Tidak terasa sudah dua hari sebelum hari terakhirnya bekerja di rumah Bram dan Gina. Rere semakin sibuk karena kehadiran pembantu yang menggantikannya. Pembantu yang sebenarnya memang untuk rumah ini, yang dia gantikan selama 2 bulan. Hari-hari terakhir ini juga digunakannya untuk serah terima pekerjaannya. Menjelaskan apa-apa yang harus dilakukan. Terutama cara menggunakan alat-alat modern di rumah ini. Mengingat kesulitannya saat pertama kali datang, dan dia harus berusaha mencari tahu cara kerja alat-alat rumah tangga canggih itu, sangatlah menyiksa. Dia tidak mau kejadian serupa terjadi ke partnernya, pembantu baru yang datang menggantikannya. "Lumayan banyak juga, ya, alat-alatnya yang otomatis dan semi-otomatis. Beberapa majikan saya dulu hanya punya beberapa saja, tidak sebanyak ini," celoteh sang pembantu baru. "Iya, Mbak. Mungkin buat Mbak Riska udah kenal beberapa alat. Nah, dulu, waktu saya datang pertama kali, saya buta sama sekali, Mbak," kekeh Rere. "Terus, gimana
"Bagaimana bisa? Kita kalah lagi dari Amerta Group. Kalian ini bisa kerja atau tidak?" Freza memukul meja dengan penuh emosi. Proyek yang diharapkannya mampu memperbesar nama perusahaan, harus kalah dari Amerta Group. Yang paling membuat sesak, informasi mencengangkan yang dia dapatkan. Ide yang diberikan oleh Big Star nyatanya mirip dengan ide yang ditawarkan Amerta Group. Seperti proyek sebelumnya, proyek perumahan rakyat, ide milik Amerta Group memang mirip, tetapi ada tambahan benefit yang menjadikannya memiliki nilai tambah. "Ini seperti bukan kebetulan, karena terjadi dua kali. Pasti ada orang dalam yang menjadi mata-mata mereka!" Ivo pun nampak sangat kecewa. "Maaf, Pak, saya juga mendapat informasi dari tim investasi bahwa, beberapa investor besar kita menarik diri dan berpindah ke Amerta Group,” ujar seorang anggota rapat.“Bagaimana bisa?” tanya Ivo penasaran. Tubuhnya dimajukan ke depan.“Karena manajemen mereka yang sekarang dinilai sangat baik dalam menjalankan bisni
“Kamu tidak dengar? Kamu bisa keluar dari rumah ini sekarang!” Tangan Bram menunjuk pintu depan dengan marah.“Iya, Pak.” Rere berlari ke kamarnya, ditemani ribuan air yang luluh dari matanya.Tubuhnya bergerak ke sana kemari untuk mengemasi barang-barangnya.Teman kerjanya, Riska, hanya bisa melihat pilu kepada Rere. Dia tidak bisa berbuat apa pun.Selesai memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Rere kembali mengayunkan langkah menuju ruang keluarga.Ternyata, di sana sudah ada Gina yang sedang duduk di sebelah Fika.“Hi, semua!” Tidak disangka, Zeega juga datang ke rumah Bram.Saat matanya menangkap tas besar yang dibawa Rere, langkahnya dipercepat mendekat ke ruang keluarga.“Lho, Mbak Rere mau ke mana bawa tas besar?” tanya Zeega penasaran.Sang pembantu hanya diam, tidak menjawab. Pikirannya sangat terkejut, sekaligus bingung mau pergi ke mana hari ini.Karena tahu apa yang terjadi, berdasarkan informasi Bram, Gina pun tidak berkata apa-apa.Dia cukup terprovokasi oleh suami
“Seperti yang kamu dengar. Aku ingin menjadi lebih dari sekedar teman atau sahabat,” ucap Zeega.“Maksudnya?” tanya Rere lagi, dengan muka polos.Zeega menahan tawanya saat melihat muka Rere yang lucu.“Baiklah, aku langsung saja. Aku mau jadi pacarmu. Beberapa waktu terakhir ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda di dalam hatiku. Merasa nyaman saat bersamamu. Dan, saat kondisimu seperti ini, aku seakan bisa merasakannya.”Zeega berhenti sejenak untuk mengetahui tanggapan Rere. Namun, wanita itu hanya terdiam.“Re, apakah kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” tanya Zeega kali ini.Tanpa mereka tahu, seorang lelaki yang baru saja memasuki pintu toko kue, berjalan mendekati mereka.Tangan Zeega dihempaskannya untuk menjauhi tangan Rere.“Tidak ada perasaan untukmu! Jangan sentuh Rere!” Freza berteriak dengan kencang. Emosinya membuncah.“Mas?” Rere bangkit dari duduknya dengan terkejut.“Kaget? Ketahuan berduaan dengan Zeega?” Freza begitu berapi-api.“Bicaralah yang sopan, Mas! Se
