Beberapa pelayan terlihat berbisik-bisik saat Freza menjemput Rere di kamarnya, untuk diantar menemui Rowena, nenek Freza. Sudah Rere peringatkan agar lelaki itu menjaga sikap, tetapi tetap saja berlaku semaunya. Rere takut, belum sebulan tetapi rahasia mereka bisa terbongkar. Bisa bahaya! Belum lagi dia tidak punya waktu menyicil naskah novelnya belakangan ini. Terlalu banyak urusan dan masalah. "Eyang ... aku bawa perawat pribadi baru untuk Eyang." Freza masuk dengan cengiran begitu lebar. "Asslamualaikum, Eyang," sapa Rere dengan tersenyum sopan. "Freza, sayangku. Eyang kangen sekali. Kamu ini lama-lama seperti orang di rumah ini, sibuk bekerja," rajuk neneknya. Rowena menatap Rere sekilas, lalu beralih lagi menatap cucunya. Dia tidak memedulikan Rere. "Eyang, kan, sudah bilang, untuk apa perawat? Mereka itu sangat menyebalkan. Tidak asyik. Sukanya hanya cari muka ke orang tuamu, tidak benar-benar merawat Eyang." Rowena mendengkus saat mengatakannya. Selama ini, perawat-per
Hari pertamanya sebagai perawat, tidaklah begitu sulit. Atau mungkin, belum datang masalah besar baginya. Walaupun sudah larut, dia masih membuka laptopnya, untuk sedikit menuliskan hasil risetnya. Beberapa hari terakhir, cukup sulit bagi Rere memiliki waktu untuk menulis. Terlalu banyak kejadian yang menguras emosi, sehingga otaknya tidak sanggup diajak berpikir hal lainnya. Hari ini, dia bertemu seorang pembantu yang terlihat sudah tua. Saat dia bertanya, wanita itu telah mengabdi di keluarga besar Margada selama kurang lebih 30 tahun. Waktu yang lama untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga menurut Rere. Namun, ternyata itu nyata. Ada pandangan baru dalam kepalanya. Berkarir itu tidak hanya sebatas bekerja di kantoran, melainkan di manapun seseorang bekerja dan mendapat kesuksesan, itu artinya dia berkarir. Pembantu yang sudah berumur sekitar 50 tahunan itu begitu santun. Pemaparannya begitu mengejutkan. Hal yang membuatnya senang bekerja dengan majikannya, bukanlah gaji y
Sudah 3 hari Freza di rumah orang tuanya. Selama seminggu ini, dia akan bekerja dari rumah.Rapat jarak jauh yang dilakukan Freza dan timnya saat ini, sangatlah menegangkan.Walaupun berada di rumah pulaunya, Freza tetap memantau semua pekerjaan dengan conference call.Mereka harus segera membuat rencana baru dalam menarik investor lagi. Freza hanya punya waktu 6 bulan untuk melakukannya.Akan ada beberapa tim yang akan mengajukan proposal ke beberapa target investor, baik investor lama atau baru.Selain itu, mereka akan membahas proyek yang harus mereka kerjakan dalam waktu dekat. Proyek ini tidak bernilai besar, tetapi tetap harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.Freza termasuk orang yang sangat detail dan mau hasil sempurna, apa pun proyek atau pekerjaan yang dilakukan.Setelah hampir 5 jam mengurung di ruang kerjanya, dia pun mengakhiri panggilan hari ini. Dan akan dilanjutkan besok pagi lagi.Dia hanya perlu menerima laporan-laporan melalui email. Yang akan dibacanya nanti.Deng
Ivo hari ini datang untuk langsung rapat bersama Ruma dan Freza, di rumah pulau keluarga besar Freza, membahas perkembangan perusahaan.Sudah hampir seminggu Freza masih di rumah, karena ingin ikut mendampingi Rere sementara ini.Akhir minggu ini, dia sudah kembali lagi ke Surabaya. Datang ke kantor secara langsung.Mereka bertiga membicarakan hal sangat serius, karena menyangkut perusahaan yang ada di Jakarta juga.Performa Big Star tidak baik-baik saja. Investor utama Big Star group sedang bergejolak untuk ikut menarik dananya.Hal ini berdampak pada beberapa bisnis lain yang juga dijalani Big Star. Dengan bisnis terbesarnya adalah properti, yang berkantor di Surabaya.“Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita masih bisa berkembang. Bahwa kita bisa memberi keuntungan bagi mereka.”“Mereka begitu rakus. Seharusnya mereka itu mendukung kita saat senang dan sulit. Bukan hanya saat senang saja, dapat untung banyak,” celoteh Freza sambil menyandarkan tubuh di sofa. "Kamu jangan asal bica
Pagi-pagi sekali Freza akan kembali ke Surabaya, sehingga Rere sudah sibuk membuatkan bekal untuk suaminya.Sangat jarang dia bisa melayani suaminya. Hari ini dia coba menyempatkan diri sibuk di dapur. Walaupun tubuhnya sedang tidak bisa diajak kompromi.Beberapa kali, dia harus duduk di kursi karena kepalanya sedikit berputar. Beberapa hari ini, dia muntah, tetapi tidak banyak yang dikeluarkan dari perut.Padahal, Rere sudah meminum jamu sasetan yang dijual bebas. Dia mendapatkannya dari persediaan yang ada di rumah itu. Cukup beragam obat yang disimpan.Dia harus kuat! Sedikit lagi selesai, dan bisa segera dia berikan ke Freza.“Lagi ngapain, Mbak Rere?" Rere terlonjak karena kaget dengan sapaan barusan. Hartini datang untuk menawarkan bantuan, karena Rere terlihat sedikit pucat. Wanita itu beberapa kali melewati dapur, dan beberapa kali pula dia melihat Rere yang sering beristirahat duduk. Namun, Rere menolak tawaran itu. "Baiklah, saya bantu untuk membereskan dapur saja, Mbak."
