf, Pak, Bu. Saya memang salah. Saya tidak punya alasan
Ruang keluarga milik keluarga Gautama bergaya timur tengah. Ornamen-ornamen di situ bernuansa warna emas dan cokelat. “Fre, kamu mau makan malam? Mungkin kamu lapar,” tanya Sesil dengan terus memamerkan senyuman.Sebenarnya Freza lapar, tetapi dia malas makan bersama Sesil. Ah, sepertinya makan lebih baik daripada meladeni Sesil bicara tanpa ada aktivitas lain.“Bolehlah, aku memang lapar.”Sesil menarik tangan Freza untuk menuju ruang makan.Sembari lelaki itu duduk di kursi makan, Sesil segera menuju dapur untuk meminta asisten rumah tangganya menyiapkan makanan.Bagaimana perasaan Sesil, semuanya tergambar dari bahasa tubuh serta raut wajahnya. Senyum pun tidak pudar dari bibirnya.Banyak hal yang Sesil ceritakan ke Freza, meskipun tanggapan yang diberikan hanya kata ‘Oh!’, ‘Iya’, atau ‘Enggak’.Siapa pun yang melihat, pasti akan tahu jika Freza tidak tertarik sama sekali dengan obrolan itu.Jika dia bisa memutar waktu, dia akan memutar waktu lebih cepat.Tidak tahu mengapa, waktu
Pagi-pagi sekali, Rere sudah sibuk menyiapkan sarapan serta bekal kue untuk Fika.Karena Gina harus pergi bekerja di hari Sabtu, menyelesaikan proyeknya, maka Bram akan membawa Fika pergi ke mall.Sudah lama sekali gadis kecil itu tidak bermain di playground.Tidak seperti biasanya, Fika pun sudah bangun saat fajar baru memancarkan berkas sinarnya.Merasa bosan di kamar, dia mengikuti Rere melakukan ini dan itu, sambil bercerita banyak hal.Sesekali mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Hingga Bram dan Gina mendengar percakapan mereka, saat keduanya baru saja duduk mengitari meja makan.“Fika mgomong bahasa Inggris sama siapa?” tanya Bram menoleh ke kanan dan kiri.Hanya ada suara Fika, tetapi tubuh mungilnya tidak terlihat.“Mungkin sama Mbak Rere. Kata Fika, dia suka diajak belajar bareng sama Mbak Rere. Langsung ngobrol gitu, biar cepet bisa, katanya,” jawab Gina santai.Bram hanya menganggukkan kepala, dengan wajah sedikit tidak percaya.Wanita itu menyendok nasi goreng ke mulutn