“Kenapa, Fre?” tanya Sesil ingin tahu saat tubuh Freza mematung di tempat.Tidak ada respon dari lawan bicaranya.Mendengar suara wanita tidak jauh dari tempatnya, Rere mendongak untuk melihat siapa yang berbicara.Mendapati sosok yang sangat dia kenal, Rere bangkit dari jongkoknya setelah membersihkan mulut Fika. Tubuhnya seketika membeku.Di sebelahnya, Zeega hanya bisa ikut berdiam diri. Situasi yang tidak pernah lelaki itu bayangkan.Selama ini, hanya Freza yang selalu datang tiba-tiba saat dia bersama Rere. Namun, kali ini berbeda.Ada sosok lainnya yang ikut muncul. Seorang wanita bergaun merah, yang pernah mengaku sebagai tunangan Freza saat berada di toko kuenya tempo hari, berdiri di sebelah Freza.Kali ini, Rere menyaksikan sendiri cerita Zeega sebelumnya.Lengan Sesil masih tertaut di tangan Freza. Semuanya mampu tertangkap mata Rere secara langsung.“Mbak, kenapa? Lihat apa?” Fika menggoyangkan tubuh Rere yang terdiam di sebelahnya.Suara gadis kecil itu mampu membuyarkan
Tanpa melewatkan kesempatan, Zeega segera mendaratkan pantatnya dikursi kosong, berhadapan dengan Merlyn.“Saya suka cara Anda mendeskripsikan awan mendung itu. Selama ini, banyak orang mengatakan langit tampak sedih dan muram.”“Itulah kita, selalu memandang dengan cara yang negatif. Padahal ada banyak alasan untuk memandang secara positif.”“Maksudnya?” Zeega semakin tertarik kali ini.“Misal kesendirian. Bagi saya, itu adalah anugerah. Salah satu cara saya menikmati hidup, dengan bahagia tentu.”Tangan Merlyn mengangkat cangkir hot chocolatenya, lalu menyesapnya sesaat.Dijatuhkannya pandangan ke arah Freza.“Tapi, banyak orang mengira orang sendiri itu tertutup, tidak mau membuka diri, atau sedang sedih, atau tidak punya teman. Dan anggapan-anggapan negatif lainnya,” lanjut Merlyn.“Artinya, tidak semua yang nampak menyedihkan itu perlu dikasihani, begitu? Karena mereka sebenarnya bahagia,” tanya Zeega.“Begitulah. Sehingga kita akan terbiasa memandang sesuatu dengan cara lebih ba
Setelah membersihkan diri, Rere segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.Sebenarnya mentalnya sedang lelah, tetapi tanggung jawab yang ada harus tetap dilakukan, sebagai pembantu.Dia baru menyadari bahwa, menjadi seorang pembantu itu tidaklah mudah.Saat perasaannya sedang pilu, atau kondisi fisiknya sedikit kurang sehat, tetap saja dia harus tampak senang dan bersemangat dalam melayani majikannya.Bagaimana dengan para pembantu yang bahkan kehidupan ekonominya sangat sulit? Ditambah konflik-konflik yang muncul dengan keluarga intinya.Rere tidak bisa membayangkan menjadi mereka.Rasa syukur itu muncul di hatinya. Walaupun dia bukan dari keluarga kaya, setidaknya hidupnya masih termasuk beruntung.Sebelum ayahnya meninggal, dia masih bisa sesekali pergi ke taman bermain anak, saat masih kecil.Saat sudah remaja pun, ayahnya masih sempat mengajak ke arena bermain di mall untuk bersenang-senang.Begitu pula saat kuliah, dia tidak perlu memikirkan keberlangsungan ekonomi kelu
Keningnya berkerut saat mendengar tentang penagih hutang dari Bram.Tidak pernah dirinya atau ibunya berhutang pada rentenir. Bagaimana bisa ada penagih hutang ke rumahnya?Dan lagi, siapa yang menjemputnya sekarang? Apakah tetangganya?Namun, dia tidak pernah memberitahukan bahwa dirinya bekerja di sini.Dengan rasa penasaran membumbung, Rere segera mengemasi barang-barangnya, lalu berlari ke luar.Di luar gerbang, berdiri seseorang dengan jaket kulit hitam, helm hitam, serta motor bebek matic hitam.Wajah si tamu tidak bisa terlihat, karena helmnya tidak dilepas.Saat sudah tiba di luar gerbang, Rere tidak langsung mau ikut.“Mas, maaf, siapa ya?” tanya Rere dengan berusaha menerawang helm si tamu.Seseorang itu membuka sedikit kaca helmnya.“Freza?” teriak Rere. Segera dia menutup mulutnya dengan tangan.“Ssst!” Freza meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.“Ayo, cepetan naik!” pinta Freza.Setelah sempat berpamitan dengan Pak Mamat, Rere segera naik ke boncengan di belakang pun