Sebuah mobil sedan baru saja berhenti di depan pintu rumah keluarga Margada. Ruma dan silvia baru saja datang dari perjalanan bisnis, yang ternyata lebih lama dari perkiraan.Hartini, pembantu senior, memanggil pembantu lain untuk membantu membawakan koper. Melihat Rere sedang melintas untuk menuju kamar Rowena, Hartini pun memintanya membantu membawa koper.Hari ini, tubuhnya sudah sedikit lebih baik. Dengan langkah ringan, Rere segera menuju luar dan membantu membawa sebuah koper dari dalam mobil.Rere mendorong koper hingga anak tangga paling bawah, lalu mengangkatnya naik ke lantai 2. Baru saja kakinya menginjak anak tangga ketiga, tubuhnya limbung. Satu kakinya tergelincir di tepi anak tangga, dan tubuhnya jatuh berguling hingga kembali lagi ke lantai.Cukup beruntung bagi Rere, karena koper yang tadi dia bawa hanya berguling hingga anak tangga terbawah, tidak sampai jatuh di tubuhnya. Karena benturan di kepala saat terjatuh, Rere tidak sadarkan diri.Kejadia itu memicu kepanikan
Freza begitu gelisah pagi itu di dalam pesawat jet pribadi milik keluarganya. Kepalanya berkecamuk. Hari ini dia menghadapi pilihan yang sulit.Sejak semalam, dia terus memikirkan keputusan yang harus diambil. Akhirnya, dia memilih untuk pulang.Suara ponselnya berdering, dan lagi, dia ragu untuk mengangkatnya. Itu pasti Ivo, pakdenya. Ponselnya terus berdering.Dengan berat, dia pun mengangkatnya. Sebelum Ivo bicara, Freza sudah bisa menebak arah pembicaraannya.Tidak lama basa basi setelah telepon diangkat, Ivo segera masuk ke topik utamanya.“Fre, kenapa kamu pulang tiba-tiba? Kalau kamu tidak muncul, bisa-bisa kita kehilangan respect dari calon investor kita.”“Pakde, ada kejadian yang sangat mendesak di rumah. Aku tidak bisa meninggalkannya. Tolong gantikan aku, please!”Ivo terus meyakinkan Freza bahwa investor dari luar ini bukanlah orang yang mudah diambil hatinya. Namun, jika mereka bisa mendapat kepercayaannya, ini adalah hasil yang sangat bagus. Mereka akan mendapat dana cu
Freza terus menyusuri lorong rumahnya untuk menuju kamar Rere, di area kamar pembantu. Langkahnya begitu yakin, tidak melambat sedikit pun.Perasaannya kini bercampur emosi setelah berbicara dengan ayahnya. Selalu saja, tidak jarang keduanya bertengkar jika ada kesempatan bertemu.Padahal, ingin juga dia merasakan momen-momen hangat bersama keluarganya, tanpa ada kepentingan pekerjaan di dalamnya. Yah, itu hanya angan-angannya saja. Sepertinya tidak akan terjadi.Dia teringat, dahulu, saat kakeknya meninggal pun, ayahnya tidak bisa mengikuti prosesi pemakaman karena sedang perjalanan bisnis. Freza sangat tidak habis pikir, apakah yang di pikiran ayahnya itu hanya tentang pekerjaan? Bukan yang lain, termasuk keluarga?Walaupun Freza mau bekerja di perusahaan Rumma, tetapi dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mau menjalani kehidupan seperti Rumma. Kehidupannya juga perlu diseimbangkan, tidak melulu tentang bisnis dan uang.Apa gunanya punya rumah sebesar pulau ini, jika bahkan