Pagi-pagi sekali, Rere sudah sibuk menyiapkan sarapan serta bekal kue untuk Fika.Karena Gina harus pergi bekerja di hari Sabtu, menyelesaikan proyeknya, maka Bram akan membawa Fika pergi ke mall.Sudah lama sekali gadis kecil itu tidak bermain di playground.Tidak seperti biasanya, Fika pun sudah bangun saat fajar baru memancarkan berkas sinarnya.Merasa bosan di kamar, dia mengikuti Rere melakukan ini dan itu, sambil bercerita banyak hal.Sesekali mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Hingga Bram dan Gina mendengar percakapan mereka, saat keduanya baru saja duduk mengitari meja makan.“Fika mgomong bahasa Inggris sama siapa?” tanya Bram menoleh ke kanan dan kiri.Hanya ada suara Fika, tetapi tubuh mungilnya tidak terlihat.“Mungkin sama Mbak Rere. Kata Fika, dia suka diajak belajar bareng sama Mbak Rere. Langsung ngobrol gitu, biar cepet bisa, katanya,” jawab Gina santai.Bram hanya menganggukkan kepala, dengan wajah sedikit tidak percaya.Wanita itu menyendok nasi goreng ke mulutn
Playground belum terlalu ramai saat Fika, Rere dan Bram tiba di dalam mall.Ada satu-dua anak-anak saja yang sudah bermain di dalamnya. Setelah membeli tiket, Fika pun masuk ke dalam arena dengan ditemani Rere.Sementara, Bram memilih untuk pergi ke tempat lain. Dia meminta Rere untuk menghubunginya saat Fika sudah bosan bermain.“Hati-hati Mbak Fika!” Sesekali Rere mengingatkan majikan kecilnya.Gadis kecil itu berlarian di atas karpet warna-warni, menaiki seluncuran, mengendarai mobil-mobilan, masuk ke rumah-rumahan, dan permainan lainnya.Dalam beberapa kesempatan, Fika bermain bersama gadis kecil lain yang baru dia temui di situ.Begitulah anak-anak, cepat akrab dengan anak kecil lainnya.Sambil menunggu, Rere coba menghubungi Freza. Kebetulan hari Sabtu, seharusnya Freza sedang libur kerja.Beberapa kali dicoba, hasilnya tetap sama, nomor Freza tidak aktif. Mungkin Mas Freza masih tidur, pikir Rere.Dia pun meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas.Begitu senangnya Fika, hingga
Saat membaca pesan ibunya, Freza baru menyadari ada panggilan masuk dari istrinya.Dia coba untuk menelepon balik, tetapi tidak diangkat.Sebuah pesan singkat dia kirimkan ke Rere, berharap nanti dibaca oleh istrinya saat sudah tidak sibuk.[Sayang, lagi apa? Maaf, tadi aku lagi kerja.Aku lembur.]Pesannya terkirim, tetapi belum dibaca oleh penerimanya.“Merlyn, kamu boleh pergi, atau istirahat pulang. Saya mau ambil barang dulu ke orang. Kamu nggak perlu ikut.”“Baik, Tuan Muda,” Merlyn membungkuk lalu pergi ke luar ruang rapat.Di dalam ruangan, peserta rapat yang lain masih belum terlihat bersiap-siap untuk pulang.Mereka masih sibuk berdiskusi, atau berkutat dengan laptop.“Kita ketemu lagi hari Senin. Saya duluan.” Freza bangkit dari duduknya, bersiap pergi.“Baik, Pak,” jawab mereka bersamaan.Direktur muda itu melangkah keluar meninggalkan ruang rapat.***“Sudah kenyang, Fika? Mau nambah apa?” tanya Bram melihat putrinya sudah berhenti makan.Fika menggeleng, pertanda sudah t
“Kenapa, Fre?” tanya Sesil ingin tahu saat tubuh Freza mematung di tempat.Tidak ada respon dari lawan bicaranya.Mendengar suara wanita tidak jauh dari tempatnya, Rere mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.Mendapati sosok yang sangat dia kenal, Rere bangkit dari jongkoknya setelah membersihkan mulut Fika. Tubuhnya seketika membeku.Di sebelahnya, Zeega hanya bisa ikut berdiam diri. Situasi yang tidak pernah lelaki itu bayangkan.Selama ini, hanya Freza yang selalu datang tiba-tiba saat dia bersama Rere. Namun, kali ini berbeda.Ada sosok lainnya yang ikut muncul. Seorang wanita bergaun merah, yang pernah mengaku sebagai tunangan Freza saat berada di toko kuenya tempo hari, berdiri di sebelah Freza.Kali ini, Rere menyaksikan sendiri cerita Zeega sebelumnya.Lengan Sesil masih tertaut di tangan Freza. Semuanya mampu tertangkap mata Rere secara langsung.“Mbak, kenapa? Lihat apa?” Fika menggoyangkan tubuh Rere yang terdiam di sebelahnya.Suara gadis kecil itu mampu membuyarkan