Andai saja mereka berdua tidak dalam posisi tidak enak seperti sekarang, mungkin Rere akan langsung menjawab.Sayangnya, dia sedang sebal dengan suaminya.Bahkan, jika boleh, dia ingin memukuli, meremas-remas lelaki di hadapannya itu.Serta berteriak-terial meluapkan emosi. Namun, setiap bertatap muka dengan Freza, Rere lebih memilih diam.Sesak di dadanya membuatnya bahkan tidak bisa berkata-kata. Sudah malas rasanya.Rere melepaskan tangan Freza dari pipinya. Dia menggeser duduknya, menjauh dari suaminya.“Aku nggak pa-pa. Nggak usah berubah topik. Kamu yang ada apa? Kenapa ngajak aku ke sini?” Suaranya terdengar tidak sabar.Berkali-kali, dia memaksa dirinya untuk mengendalikan diri. Jangan sampai matanya basah.“Kamu kayaknya kesal, ya, sama aku? Ngomong dong.”“Kamu aja nggak ngomong, ngapain aku ngomong.”“Memangnya aku harus ngomong apa?”“Nggak taulah. Kalau kamu nggak ada yang mau diomongin, yaudah, anterin aku ke rumah majikanku. Masih banyak kerjaan.”Tatapan Rere begitu yak
Tidak terasa sudah dua hari sebelum hari terakhirnya bekerja di rumah Bram dan Gina. Rere semakin sibuk karena kehadiran pembantu yang menggantikannya. Pembantu yang sebenarnya memang untuk rumah ini, yang dia gantikan selama 2 bulan. Hari-hari terakhir ini juga digunakannya untuk serah terima pekerjaannya. Menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan. Terutama cara menggunakan alat-alat modern di rumah ini. Mengingat kesulitannya saat pertama kali datang, dan dia harus berusaha mencari tahu cara kerja alat-alat rumah tangga canggih itu, sangatlah menyiksa. Dia tidak mau kejadian serupa terjadi ke partnernya, pembantu baru yang datang menggantikannya. "Lumayan banyak juga, ya, alat-alatnya yang otomatis dan semi-otomatis. Beberapa majikan saya dulu hanya punya beberapa saja, tidak sebanyak ini," celoteh sang pembantu baru. "Iya, Mbak. Mungkin buat Mbak Riska udah kenal beberapa alat. Nah, dulu, waktu saya datang pertama kali, saya buta sama sekali, Mbak," kekeh Rere. "Terus, gimana
"Bagaimana bisa? Kita kalah lagi dari Amerta Group. Kalian ini bisa kerja atau tidak?" Freza memukul meja dengan penuh emosi. Proyek yang diharapkannya mampu memperbesar nama perusahaan, harus kalah dari Amerta Group. Yang paling membuat sesak, informasi mencengangkan yang dia dapatkan. Ide yang diberikan oleh Big Star nyatanya mirip dengan ide yang ditawarkan Amerta Group. Seperti proyek sebelumnya, proyek perumahan rakyat, ide milik Amerta Group memang mirip, tetapi ada tambahan benefit yang menjadikannya memiliki nilai tambah. "Ini seperti bukan kebetulan, karena terjadi dua kali. Pasti ada orang dalam yang menjadi mata-mata mereka!" Ivo pun nampak sangat kecewa. "Maaf, Pak, saya juga mendapat informasi dari tim investasi bahwa, beberapa investor besar kita menarik diri dan berpindah ke Amerta Group,” ujar seorang anggota rapat.“Bagaimana bisa?” tanya Ivo penasaran. Tubuhnya dimajukan ke depan.“Karena manajemen mereka yang sekarang dinilai sangat baik dalam menjalankan bisni
“Kamu tidak dengar? Kamu bisa keluar dari rumah ini sekarang!” Tangan Bram menunjuk pintu depan dengan marah.“Iya, Pak.” Rere berlari ke kamarnya, ditemani ribuan air yang luluh dari matanya.Tubuhnya bergerak ke sana kemari untuk mengemasi barang-barangnya.Teman kerjanya, Riska, hanya bisa melihat pilu kepada Rere. Dia tidak bisa berbuat apa pun.Selesai memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Rere kembali mengayunkan langkah menuju ruang keluarga.Ternyata, di sana sudah ada Gina yang sedang duduk di sebelah Fika.“Hi, semua!” Tidak disangka, Zeega juga datang ke rumah Bram.Saat matanya menangkap tas besar yang dibawa Rere, langkahnya dipercepat mendekat ke ruang keluarga.“Lho, Mbak Rere mau ke mana bawa tas besar?” tanya Zeega penasaran.Sang pembantu hanya diam, tidak menjawab. Pikirannya sangat terkejut, sekaligus bingung mau pergi ke mana hari ini.Karena tahu apa yang terjadi, berdasarkan informasi Bram, Gina pun tidak berkata apa-apa.Dia cukup terprovokasi oleh suami