Saat membaca pesan ibunya, Freza baru menyadari ada panggilan masuk dari istrinya.Dia coba untuk menelepon balik, tetapi tidak diangkat.Sebuah pesan singkat dia kirimkan ke Rere, berharap nanti dibaca oleh istrinya saat sudah tidak sibuk.[Sayang, lagi apa? Maaf, tadi aku lagi kerja.Aku lembur.]Pesannya terkirim, tetapi belum dibaca oleh penerimanya.“Merlyn, kamu boleh pergi, atau istirahat pulang. Saya mau ambil barang dulu ke orang. Kamu nggak perlu ikut.”“Baik, Tuan Muda,” Merlyn membungkuk lalu pergi ke luar ruang rapat.Di dalam ruangan, peserta rapat yang lain masih belum terlihat bersiap-siap untuk pulang.Mereka masih sibuk berdiskusi, atau berkutat dengan laptop.“Kita ketemu lagi hari Senin. Saya duluan.” Freza bangkit dari duduknya, bersiap pergi.“Baik, Pak,” jawab mereka bersamaan.Direktur muda itu melangkah keluar meninggalkan ruang rapat.***“Sudah kenyang, Fika? Mau nambah apa?” tanya Bram melihat putrinya sudah berhenti makan.Fika menggeleng, pertanda sudah t
“Kenapa, Fre?” tanya Sesil ingin tahu saat tubuh Freza mematung di tempat.Tidak ada respon dari lawan bicaranya.Mendengar suara wanita tidak jauh dari tempatnya, Rere mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.Mendapati sosok yang sangat dia kenal, Rere bangkit dari jongkoknya setelah membersihkan mulut Fika. Tubuhnya seketika membeku.Di sebelahnya, Zeega hanya bisa ikut berdiam diri. Situasi yang tidak pernah lelaki itu bayangkan.Selama ini, hanya Freza yang selalu datang tiba-tiba saat dia bersama Rere. Namun, kali ini berbeda.Ada sosok lainnya yang ikut muncul. Seorang wanita bergaun merah, yang pernah mengaku sebagai tunangan Freza saat berada di toko kuenya tempo hari, berdiri di sebelah Freza.Kali ini, Rere menyaksikan sendiri cerita Zeega sebelumnya.Lengan Sesil masih tertaut di tangan Freza. Semuanya mampu tertangkap mata Rere secara langsung.“Mbak, kenapa? Lihat apa?” Fika menggoyangkan tubuh Rere yang terdiam di sebelahnya.Suara gadis kecil itu mampu membuyarkan
Tanpa melewatkan kesempatan, Zeega segera mendaratkan pantatnya dikursi kosong, berhadapan dengan Merlyn.“Saya suka cara Anda mendeskripsikan awan mendung itu. Selama ini, banyak orang mengatakan langit tampak sedih dan muram.”“Itulah kita, selalu memandang dengan cara yang negatif. Padahal ada banyak alasan untuk memandang secara positif.”“Maksudnya?” Zeega semakin tertarik kali ini.“Misal kesendirian. Bagi saya, itu adalah anugerah. Salah satu cara saya menikmati hidup, dengan bahagia tentu.”Tangan Merlyn mengangkat cangkir hot chocolatenya, lalu menyesapnya sesaat.Dijatuhkannya pandangan ke arah Freza.“Tapi, banyak orang mengira orang sendiri itu tertutup, tidak mau membuka diri, atau sedang sedih, atau tidak punya teman. Dan anggapan-anggapan negatif lainnya,” lanjut Merlyn.“Artinya, tidak semua yang nampak menyedihkan itu perlu dikasihani, begitu? Karena mereka sebenarnya bahagia,” tanya Zeega.“Begitulah. Sehingga kita akan terbiasa memandang sesuatu dengan cara lebih ba
Setelah membersihkan diri, Rere segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.Sebenarnya mentalnya sedang lelah, tetapi tanggung jawab yang ada harus tetap dilakukan, sebagai pembantu.Dia baru menyadari bahwa, menjadi seorang pembantu itu tidaklah mudah.Saat perasaannya sedang pilu, atau kondisi fisiknya sedikit kurang sehat, tetap saja dia harus tampak senang dan bersemangat dalam melayani majikannya.Bagaimana dengan para pembantu yang bahkan kehidupan ekonominya sangat sulit? Ditambah konflik-konflik yang muncul dengan keluarga intinya.Rere tidak bisa membayangkan menjadi mereka.Rasa syukur itu muncul di hatinya. Walaupun dia bukan dari keluarga kaya, setidaknya hidupnya masih termasuk beruntung.Sebelum ayahnya meninggal, dia masih bisa sesekali pergi ke taman bermain anak, saat masih kecil.Saat sudah remaja pun, ayahnya masih sempat mengajak ke arena bermain di mall untuk bersenang-senang.Begitu pula saat kuliah, dia tidak perlu memikirkan keberlangsungan ekonomi kelu