Tiap kalimat yang disampaikan oleh dua tetangganya tadi seperti listrik yang menyengat otak hingga jantungnya. Mampu melumpuhkan tubuhnya. Bu Marni dan Bu Winda sudah berlalu, tetapi semua yang mereka ucapkan telah terekam dengan baik di kepala Rere. Kakinya sudah tidak bisa menopang beban tubuhnya, beban masalahnya. Tubuhnya terduduk di atas tanah, tempatnya berdiri saat ini. Air mata yang sempat mengering, kini harus berurai lagi. Apakah dia masih bisa menangis setelah ini? Cukup banyak dia menangis akhir-akhir ini. "Rumah orang tuaku ... ini rumah orang tuaku. Kenapa ya Allah? Kenapa?" ratap Rere di depan rumah yang sebelumnya milik orang tuanya. Apakah waktu dua bulan itu begitu lama? Hingga Rere bisa kehilangan rumah bersejarah itu tanpa dia menyadarinya. Menurut penjelasan tetangganya tadi, keluarga Pak Musni yang diberi tanggung jawab mengurusi kosannya pun tidak bisa dihubungi.Tiba-tiba Pak Musni dan keluarganya pindah keluar kota, dan tidak ada seorang pun tetangga yan
Tanpa menunggu respon selanjutnya dari Ruma, Freza segera mengutarakan kalimat untuk mengakhiri panggilan itu. Dan, tangannya segera mematikan ponselnya, agar tidak bisa menerima panggilan lagi.Wajah Freza kembali menatap tubuh mungil yang tertutup selimut di atas kasur yang tidak jauh darinya.Kakinya melangkah menuju sofa di sisi dekat Rere berbaring. Dia duduk untuk mengamati diam-diam wajah manis itu.Sejak menikah, tidak pernah keduanya tinggal di satu atap untuk waktu yang lama. Menyiksa memang bagi Freza. Sangat menyiksa, malah.Apalagi, istrinya ini bukan tipe wanita yang romantis, yang akan terus menghubungi duluan, dan seakan merindukannya tiap saat. Bukan!Rere termasuk wanita mandiri, tidak begitu memikirkan masalah asmara atau perasaannya.Tidak jarang, Freza harus menahan diri kuat-kuat jika ingin menyalurkan kerinduannya kepada istrinya. Kadang, kelakuan Rere yang tampak tidak peduli dengan hasratnya itu, membuatnya kesal.Namun, lagi-lagi, dia harus mengusir perasaan
Freza dan Rere memilih untuk melakukan sarapan di kamar. Semua makanan telah tersaji di atas meja makan, saat Freza masih di dalam kamar mandi. Baru saja bangun. Sebelum para pelayan meninggalkan kamar, Rere memberi sedikit uang tip yang disambut senang oleh dua orang pembawa makan itu. Rere memandangi bagian atas meja. Dia baru menyadari, ternyata banyak juga makanan yang dipesan olehnya dan Freza. "Sudah datang makanannya?" Freza keluar dari kamar mandi. "Iya. Ayo, makan!" Keduanya menikmati sarapan seperti belum makan tadi malam, begitu lahap. Salah satu kemiripan yang mereka punya, suka makan. Selesai menyantap semua makanan, kecuali buah-buahan yang tidak sanggup lagi dieksekusi, mereka pun berpindah ke sofa untuk duduk santai. Sejenak, mereka menurunkan makanan yang sudah begitu padat masuk ke dalam perut.Selain itu, waktu mereka keluar dari hotel pun masih nanti, jam 1 siang. Sesuai permintaan Freza kepada Merlyn. Asistennya ini akan menjemput mereka di sini.“Mas, aku
Perjalanan yang terasa lama bagi Freza itu, tidak dirasa lama oleh Sesil atau pun Rere dan Merlyn. Andai saja lelaki itu bisa kabur, atau memasang tembok pembatas, maka sudah dia lakukan. Dia ingin berteriak, tetapi takut kalau depresi Sesil kumat di pesawat, saat masih terbang di udara. Yang membuat lebih kesal, dia mendapati istrinya tidak peduli sama sekali. Terlihat cemburu pun tidak. Bahkan, wanita itu malah asyik tidur selama perjalanan. Jalan terakhir yang dilakukan Freza, akhirnya dia berpura-pura untuk tidur, walaupun tidak ngantuk. Dia sudah bangun cukup siang hari ini. Jadi, susah untuk memejamkan mata, sebenarnya. Seakan menjawab doa Freza yang terus diulang-diulang selama di pesawat, akhirnya mereka sudah mendarat di bandara pribadi milik keluarga Margada. Sebuah mobil Rolls Royce dengan nuansa black-gold, serta sebuah BMW hitam, sudah terparkir dekat berhentinya pesawat jet. Freza segera keluar pesawat diikuti Rere dan Merlyn. Sedangkan Sesil, masih sibuk dengan ba