Tanpa melewatkan kesempatan, Zeega segera mendaratkan pantatnya dikursi kosong, berhadapan dengan Merlyn.“Saya suka cara Anda mendeskripsikan awan mendung itu. Selama ini, banyak orang mengatakan langit tampak sedih dan muram.”“Itulah kita, selalu memandang dengan cara yang negatif. Padahal ada banyak alasan untuk memandang secara positif.”“Maksudnya?” Zeega semakin tertarik kali ini.“Misal kesendirian. Bagi saya, itu adalah anugerah. Salah satu cara saya menikmati hidup, dengan bahagia tentu.”Tangan Merlyn mengangkat cangkir hot chocolatenya, lalu menyesapnya sesaat.Dijatuhkannya pandangan ke arah Freza.“Tapi, banyak orang mengira orang sendiri itu tertutup, tidak mau membuka diri, atau sedang sedih, atau tidak punya teman. Dan anggapan-anggapan negatif lainnya,” lanjut Merlyn.“Artinya, tidak semua yang nampak menyedihkan itu perlu dikasihani, begitu? Karena mereka sebenarnya bahagia,” tanya Zeega.“Begitulah. Sehingga kita akan terbiasa memandang sesuatu dengan cara lebih ba
Setelah membersihkan diri, Rere segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.Sebenarnya mentalnya sedang lelah, tetapi tanggung jawab yang ada harus tetap dilakukan, sebagai pembantu.Dia baru menyadari bahwa, menjadi seorang pembantu itu tidaklah mudah.Saat perasaannya sedang pilu, atau kondisi fisiknya sedikit kurang sehat, tetap saja dia harus tampak senang dan bersemangat dalam melayani majikannya.Bagaimana dengan para pembantu yang bahkan kehidupan ekonominya sangat sulit? Ditambah konflik-konflik yang muncul dengan keluarga intinya.Rere tidak bisa membayangkan menjadi mereka.Rasa syukur itu muncul di hatinya. Walaupun dia bukan dari keluarga kaya, setidaknya hidupnya masih termasuk beruntung.Sebelum ayahnya meninggal, dia masih bisa sesekali pergi ke taman bermain anak, saat masih kecil.Saat sudah remaja pun, ayahnya masih sempat mengajak ke arena bermain di mall untuk bersenang-senang.Begitu pula saat kuliah, dia tidak perlu memikirkan keberlangsungan ekonomi kelu
Keningnya berkerut saat mendengar tentang penagih hutang dari Bram.Tidak pernah dirinya atau ibunya berhutang pada rentenir. Bagaimana bisa ada penagih hutang ke rumahnya?Dan lagi, siapa yang menjemputnya sekarang? Apakah tetangganya?Namun, dia tidak pernah memberitahukan bahwa dirinya bekerja di sini.Dengan rasa penasaran membumbung, Rere segera mengemasi barang-barangnya, lalu berlari ke luar.Di luar gerbang, berdiri seseorang dengan jaket kulit hitam, helm hitam, serta motor bebek matic hitam.Wajah si tamu tidak bisa terlihat, karena helmnya tidak dilepas.Saat sudah tiba di luar gerbang, Rere tidak langsung mau ikut.“Mas, maaf, siapa ya?” tanya Rere dengan berusaha menerawang helm si tamu.Seseorang itu membuka sedikit kaca helmnya.“Freza?” teriak Rere. Segera dia menutup mulutnya dengan tangan.“Ssst!” Freza meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.“Ayo, cepetan naik!” pinta Freza.Setelah sempat berpamitan dengan Pak Mamat, Rere segera naik ke boncengan di belakang pun
Andai saja mereka berdua tidak dalam posisi tidak enak seperti sekarang, mungkin Rere akan langsung menjawab.Sayangnya, dia sedang sebal dengan suaminya.Bahkan, jika boleh, dia ingin memukuli, meremas-remas lelaki di hadapannya itu.Serta berteriak-terial meluapkan emosi. Namun, setiap bertatap muka dengan Freza, Rere lebih memilih diam.Sesak di dadanya membuatnya bahkan tidak bisa berkata-kata. Sudah malas rasanya.Rere melepaskan tangan Freza dari pipinya. Dia menggeser duduknya, menjauh dari suaminya.“Aku nggak pa-pa. Nggak usah berubah topik. Kamu yang ada apa? Kenapa ngajak aku ke sini?” Suaranya terdengar tidak sabar.Berkali-kali, dia memaksa dirinya untuk mengendalikan diri. Jangan sampai matanya basah.“Kamu kayaknya kesal, ya, sama aku? Ngomong dong.”“Kamu aja nggak ngomong, ngapain aku ngomong.”“Memangnya aku harus ngomong apa?”“Nggak taulah. Kalau kamu nggak ada yang mau diomongin, yaudah, anterin aku ke rumah majikanku. Masih banyak kerjaan.”Tatapan Rere begitu yak