Keningnya berkerut saat mendengar tentang penagih hutang dari Bram.Tidak pernah dirinya atau ibunya berhutang pada rentenir. Bagaimana bisa ada penagih hutang ke rumahnya?Dan lagi, siapa yang menjemputnya sekarang? Apakah tetangganya?Namun, dia tidak pernah memberitahukan bahwa dirinya bekerja di sini.Dengan rasa penasaran membumbung, Rere segera mengemasi barang-barangnya, lalu berlari ke luar.Di luar gerbang, berdiri seseorang dengan jaket kulit hitam, helm hitam, serta motor bebek matic hitam.Wajah si tamu tidak bisa terlihat, karena helmnya tidak dilepas.Saat sudah tiba di luar gerbang, Rere tidak langsung mau ikut.“Mas, maaf, siapa ya?” tanya Rere dengan berusaha menerawang helm si tamu.Seseorang itu membuka sedikit kaca helmnya.“Freza?” teriak Rere. Segera dia menutup mulutnya dengan tangan.“Ssst!” Freza meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.“Ayo, cepetan naik!” pinta Freza.Setelah sempat berpamitan dengan Pak Mamat, Rere segera naik ke boncengan di belakang pun
Andai saja mereka berdua tidak dalam posisi tidak enak seperti sekarang, mungkin Rere akan langsung menjawab.Sayangnya, dia sedang sebal dengan suaminya.Bahkan, jika boleh, dia ingin memukuli, meremas-remas lelaki di hadapannya itu.Serta berteriak-terial meluapkan emosi. Namun, setiap bertatap muka dengan Freza, Rere lebih memilih diam.Sesak di dadanya membuatnya bahkan tidak bisa berkata-kata. Sudah malas rasanya.Rere melepaskan tangan Freza dari pipinya. Dia menggeser duduknya, menjauh dari suaminya.“Aku nggak pa-pa. Nggak usah berubah topik. Kamu yang ada apa? Kenapa ngajak aku ke sini?” Suaranya terdengar tidak sabar.Berkali-kali, dia memaksa dirinya untuk mengendalikan diri. Jangan sampai matanya basah.“Kamu kayaknya kesal, ya, sama aku? Ngomong dong.”“Kamu aja nggak ngomong, ngapain aku ngomong.”“Memangnya aku harus ngomong apa?”“Nggak taulah. Kalau kamu nggak ada yang mau diomongin, yaudah, anterin aku ke rumah majikanku. Masih banyak kerjaan.”Tatapan Rere begitu yak
Tidak terasa sudah dua hari sebelum hari terakhirnya bekerja di rumah Bram dan Gina. Rere semakin sibuk karena kehadiran pembantu yang menggantikannya. Pembantu yang sebenarnya memang untuk rumah ini, yang dia gantikan selama 2 bulan. Hari-hari terakhir ini juga digunakannya untuk serah terima pekerjaannya. Menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan. Terutama cara menggunakan alat-alat modern di rumah ini. Mengingat kesulitannya saat pertama kali datang, dan dia harus berusaha mencari tahu cara kerja alat-alat rumah tangga canggih itu, sangatlah menyiksa. Dia tidak mau kejadian serupa terjadi ke partnernya, pembantu baru yang datang menggantikannya. "Lumayan banyak juga, ya, alat-alatnya yang otomatis dan semi-otomatis. Beberapa majikan saya dulu hanya punya beberapa saja, tidak sebanyak ini," celoteh sang pembantu baru. "Iya, Mbak. Mungkin buat Mbak Riska udah kenal beberapa alat. Nah, dulu, waktu saya datang pertama kali, saya buta sama sekali, Mbak," kekeh Rere. "Terus, gimana
"Bagaimana bisa? Kita kalah lagi dari Amerta Group. Kalian ini bisa kerja atau tidak?" Freza memukul meja dengan penuh emosi. Proyek yang diharapkannya mampu memperbesar nama perusahaan, harus kalah dari Amerta Group. Yang paling membuat sesak, informasi mencengangkan yang dia dapatkan. Ide yang diberikan oleh Big Star nyatanya mirip dengan ide yang ditawarkan Amerta Group. Seperti proyek sebelumnya, proyek perumahan rakyat, ide milik Amerta Group memang mirip, tetapi ada tambahan benefit yang menjadikannya memiliki nilai tambah. "Ini seperti bukan kebetulan, karena terjadi dua kali. Pasti ada orang dalam yang menjadi mata-mata mereka!" Ivo pun nampak sangat kecewa. "Maaf, Pak, saya juga mendapat informasi dari tim investasi bahwa, beberapa investor besar kita menarik diri dan berpindah ke Amerta Group,” ujar seorang anggota rapat.“Bagaimana bisa?” tanya Ivo penasaran. Tubuhnya dimajukan ke depan.“Karena manajemen mereka yang sekarang dinilai sangat baik dalam menjalankan bisni
- Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu
“Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D
Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya
Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat